Gaza dan
Status Baru Palestina
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society for
Middle East Studies
|
REPUBLIKA,
06 Desember 2012
Konflik Israel-Hamas
yang telah berlangsung selama 25 tahun harus dirunut ke belakang untuk mencari
akar permasalahannya. Sebenarnya, kemunculan Hamas ke panggung politik
Palestina merupakan kesalahan kalkulasi Israel. Kebencian dan permusuhan
dengan Organisasi Pem bebasan Palestina (PLO) pimpinan almarhum Yasser Arafat
yang beroperasi di luar negeri, membuat Israel secara diam-diam menyokong
munculnya organisasi baru Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat dan
Jalur Gaza.
Hamas, yang didirikan
di Jalur Gaza pada 1987 oleh Syaikh Ahmad Yasin dan Dr Abdul Aziz al-Rantisi,
adalah cabang Ikhwanul Muslimin Mesir dan Yordania. Pada 1970-an saat Hamas
belum dibentuk, Syaikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi --keduanya telah
dibunuh Israel pada 2004-- bergerak di bidang sosial. Mereka, misalnya, membangun
klinik, sekolah, dan universitas tanpa bayaran untuk warga miskin sekaligus
melakukan Islamisasi terhadap masyarakat Palestina.
Keberhasilan revolusi
Islam Iran 1979, kemandulan PLO dalam menghadapi Israel, dan gagalnya sistem
politik dan ideologi nasionalistis-sekuler di negara-negara Arab mengangkat
kepercayaan diri kaum Islamis bahwa ideologi Islam harus menjadi alternatif
perjuangan Palestina. Pada 1986-1987 mereka terlibat dalam serangkaian operasi
gerilya anti-Israel; kendati mempertahankan keanggotaan yang sangat kecil,
mereka memainkan peran penting dalam membangkitkan Intifadah.
Pertanyaannya, apakah
perjuangan Hamas ini realistis dalam upaya menghapus Israel dari peta dunia?
Jawabannya tentu tidak. Hamas memang merepotkan Tel Aviv, tapi nyaris
mustahil Hamas mampu menghancurkan Israel, yang memiliki angkatan bersenjata
terkuat di Timur Tengah. Bahkan, ia memiliki sekitar 200 hulu ledak
nuklir.
Tapi, Iran mendukung
perjuangan Hamas dan mengabaikan PLO dan Fatah. Dalam konflik Hamas-Israel
saat ini, Hamas menggunakan roket jarak jauh Fajr-5 buatan Iran setelah salah
satu fraksi Hamas, Jihad Islam, mengaku menembakkan roket Fajr-5 pada 17
November lalu, yang membuat warga Israel lari tunggang langgang. Dengan roket
ini, kelompok Hamas dan Jihad Islam memiliki kesempatan untuk menye- rang
jarak yang lebih jauh.
Fajr-5 bisa mencapai
jarak hingga 72 kilometer, menghantam bagian dalam kota Israel. Roket ini
jelas lebih canggih ketimbang roket sederhana buatan dalam negeri Gaza,
Qassam, yang hanya bisa menempuh jarak 4-20 km. Baik roket Qassam maupun
Fajr-5 memiliki tingkat akurasi serangan yang nyaris sempurna.
Jihad Islam dan Hamas
kemungkinan memiliki lebih dari 1.000 roket Fajr.
Dari ratusan roket yang ditembakkan Hamas ke teritori Israel, mayoritas dapat
ditangkis kubah besi antimisil Israel. Sementara puluhan serangan bom Israel
menghantam Gaza, salah satunya meratakan gedung Kementerian Dalam Negeri Gaza
dan rumah mantan PM Palestina Ismail Haniya. Sementara puluhan warga
Palestina, 13 di antaranya militer Hamas, tewas.
Kekuatan Hamas jelas
tak sepadan dengan militer Israel. Perang Gaza terakhir, selama tiga minggu
di akhir 2008 hingga awal 2009, menewaskan 1.400 warga Palestina, lebih dari
900 orang di antaranya warga sipil; ribuan orang lain terluka; ribuan rumah,
bangunan komersial, dan institusi pemerintah hancur. Gagalnya sebagian roket
Hamas menghancurkan sasarannya karena sejak tahun lalu Israel telah memasang
sistem kubah besi antiroket untuk melindungi wilayahnya.
Melihat kenyataan Gaza
menjadi bulan-bulanan Israel, yang membunuh sekian banyak orang untuk
menghentikan serangan roket Hamas, sebaiknya Teheran ikut bersama Liga Arab
dan OKI yang membujuk Hamas agar menerima eksistensi Israel, berdamai dengan
Fatah, dan berjuang melalui jalan diplomasi.
Pada 29 November lalu, sidang Majelis Umum PBB mengakui secara implisit negara Palestina yang berdaulat.
Statusnya ditingkatkan
dari entitas peninjau di PBB menjadi negara peninjau nonanggota yang memiliki
akses ke seluruh organ PBB. Dengan status ini Palestina juga bisa mengakses
Mahkamah Kriminal Internasional, yang dapat menyeret Israel ke pengadilan in
ternasional sebagai penjahat perang kalau melakukan agresi ke Palestina, termasuk
membangun permukiman Yahudi di wilayah Palestina.
Rencana Israel
membangun 3.000 unit rumah di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang akan
membelah Tepi Barat menjadi dua, yaitu utara dan selatan, mendapatkan kecaman
internasional, termasuk AS, Inggris, Prancis, dan Sekjen PBB Ban ki-Moon.
Dengan demikian, Israel semakin terisolasi dan dukungan internasional
terhadap Palestina meningkat.
Memang, hanya melalui
diplomasi jalan menuju pembentukan negara Palestina yang merdeka dapat
diwujudkan. Dukungan Iran pada rezim Bashar al-Assad, Hamas, dan
Hizbullah hanya menunjukkan Teheran lebih mengutamakan kepentingan
nasionalnya. Iran sedang menekan Israel agar tidak menyerang situs-situs
nuklirnya dan sekaligus menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar