Menyoal Etika
Publik
Rakhmat Hidayat ; Pengajar Jurusan Sosiologi
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Kandidat
PhD
|
REPUBLIKA,
06 Desember 2012
Bupati Garut Aceng
Fikri yang menceraikan istrinya selama empat hari pernikahan menjadi isu
nasional yang diberitakan berbagai media. Kasus ini jika ditelusuri,
dapat bermuara pada beberapa perspektif. Pertama, penistaan posisi perempuan
dalam relasi sosial kuasa seorang penyelenggara negara. Pernikahan yang hanya
berlangsung empat hari disertai dengan talak melalui pesan singkat tentu saja
memberikan luka mendalam bagi kaum perempuan.
Perempuan berada pada posisi yang termarjinalkan dalam relasi sosial
tersebut.
Tidak heran jika
kalangan perempuan mengecam keras perilaku Bupati Aceng yang menempatkan
mantan istrinya ibarat komoditas. Kedua, pada posisi yang lebih mendasar
adalah ihwal terdegradasikan nya etika publik seorang pejabat daerah dalam
relasi sosial politik. Etika publik menjadi persoalan krusial dalam posisi
Aceng sebagai bupati. Ini bukan lagi soal privasi seorang bupati, tetapi
sudah bergeser ke ranah publik karena otoritas politik yang melekat pada seorang
Aceng Fikri.
Aceng tidak bisa
menafikan bahwa ranah pribadi dan ranah publik sangat tipis batasnya. Bahkan,
ranah pribadi sering kali hilang dalam otoritas politik seorang pejabat
negara. Ia berhadapan dengan ruang sosial yang melegitimasikan kekuasaan
politik kepada di rinya dalam Pemilukada Garut. Ihwal etika publik juga
menjadi perhatian gubernur, Mendagri, hingga Presiden SBY dalam mencermati
kasus ini.
Prinsip Etis
Seseorang yang
menjabat pemerintahan atau dalam posisi politik tertentu memiliki tanggung
jawab yang besar sebagai penyelenggara negara. Pada posisi politik liberal
seperti yang dialami Indonesia, mereka dihasilkan dari kontestasi politik
berbasiskan legitimasi suara rakyat. Suara rakyat menunjukkan legitimasi
kepercayaan kepada otoritas politik di berbagai level pemerintahan.
Sebagai konsekuensi dari proses politik tersebut, aktor politik dengan
otoritas yang dimiliki harus memiliki akuntabilitas dan etika publik yang
dapat menjaga kepercayaan tersebut.
Aktor politik, seperti
penyelenggara negara, tidak lagi berada pada ruang pribadi yang hampa. Dia
sudah berada dan bergerak dalam ruang publik yang dinamis, bahkan
kontestatif. Pada level inilah, etika publik menjadi pendasaran yang
harus dibangun penyelenggara negara. Dalam penjelasan Haryatmoko (2011),
etika publik harus mendorong pengelola negara untuk berpikir, mengambil
keputusan, dan bertindak demi kepentingan publik. Pada berbagai kasus
penyelenggara negara, kita prihatin bahwa etika publik hilang dalam ruang
politik publik.
Kasus Bupati Aceng
hanyalah salah satu kasus dari berbagai kasus lain yang menyeruak ke publik.
Kasus Aceng kebetulan saja terkait dengan isu pernikahan siri. Pada berbagai
kasus lain, seperti korupsi yang marak, juga menjadi fakta tak terbantahkan
bahwa etika publik hilang dalam perilaku penyelenggara negara.
Ruang publik merupakan
arena sosial yang harus dirawat dengan baik oleh seorang penyelenggara.
Konsep ruang publik (public sphere)
dijelaskan Jurgen Habermas (1964) sebagai semua wilayah kehidupan sosial, tempat
terbentuknya opini publik. Akses warga dijamin dan diberikan secara penuh
dalam ruang publik tersebut.
Ruang publik menjadi
arena seorang penyelenggara menjalankan akuntabilitas publiknya secara etis
kepada seluruh rakyatnya. Karena dia berada pada ruang publik maka semua
perilaku dan kinerjanya adalah bagian dari kontrol publik. Bupati Aceng
tampaknya tidak sadar bahwa kasus pernikahan empat harinya sudah menjadi
wilayah publik. Dia tak bisa menolak dengan rangkaian argumen apa pun
bahwa itu adalah urusan privasinya.
Dalam konteks budaya
politik Indonesia yang masih bersandarkan nilai dan norma, kasus Bupati Aceng
mencerminkan hilangnya norma dan nilai seorang pejabat publik. Seorang bupati
sejatinya menjadi contoh dan panutan dalam kehidupan sosial budaya
warganya.
Dalam perspektif
budaya, kasus Aceng mencederai budaya setempat. Jika kita melihat pada
kasus-kasus lain, sebenarnya masih banyak terdapat pejabat lain yang
tingkatnya lebih parah dibandingkan kasus Bupati Aceng. Misalnya, kasus
video seksual yang dilakukan pejabat negara, seperti bupati atau anggota DPR.
Budaya politik
Indonesia sulit untuk menempatkan ranah privasi sebagai sebuah hak dan
kebebasan seorang pejabat negara. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju
di Eropa yang sangat mengagungkan kebebasan dan hak individu. Persoalan nilai
dan norma tidak penting dalam relasi sosial. Hak dan kebebasan pribadi pun
harus ditempatkan sebagai ranah privasi yang tidak mungkin dipergunjingkan ke
publik.
Kasus ini terjadi pada
Presiden Francois Hollande yang melakukan hubungan tanpa pernikahan dengan
Valerie Trierweiler. Valerie sendiri sebelumnya melakukan perselingkuhan
dengan politisi Prancis. Secara sosial budaya tentu berbeda antara Indonesia
dan Prancis. Tak ada pilihan menempatkan kekuatan sosial budaya sebagai
sesuatu yang embedded dalam etika
publik kepemimpinan.
Defisit Kepercayaan
Hilangnya etika publik
dalam kasus Bupati Aceng memberikan implikasi sosial terjadinya defisit
kepercayaan pada pemimpin daerah. Bupati Aceng awalnya terpilih dari jalur
independen bersama Dicky Chandra, sebelum dirinya menyeberang ke Partai
Golkar.
Munculnya demonstrasi
yang menuntut Bupati Aceng mundur adalah bentuk dari krisis kepercayaan sang
bupati. Dalam jangka panjang, kasus ini memberikan peringatan keras bagi
pejabat penyelenggara negara, terkait kasus serupa, bahwa kepercayaan yang
diberikan rakyat sangat mahal harganya.
Dalam konteks demokrasi, kepercayaan rakyat adalah kapitalisasi ekspektasi
dalam proses pembangunan sosial.
Mereka menaruh harapan
kepada pemimpinnya melalui suara yang diberikannya dalam pemilukada. Menodai
kepercayaan rakyat hanya akan melahirkan resistensi berkepanjangan terhadap
pemimpin daerah. Sebagai penyelenggara negara dalam proses politik saat ini
harus menjaga kepercayaan rakyat dengan bersandarkan pada etika publik yang
menjadi filosofi kepemimpinannya. Dengan cara ini, kepemimpinan akan lebih
bermakna bagi pembangunan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar