Selasa, 04 Desember 2012

Membangun (kembali) Pendidikan Pancasila


Membangun (kembali) Pendidikan Pancasila
Benni Setiawan ;  Peneliti dan dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 03 Desember 2012


“TANPA Pancasila negara bubar.” Kata itu pernah dipekikkan Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Presiden Keempat Republik Indonesia itu dengan kesungguhan jiwanya berdiri tegak di garda depan untuk terus menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kebangsaan.

Gus Dur memandang Pancasila dalam dua hal utama. Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara, berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti oleh undang-undang dan produk-produk hukum yang lain. Tata pikir seluruh bangsa, menurutnya, ditentukan falsafah yang harus terusmenerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara.

Kedua, sebagai falsafah dan ideologi negara, harus jelas dikatakan ‘adanya tumpangtindih antara Pancasila dan sebagian sisi kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Di sini, Gus Dur berargumentasi: di satu sisi, agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengandung unsur-unsur universal (meskipun semuanya juga mengandung unsur-unsur eksklusif ) sehingga sulit dibatasi hanya dalam konteks keindonesiaan dan sisi lain, Pancasila adalah keindonesiaan itu sendiri.

Gus Dur kemudian menafsirkan bahwa hal ini langsung tampak dalam upaya Pancasila untuk menekankan sisi kelapangan dada dan toleransi dalam kehidupan antarumat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Meski begitu, wawasan tentang kebersamaan antaragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak sepenuhnya sama dengan wawasan tentang itu dalam agama-agama dan kepercayaan.

Dari sini kemudian Gus Dur mengakui dua sisi; pertama, adanya independensi teologis kebenaran setiap agama dan kepercayaan; dan kedua, Pancasila perlu bertindak sebagai polisi lalu lintas dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan. Gus Dur menggambarkan ini dengan jelas dalam rumusan sederhana, tetapi sangat penting, yaitu ‘semua agama diperlakukan sama oleh undang-undang dan diperlukan sama oleh negara’. Di sini Pancasila sebagai ideologis dan falsafah negara memiliki fungsi yang batasanbatasan minimalnya tidak boleh ditundukkan oleh agama-agama dan kepercayaan yang ada (Nur Khalik Ridwan, 2010).

Konsepsi Pancasila dari guru bangsa tersebut sering kali belum mewujud dalam kehidupan kebangsaan. Makna Pancasila masih saja sempit dan masih saja terbatas pada sila-sila tanpa pemaknaan yang memadai. Karena itu tidak mengherankan jika, sampai hari ini, Pancasila kurang mampu diwujudkan dan dipahami. Ada anak bangsa yang bahkan tidak lagi mengetahui nilai-nilai Pancasila. Beberapa survei yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan karena banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak mengetahui sila-sila Pancasila.

Jika pelajar dan mahasiswa sebagai peserta didik saja ada yang tidak mengetahui sila-sila Pancasila, bagaimana halnya dengan masyarakat umum? Di sisi lain, berbagai fenomena sosial kekinian membuat kita terpana dan bertanya apakah memang bangsa dan negara ini telah melupakan nilai-nilai Pancasila?

Revitalisasi

Pancasila harus menjiwai dan sekaligus diwujudkan dalam produk peraturan perundang-undangan dan realitas sosial. Revitalisasi Pancasila harus dilakukan baik melalui proses berpikir maupun bertindak. Pancasila sebagai objek kajian ilmu pengetahuan harus didorong untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keyakinan atas nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara (Janedjri M Gaffar, 2011).

Dengan demikian, pemahaman akan Pancasila tidak lagi sekadar menghafal. Namun, lebih kepada pemaknaan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pancasila bukanlah ideologi mati. Pasalnya, ia perlu terus dikembangkan agar sesuai dengan konteks zaman. Pemahaman yang demikian pun dapat menjembatani pemahaman yang keliru tentang Pancasila.

Oleh karenanya, perlu upaya nyata semua pihak agar Pancasila tidak diajarkan dalam hafalan-hafalan butir-butir saja. Namun, juga aspek ke sejarahan yang memungkinkan semua orang kinkan semua orang tahu bahwa Pancasila merupa kan konsensus bersama bapak dan ibu bangsa (founding fathers and mothers) dalam meletakkan dasar negara.

Pertanyaan yang muncul kemudian ialah mengapa hal tersebut sulit diwujudkan? J Kristiadi berpendapat, tidak tercapainya tujuan pendidikan Pancasila disebabkan sistem pengajaran yang keliru. Pendidikan Pancasila berlangsung unilateral, datang dari negara, dan tidak memungkinkan munculnya perbedaan pen dapat. Sistem itu menghasilkan warga negara yang tidak cerdas karena pendidikan dilakukan secara otoriter demi kepentingan penguasa.

Dalam istilah Moeljarto Tjokrowinoto (1996), fenomena itu disebutnya sebagai ideological displacement, mengambil Pancasila sebagai sosok ideologi formal, tetapi menggeser nilai-nilai fundamentalnya. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila harus direvitalisasi dan didesain ulang secara berbobot dan menyenangkan sehingga tidak dipahami hanya sebagai ideologi atau kumpulan doktrin yang tertutup (Asep Purnama Bachtiar, 2009). Pendidikan Pancasila dapat diajarkan sejak dini dengan menanamkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Kecintaan pada bangsa dan negara akan mendorong peserta didik semakin menghargai proses perjuangan pahlawan bangsa dalam memantapkan keberadaan NKRI.

Pada tingkat yang lebih tinggi, peserta didik mulai dikenalkan dengan nama tokoh-tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Moh Yamin sebagai salah seorang yang juga merumuskan ideologi Pancasila. Pengenalan tokoh menjadi penting guna semakin mengakrabkan buah pemikiran dan rekam jejak pahlawan nasional. Dengan semakin mengenal tokohtokoh bangsa, peserta didik akan semakin mengenal jati diri bangsanya.

Melalui pengenalan tokoh bangsa pula, pemuda Indonesia tidak akan mudah mengelu-elukan (dengan histeria yang berlebihan ketika bertemu) artis-artis luar negeri. Mereka pun akan bersikap dan atau meneladani kiprah kepahlawanan tokoh bangsa yang jujur dan sederhana. Sebuah sikap yang kini mulai jarang dimiliki oleh pejabat Indo nesia saat ini.

Pada tingkat pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, pemahaman Pancasila sudah selayaknya disampaikan dalam proses pengenalan nilai. Pancasila sebagai kesatuan langkah berbangsa dan bernegara. Pancasila bukanlah ideologi tertutup yang miskin makna. Namun, nilai Pancasila perlu untuk diteliti dan dikembangkan agar semakin banyak perspektif yang muncul guna menyelesaikan persoalan bangsa.

Model pengajaran seperti itu dapat menepis stigma negatif tentang pendidikan Pancasila. Selama ini pengajaran pendidikan Pancasila di perguruan tinggi masih saja dicomot langsung dari pemikiran Soekarno. Inilah yang kemudian dikritik oleh Daoed Joesoef. Menteri pendidikan dan kebudayaan di era Orde Baru itu menyatakan materi pendidikan Pancasila sering kali tidak diacuhkan oleh mahasiswa. Pancasila kalah bersaing dengan ideologi-ideologi besar lainnya seperti marxis me, sosialisme, kapitalisme, ataupun leninisme.

Maka dari itu diperlukan pendidik atau dosen dengan cakrawala yang luas dan dengan bacaan yang komprehensif mengenai Pancasila. Melalui modal itu, mahasiswa tidak lagi menganggap enteng ideologi ini. Ideologi Pancasila layak disandingkan dengan ideologi besar lainnya yang sudah tergolong `mapan'.

Pada akhirnya, di tengah semakin tingginya intensitas konflik suku agama, ras dan antargolongan (SARA) di pelbagai daerah, seperti di Sampang, Madura, Jawa Timur, Timika, Papua, sengketa lahan di Lampung, Medan, Sumatra Utara, dan baru-baru ini pembakaran sebuah kampung di Bima, Nusa Tenggara Barat; tawuran antarpelajar dan mahasiswa yang semakin menjadi; korupsi yang semakin akut, dan kendurnya sikap kebangsaan (berbangsa dan bernegara) yang mengarah ke rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara--kalau tidak mau disebut bubarnya negara--pendidikan Pancasila tampaknya perlu untuk diajarkan kembali. Pendidikan Pancasila bukanlah pelajaran yang usang. Ia akan senantiasa hidup di tengah keragaman dan pluralitas bangsa Indonesia. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar