Ikan Subsidi
dan “Degrowth” Ekonomi Perikanan
Suhana ; Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan
Kelautan dan Peradaban Maritim
|
SINAR
HARAPAN, 11 Desember 2012
Kebijakan
ekonomi perikanan sampai saat ini belum menemukan suatu konsep yang
benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan bangsa dan
negara.
Menurut
catatan penulis, berbagai kebijakan ekonomi perikanan mulai dari Protekan
2003, Gerbang Mina Bahari, Revitalisasi Perikanan, Minapolitan dan Blue
Economic saat ini, semuanya berorientasi pada kepentingan asing, terutama
dalam memenuhi kebutuhan negara-negara maju akan sumber daya ikan yang
berkualitas tinggi.
Hal
ini tercermin dari target indikator kinerja utama Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang mengedepankan peningkatan volume ekspor ikan dan produk
perikanan, dibandingkan perbaikan dan peningkatan pasar dalam negeri. Lebih
prihatin lagi, pasokan ikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju
tersebut difasilitasi dengan BBM bersubsidi.
Penggunaan
BBM bersubsidi untuk usaha perikanan saat ini diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen
Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Dalam
lampiran perpres tersebut dijelaskan bahwa usaha perikanan termasuk yang
memiliki yang dimaksud dengan usaha perikanan tersebut adalah (a) Nelayan
yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 GT dan
diberikan kebutuhan BBM paling banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan
untuk kegiatan penangkapan ikan; (b) Nelayan yang menggunakan kapal ikan
Indonesia dengan ukuran di atas 30 GT dan diberikan kebutuhan BBM paling
banyak 25 (dua puluh lima) kiloliter/bulan untuk kegiatan penangkapan ikan;
(c) Pembudi daya-ikan kecil yang menggunakan sarana pembudidayaan ikan untuk
operasional perbenihan dan pembesaran.
Tingginya
kepentingan asing di sektor perikanan tercermin juga dari tingginya nilai
investasi asing di sektor kelautan dan perikanan. Data Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM 2012) menunjukan bahwa sampai triwulan 2 2012,
investasi sektor perikanan 94,11 persen dikuasai asing.
Bahkan,
dalam dua tahun terakhir (2010 dan 2011) investasi asing di sektor perikanan
mencapai di atas 99 persen. Bahkan, informasi di lapangan menunjukkan
kapal-kapal perikanan yang bersumber dari investasi asing tersebut semuanya
berbendera Indonesia, hal ini dimaksudkan supaya mereka bisa menikmati BBM
bersubsidi yang disediakan pemerintah.
Subsidi
perikanan (BBM, pakan, kapal, dll) sampai saat ini penulis masih memandang
sangat diperlukan untuk mendukung usaha perikanan nasional, khususnya usaha
perikanan kecil dan menengah (UMKM Perikanan).
Dengan
adanya subsidi perikanan tersebut diharapkan ikan-ikan yang dihasilkan oleh
subsidi perikanan tersebut dapat seratus persen dimanfaatkan dan dinikmati
masyarakat Indonesia sendiri, melalui ketersediaan ikan-ikan kualitas baik
dengan harga subsidi.
Namun
demikian, yang terjadi sampai saat ini ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dan
perusahaan perikanan skala industri yang telah memanfaatkan BBM bersubsidi
sebagian besar diekspor ke pasar-pasar negara maju, seperti Jepang, Uni Eropa
dan Amerika Serikat, terutama untuk ikan-ikan kualitas 1 dan 2.
Hasil
survei lapangan penulis di beberapa lokasi sentra produksi perikanan
menunjukkan bahwa ikan-ikan berkualitas 1 dan 2 rata-rata diekspor ke Jepang,
Amerika dan Uni Eropa, sementara ikan kualitas 3, 4 dan ikan asin rata-rata
untuk konsumsi restoran dan pasar lokal.
Artinya
bahwa selama ini pemerintah secara sistematis telah berperan dalam
menyediakan pasokan kebutuhan ikan negara maju dengan memanfaatkan uang
rakyat.
Peningkatan
Gizi Rakyat
Polanco
(2012) menyatakan bahwa konsumsi ikan masyarakat merupakan fungsi dari
pendapatan yang dapat dibelanjakan dan harga ikan. Dengan meningkatnya
pendapatan atau menurunnya harga ikan maka akan berdampak positif terhadap
peningkatan konsumsi ikan masyarakat.
Peran
subsidi perikanan adalah untuk menurunkan biaya produksi yang harus
ditanggung para nelayan dan pengusaha perikanan. Biaya produksi perusahaan
perikanan 60-70 persen merupakan biaya untuk bahan bakar minyak.
Dengan
demikian, seharusnya ikan-ikan segar yang berkualitas bagus yang dihasilkan
kapal-kapal perikanan bersubsidi tersebut dipasarkan di dalam negeri dengan
harga terjangkau (harga subsidi). Ini karena anggaran subsidi BBM tersebut
berasal dari uang rakyat, jadi sudah sepantasnya juga ikan hasil produksinya
dinikmati rakyat Indonesia.
Selain
itu, ketersediaan ikan subsidi berkualitas baik tersebut diperlukan guna
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang saat ini kondisi
gizinya sangat mengkhawatirkan, terutama sumber daya manusia di sentra-sentra
produksi ikan.
Dokumen
Bappenas (2010) menunjukkan bahwa bayi yang kekurangan gizi masih sangat
tinggi, terutama di provinsi-provinsi berbasis sektor kelautan dan perikanan.
Misalnya
Maluku (27,8 persen), Maluku Utara (22,8 persen), Nusa Tenggara Timur (33,6
persen), Nusa Tenggara Barat (24,8 persen), Sulawesi Tenggara (27,6 persen),
Papua (21,2 persen), Papua Barat (23,2 persen), Gorontalo (25,4 persen), Riau
(21,4 persen), Kalimantan Barat (22,5 persen), dan Kalimantan Timur (19,3
persen).
Berdasarkan
kondisi tersebut sudah saatnya ikan-ikan yang dihasilkan dari subsidi
perikanan dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah, yaitu pertama reorientasi
kebijakan ekonomi perikanan dari pertumbuhan volume ekspor ikan (growth) ke
penurun volume ekspor (degrowth).
Hal
ini sesuai dengan amanat Pasal 25B Ayat (2) UU No 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang secara tegas menyatakan
bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri (ekspor)
dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi
kebutuhan konsumsi nasional.
Kedua,
pemerintah harus menyediakan aturan yang tegas terkait siapa saja yang dapat
memanfaatkan BBM bersubsidi di sektor perikanan. Industri perikanan yang akan
memanfaatkan BBM bersubsidi diharuskan membuat nota kesepahaman agar
ikan-ikan yang dihasilkan industri tersebut 100 persen untuk kepentingan
masyarakat Indonesia.
Industri
perikanan nasional harus didorong untuk berkomitmen dalam meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang baik melalui ketersediaan
ikan-ikan berkualitas gizi yang baik dengan harga yang terjangkau. Sementara
itu, kapal-kapal asing berbendera Indonesia dilarang 100 persen menggunakan
BBM bersubsidi.
Ketiga,
tindak tegas para pelaku ekspor dan impor ikan ilegal. Data UN-Comtrade
(2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari
Indonesia ke Thailand. Pada 2000 tercatat dugaan ekspor ikan tuna Albacore
secara ilegal mencapai 52 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore
Indonesia ke Thailand, yaitu mencapai 271.419
kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.
Sementara
itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan tuna Albacore ilegal ke Thailand semakin
meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna Albacore
Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna Albacore ilegal dari Indonesia
ke Thailand tahun 2010 diperkirakan mencapai 2.352.724 kg dengan nilai
mencapai US$ 8.326.839.
Jadi,
pemerintah perlu menyusun kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan
masa depan bangsa melalui “Degrowth” Ekonomi Perikanan dan Gerakan Makan Ikan
Segar Produksi Dalam Negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar