Jumat, 07 Desember 2012

Menyoal Etika Publik


Menyoal Etika Publik
Rakhmat Hidayat ;   Pengajar Jurusan Sosiologi
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Kandidat PhD
REPUBLIKA, 06 Desember 2012


Bupati Garut Aceng Fikri yang menceraikan istrinya selama empat hari pernikahan menjadi isu nasional yang diberitakan berbagai media. Kasus ini jika ditelusuri, dapat bermuara pada beberapa perspektif. Pertama, penistaan posisi perempuan dalam relasi sosial kuasa seorang penyelenggara negara. Pernikahan yang hanya berlangsung empat hari disertai dengan talak melalui pesan singkat tentu saja memberikan luka mendalam bagi kaum perempuan.

Perempuan berada pada posisi yang termarjinalkan dalam relasi sosial tersebut. 
Tidak heran jika kalangan perempuan mengecam keras perilaku Bupati Aceng yang menempatkan mantan istrinya ibarat komoditas. Kedua, pada posisi yang lebih mendasar adalah ihwal terdegradasikan nya etika publik seorang pejabat daerah dalam relasi sosial politik. Etika publik menjadi persoalan krusial dalam posisi Aceng sebagai bupati. Ini bukan lagi soal privasi seorang bupati, tetapi sudah bergeser ke ranah publik karena otoritas politik yang melekat pada seorang Aceng Fikri. 

Aceng tidak bisa menafikan bahwa ranah pribadi dan ranah publik sangat tipis batasnya. Bahkan, ranah pribadi sering kali hilang dalam otoritas politik seorang pejabat negara. Ia berhadapan dengan ruang sosial yang melegitimasikan kekuasaan politik kepada di rinya dalam Pemilukada Garut. Ihwal etika publik juga menjadi perhatian gubernur, Mendagri, hingga Presiden SBY dalam mencermati kasus ini.

Prinsip Etis

Seseorang yang menjabat pemerintahan atau dalam posisi politik tertentu memiliki tanggung jawab yang besar sebagai penyelenggara negara. Pada posisi politik liberal seperti yang dialami Indonesia, mereka dihasilkan dari kontestasi politik berbasiskan legitimasi suara rakyat. Suara rakyat menunjukkan legitimasi kepercayaan kepada otoritas politik di berbagai level pemerintahan.

Sebagai konsekuensi dari proses politik tersebut, aktor politik dengan otoritas yang dimiliki harus memiliki akuntabilitas dan etika publik yang dapat menjaga kepercayaan tersebut. 

Aktor politik, seperti penyelenggara negara, tidak lagi berada pada ruang pribadi yang hampa. Dia sudah berada dan bergerak dalam ruang publik yang dinamis, bahkan kontestatif. Pada level inilah, etika publik menjadi pendasaran yang harus dibangun penyelenggara negara. Dalam penjelasan Haryatmoko (2011), etika publik harus mendorong pengelola negara untuk berpikir, mengambil keputusan, dan bertindak demi kepentingan publik. Pada berbagai kasus penyelenggara negara, kita prihatin bahwa etika publik hilang dalam ruang politik publik.

Kasus Bupati Aceng hanyalah salah satu kasus dari berbagai kasus lain yang menyeruak ke publik. Kasus Aceng kebetulan saja terkait dengan isu pernikahan siri. Pada berbagai kasus lain, seperti korupsi yang marak, juga menjadi fakta tak terbantahkan bahwa etika publik hilang dalam perilaku penyelenggara negara.

Ruang publik merupakan arena sosial yang harus dirawat dengan baik oleh seorang penyelenggara. Konsep ruang publik (public sphere) dijelaskan Jurgen Habermas (1964) sebagai semua wilayah kehidupan sosial, tempat terbentuknya opini publik. Akses warga dijamin dan diberikan secara penuh dalam ruang publik tersebut. 

Ruang publik menjadi arena seorang penyelenggara menjalankan akuntabilitas publiknya secara etis kepada seluruh rakyatnya. Karena dia berada pada ruang publik maka semua perilaku dan kinerjanya adalah bagian dari kontrol publik. Bupati Aceng tampaknya tidak sadar bahwa kasus pernikahan empat harinya sudah menjadi wilayah publik. Dia tak bisa menolak dengan rangkaian argumen apa pun bahwa itu adalah urusan privasinya.

Dalam konteks budaya politik Indonesia yang masih bersandarkan nilai dan norma, kasus Bupati Aceng mencerminkan hilangnya norma dan nilai seorang pejabat publik. Seorang bupati sejatinya menjadi contoh dan panutan dalam kehidupan sosial budaya warganya. 

Dalam perspektif budaya, kasus Aceng mencederai budaya setempat. Jika kita melihat pada kasus-kasus lain, sebenarnya masih banyak terdapat pejabat lain yang tingkatnya lebih parah dibandingkan kasus Bupati Aceng. Misalnya, kasus video seksual yang dilakukan pejabat negara, seperti bupati atau anggota DPR.

Budaya politik Indonesia sulit untuk menempatkan ranah privasi sebagai sebuah hak dan kebebasan seorang pejabat negara. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju di Eropa yang sangat mengagungkan kebebasan dan hak individu. Persoalan nilai dan norma tidak penting dalam relasi sosial. Hak dan kebebasan pribadi pun harus ditempatkan sebagai ranah privasi yang tidak mungkin dipergunjingkan ke publik. 

Kasus ini terjadi pada Presiden Francois Hollande yang melakukan hubungan tanpa pernikahan dengan Valerie Trierweiler. Valerie sendiri sebelumnya melakukan perselingkuhan dengan politisi Prancis. Secara sosial budaya tentu berbeda antara Indonesia dan Prancis. Tak ada pilihan menempatkan kekuatan sosial budaya sebagai sesuatu yang embedded dalam etika publik kepemimpinan. 

Defisit Kepercayaan

Hilangnya etika publik dalam kasus Bupati Aceng memberikan implikasi sosial terjadinya defisit kepercayaan pada pemimpin daerah. Bupati Aceng awalnya terpilih dari jalur independen bersama Dicky Chandra, sebelum dirinya menyeberang ke Partai Golkar. 

Munculnya demonstrasi yang menuntut Bupati Aceng mundur adalah bentuk dari krisis kepercayaan sang bupati. Dalam jangka panjang, kasus ini memberikan peringatan keras bagi pejabat penyelenggara negara, terkait kasus serupa, bahwa kepercayaan yang diberikan rakyat sangat mahal harganya.

Dalam konteks demokrasi, kepercayaan rakyat adalah kapitalisasi ekspektasi dalam proses pembangunan sosial. 

Mereka menaruh harapan kepada pemimpinnya melalui suara yang diberikannya dalam pemilukada. Menodai kepercayaan rakyat hanya akan melahirkan resistensi berkepanjangan terhadap pemimpin daerah. Sebagai penyelenggara negara dalam proses politik saat ini harus menjaga kepercayaan rakyat dengan bersandarkan pada etika publik yang menjadi filosofi kepemimpinannya. Dengan cara ini, kepemimpinan akan lebih bermakna bagi pembangunan masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar