Kamis, 13 Desember 2012

Menjaga Momentum Perangi Korupsi


Menjaga Momentum Perangi Korupsi
Bambang Soesatyo ;  Anggota Komisi III DPR,
Presidium Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI)
SUARA MERDEKA, 11 Desember 2012


"Masyarakat tahu bahwa pemerintah dan penegak hukum tak independen menyikapi penggelapan pajak dan pencurian BBM bersubsidi"

KEMAJUAN langkah yang diperlihatkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini merupakan upaya habis-habisan guna menjaga momentum perang melawan korupsi. Menjaga konsistensi perang melawan korupsi di negara ini ibarat menegakkan benang basah. Tegas galak dalam wacana tetapi melempem pada tahap tindakan.

Padahal, penyakit korupsi sudah pada stadium akhir. Oknum penegak hukum tidak saja ikut-ikutan mempraktikan tindakan korup tetapi juga berani melakukan perselingkuhan dengan sindikat kejahatan, termasuk sindikat narkoba. Dalam konteks memerangi korupsi, muncul gejala yang membikin masyarakat pesimistis terkait respons minimalis penegak hukum terhadap kasus megakorupsi, semisal kasus Bank Century, mafia pajak, dan pencurian BBM bersubsidi. Sentuhan hukum pada tiga kasus itu tidak all out, dan penegak hukum tidak mengidentifikasi sebagai kejahatan besar.

Padahal, kerugian negara dan rakyat sangat besar. Bukan hanya menghambat pembangunan, melainkan juga menjadi pendorong kemeluasan kemiskinan. Kelangkaan BBM bersubsidi akibat pencurian misalnya, menyebabkan aktivitas perekonomian di sejumlah daerah terganggu. Mengapa kejahatan-kejahatan besar itu tidak ditanggapi serius oleh pemerintah dan penegak hukum?

Tetapi masyarakat juga paham bahwa pemerintah dan penegak hukum tidak independen menyikapi kejahatan besar seperti penggelapan pajak atau pencurian BBM bersubsidi. Di balik  kejahatan besar tersebut, tersimpan beragam kepentingan komersial oknum pemerintah dan oknum penegak hukum. Praktik itu sudah menjadi cerita atau obrolan para pebisnis di jalanan.

Tentang pencurian BBM misalnya, sudah bukan rahasia lagi bahwa ada pasar gelap, dengan penawar dari berbagai kalangan. Penawaran atas BBM bersubsidi dilakukan ekstrahati-hati dengan jumlah pemain sangat terbatas. Kalau penawar dan pembeli bersepakat, mereka kemudian mengatur pengamanan pengangkutan, baik lewat laut maupun darat.

Tapi kejahatan itu dilakukan dengan sangat terbuka. Begitu juga perilaku menyimpang oknum pegawai pajak menerapkan modus diskon untuk menggelapkan penerimaan negara. Mengapa penegak hukum negara juga tak bisa menghentikan atau memerangi? Kecenderungan seperti inilah membuat masyarakat pesimistis terhadap kesungguhan memerangi korupsi.

Kini, optimisme masyarakat kembali muncul melihat kemajuan yang dicatat KPK dalam menangani sejumlah kasus besar. Dalam rentang waktu relatif pendek, komisi antikorupsi berani menetapkan status tersangka terhadap jenderal polisi berbintang dua dan menteri yang masih aktif. Bahkan, menetapkan dua mantan deputi gubernur BI sebagai tersangka dalam kasus Century. Capaian yang luar biasa.

Kerugian Negara

Masyarakat akan menerjemahkan kemajuan langkah KPK itu sebagai keberanian untuk menyergap figur-figur kuat yang terlibat dalam kasus korupsi. Capaian itu ibarat upaya kembali menghidupkan momentum perang melawan korupsi. Agar momentum ini tidak meredup masyarakat perlu mengawal, termasuk melawan usaha melumpuhkan komisi antikorupsi itu.

Tidak berlebihan jika publik mengapresiasi kemajuan yang dibukukan KPK, mengingat langkah berani itu justru ditunjukkan ketika upaya-upaya pelemahan KPK  diperlihatkan secara masif. Belasan penyidik angkat kaki, dan dilanjutkan dengan upaya mendiskreditkan pimpinan komsi tersebut. Itulah gambaran nyata tentang betapa sulit memerangi korupsi di negara ini.

Pada kasus penggelapan pajak dan pencurian BBM bersubsidi misalnya, nilai kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah. Kalau diakumulasikan, kerugian tahun bisa lebih dari Rp 100 triliun. Perkiraan ini pun masih mengacu pada kasus-kasus yang sudah teridentifikasi.

Untuk kasus penggelapan pajak yang bisa diidentifikasi Ditjen Pajak pada 2010 misalnya,  mencapai Rp 1,17 triliun. Padahal, banyak persoalan yang tidak teridentifikasi atau tidak sungguh-sungguh ditangani. Contohnya kasus dugaan manipulasi restitusi pajak oleh Wilmar Group.   

Perkiraan angka kerugian negara paling fantastis muncul dari pencurian BBM bersubsidi. Modusnya pencurian tetapi esensinya tindakan koruptif mengingat diskenariokan dalam pengelolaan BBM bersubsidi. Ironisnya, pemerintah selalu mengeluhkan pembengkakan nilai subsidi BBM bersubsidi, sampai-sampai mengambinghitamkan subsidi untuk rakyat itu dengan dalih mengganggu keseimbangan APBN.

Padahal, pembengkakan itu terjadi akibat salah kelola dan skenario pencurian. Kalau dikelola dengan benar dan tepat sasaran, BBM bersubsidi tidak mengganggu APBN, karena sesungguhnya tidak banyak warga yang berhak menerima subsidi. Hasil kajian yang dipublikasikan belakangan ini memunculkan angka pencurian BBM bersubsidi sampai 30% dari total kuota tiap tahun anggaran.

Coba hitung, berapa besar BBM bersubsidi yang dikorupsi, kalau tahun ini pemerintah mengalokasikan subsidi Rp 137,4 triliun untuk kuota 40 juta kiloliter? Kebijakan menyubsidi BBM tidak salah tetapi pengelolaan yang koruptif menyebabkan kebutuhan akan komoditas itu selalu melampaui kuota, ditambah pendistribusian yang tidak tepat sasaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar