Selasa, 04 Desember 2012

Pemuda Ogah Bertani


Pemuda Ogah Bertani
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA, 03 Desember 2012


Salah satu persoalan besar bangsa di masa depan adalah bagaimana menyediakan pangan yang cukup bagi semua warga. Jika program keluarga berencana berhasil, tahun 2030 penduduk Indonesia diperkirakan 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang, dibutuhkan 59 juta ton beras.

Pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,4 juta hektare, hampir setara dengan luas tanam padi sekarang (12 juta hektare). Itu baru padi, belum termasuk kebutuhan jagung, kedelai, gula, umbi-umbian, sayuran, dan yang lain.
Ini pekerjaan mahaberat. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan.

Keuntungan usaha tani on farm belum menjanjikan, produktivitas pangan melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara akibat jerat kemiskinan konversi lahan pertanian berlangsung masif. Degradasi lahan terus berlangsung, air kian tidak memadai, dan iklim sulit di prediksi. Liberalisasi kebablasan membuat impor pangan meledak.

Dalam kondisi demikian, regenerasi petani justru menghadapi masalah serius. Ada dua persoalan mendasar dalam tenaga kerja di sektor pertanian. Pertama, pendidikan yang rendah. Hasil survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (BPS, 2011) menunjukkan, 32,7 persen petani dengan nilai produksi terbesar tidak tamat SD, 42,3 persen tamat SD, dan 14,6 persen tamat SLTP. Pendidikan yang rendah membuat pertanian tak tersentuh teknologi. Bahkan, rendah sentuhan tersebut, rendah manajemen, dan seterusnya. Kedua, gerontokrasi tenaga kerja pertanian. Dari survei yang sama menunjukkan, 47,6 persen petani yang memiliki produksi terbesar berumur lebih 50 tahun. Hasil ini memperkuat proposisi selama ini, profesi petani bukan sesuatu yang diinginkan para generasi muda.

Ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan mengejutkan. Kajian pedesaan kurun 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemukan fakta getir, tenaga kerja muda di perdesaan Jawa amat langka. Yang tersisa hanya pekerja tua-renta dan tidak produktif, yang lambat responsnya terhadap perubahan dan teknologi. 

Salah satu penyebab pertanian tidak dilirik para pemuda adalah profesi ini identik dengan gurem, udik, miskin, dan terbelakang. Pertahanan ekonomi petani ada di tebir jurang. Salah satu temuan mengejutkan, ternyata lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar sektor pertanian (Patanas, 2004), seperti ngojek, dagang dan pekerja kasar. 

Secara evolutif, sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani telah merosot, dari 36,2 persen tahun 1980-an tinggal 13,6 persen saat ini. Dalam kategori seperti itu sebenarnya tidak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan tersebut.

Rendahnya minat generasi muda menekuni profesi petani secara tidak langsung bisa ditilik dari terpuruknya studi pertanian di perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi harus menutup studi pertanian karena sepi peminat.

Sebetulnya, keterpurukan studi pertanian hanya akibat sektor pertanian dimarjinalkan, ditaruh di belakang dan di tempat sepi. Tidak hanya dukungan pendanaan dan kelembagaan, perhatian pun mengendur. 

Bahkan, lebih dari dua dasawarsa dikampanyekan untuk segera meninggalkan pertanian dan segera melompat ke industri dengan membangun proyek industri mercusuar, footloose, kandungan impor tinggi, dan dibiayai dari utang luar negeri. Karena industri tak berbasiskan resource based, sektor pertanian menjadi marjinal.

Maka, terjadi dualisme ekonomi, sistem tradisional yang padat tenaga kerja di perdesaan dengan koefisien teknis produksi dapat berubah dan sistem modern yang padat modal di perkotaan dengan koefisien teknis produksi tetap. Dualisme ekonomi itu menciptakan wilayah perdesaan dan perkotaan bersifat tertutup satu sama lain. 

Pertumbuhan ekonomi yang berasal dari sektor industri perkotaan tidak menetes ke wilayah perdesaan sehingga kesenjangan pendapatan antara kedua wilayah tersebut cenderung semakin melebar. Jadi, secara makro kebijakan ekonomi dan pembangunan memang mendiskriminasi pertanian.

Tidak salah jika pemuda ogah bertani karena mereka tak melihat masa depan yang baik. Selain itu, ada cara pandang masyarakat yang salah terhadap sektor pertanian. Yaitu, selama ini ada praanggapan yang salah kaprah bahwa budaya tani harus dipermodernkan.

Pola pikir ini memasung petani dan anak-anaknya. Dari segi pendidikan, anak-anak petani telah dididik untuk suatu cita-cita di luar pertanian, yakni menjadi salah satu faktor produksi bagi industri yang tidak berbasis pertanian.

Setelah lulus, mereka tidak kembali dan membangun desa, tetapi mencari peruntungan di kota. Itu pun mereka tidak bekerja di pekerjaan yang terkait pertanian. Ilmu mereka muspro.

Dari sisi ini, sebenarnya telah terjadi pelarian sumber daya dari desa ke kota.
Tidak mudah mengubah kondisi ini. Selain menggeser kebijakan pembangunan, kurikulum studi pertanian harus dirombak total.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar