Jumat, 07 Desember 2012

Gaza dan Status Baru Palestina


Gaza dan Status Baru Palestina
Smith Alhadar ;   Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
REPUBLIKA, 06 Desember 2012


Konflik Israel-Hamas yang telah berlangsung selama 25 tahun harus dirunut ke belakang untuk mencari akar permasalahannya. Sebenarnya, kemunculan Hamas ke panggung politik Palestina merupakan kesalahan kalkulasi Israel. Kebencian dan permusuhan dengan Organisasi Pem bebasan Palestina (PLO) pimpinan almarhum Yasser Arafat yang beroperasi di luar negeri, membuat Israel secara diam-diam menyokong munculnya organisasi baru Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Hamas, yang didirikan di Jalur Gaza pada 1987 oleh Syaikh Ahmad Yasin dan Dr Abdul Aziz al-Rantisi, adalah cabang Ikhwanul Muslimin Mesir dan Yordania. Pada 1970-an saat Hamas belum dibentuk, Syaikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi --keduanya telah dibunuh Israel pada 2004-- bergerak di bidang sosial. Mereka, misalnya, membangun klinik, sekolah, dan universitas tanpa bayaran untuk warga miskin sekaligus melakukan Islamisasi terhadap masyarakat Palestina. 

Keberhasilan revolusi Islam Iran 1979, kemandulan PLO dalam menghadapi Israel, dan gagalnya sistem politik dan ideologi nasionalistis-sekuler di negara-negara Arab mengangkat kepercayaan diri kaum Islamis bahwa ideologi Islam harus menjadi alternatif perjuangan Palestina. Pada 1986-1987 mereka terlibat dalam serangkaian operasi gerilya anti-Israel; kendati mempertahankan keanggotaan yang sangat kecil, mereka memainkan peran penting dalam membangkitkan Intifadah. 

Pertanyaannya, apakah perjuangan Hamas ini realistis dalam upaya menghapus Israel dari peta dunia? Jawabannya tentu tidak. Hamas memang merepotkan Tel Aviv, tapi nyaris mustahil Hamas mampu menghancurkan Israel, yang memiliki angkatan bersenjata terkuat di Timur Tengah. Bahkan, ia memiliki sekitar 200 hulu ledak nuklir. 

Tapi, Iran mendukung perjuangan Hamas dan mengabaikan PLO dan Fatah. Dalam konflik Hamas-Israel saat ini, Hamas menggunakan roket jarak jauh Fajr-5 buatan Iran setelah salah satu fraksi Hamas, Jihad Islam, mengaku menembakkan roket Fajr-5 pada 17 November lalu, yang membuat warga Israel lari tunggang langgang. Dengan roket ini, kelompok Hamas dan Jihad Islam memiliki kesempatan untuk menye- rang jarak yang lebih jauh. 

Fajr-5 bisa mencapai jarak hingga 72 kilometer, menghantam bagian dalam kota Israel. Roket ini jelas lebih canggih ketimbang roket sederhana buatan dalam negeri Gaza, Qassam, yang hanya bisa menempuh jarak 4-20 km. Baik roket Qassam maupun Fajr-5 memiliki tingkat akurasi serangan yang nyaris sempurna. 
Jihad Islam dan Hamas kemungkinan memiliki lebih dari 1.000 roket Fajr.

Dari ratusan roket yang ditembakkan Hamas ke teritori Israel, mayoritas dapat ditangkis kubah besi antimisil Israel. Sementara puluhan serangan bom Israel menghantam Gaza, salah satunya meratakan gedung Kementerian Dalam Negeri Gaza dan rumah mantan PM Palestina Ismail Haniya. Sementara puluhan warga Palestina, 13 di antaranya militer Hamas, tewas.

Kekuatan Hamas jelas tak sepadan dengan militer Israel. Perang Gaza terakhir, selama tiga minggu di akhir 2008 hingga awal 2009, menewaskan 1.400 warga Palestina, lebih dari 900 orang di antaranya warga sipil; ribuan orang lain terluka; ribuan rumah, bangunan komersial, dan institusi pemerintah hancur. Gagalnya sebagian roket Hamas menghancurkan sasarannya karena sejak tahun lalu Israel telah memasang sistem kubah besi antiroket untuk melindungi wilayahnya. 

Melihat kenyataan Gaza menjadi bulan-bulanan Israel, yang membunuh sekian banyak orang untuk menghentikan serangan roket Hamas, sebaiknya Teheran ikut bersama Liga Arab dan OKI yang membujuk Hamas agar menerima eksistensi Israel, berdamai dengan Fatah, dan berjuang melalui jalan diplomasi.
Pada 29 November lalu, sidang Majelis Umum PBB mengakui secara implisit negara Palestina yang berdaulat. 

Statusnya ditingkatkan dari entitas peninjau di PBB menjadi negara peninjau nonanggota yang memiliki akses ke seluruh organ PBB. Dengan status ini Palestina juga bisa mengakses Mahkamah Kriminal Internasional, yang dapat menyeret Israel ke pengadilan in ternasional sebagai penjahat perang kalau melakukan agresi ke Palestina, termasuk membangun permukiman Yahudi di wilayah Palestina.

Rencana Israel membangun 3.000 unit rumah di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang akan membelah Tepi Barat menjadi dua, yaitu utara dan selatan, mendapatkan kecaman internasional, termasuk AS, Inggris, Prancis, dan Sekjen PBB Ban ki-Moon. Dengan demikian, Israel semakin terisolasi dan dukungan internasional terhadap Palestina meningkat.

Memang, hanya melalui diplomasi jalan menuju pembentukan negara Palestina yang merdeka dapat diwujudkan. Dukungan Iran pada rezim Bashar al-Assad, Hamas, dan Hizbullah hanya menunjukkan Teheran lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya. Iran sedang menekan Israel agar tidak menyerang situs-situs nuklirnya dan sekaligus menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar