Selasa, 04 Desember 2012

Kesatuan Kebangsaan dan Keragaman


Kesatuan Kebangsaan dan Keragaman
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
MEDIA INDONESIA, 03 Desember 2012


BANGSAKU hari ini adalah kenyataan yang jauh dari idaman para tokoh bangsa tempo doeloe. Salah satu yang harus diberi apresiasi besar dan tinggi ialah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang pelaku sejarah yang menginginkan terbentuknya kesatuan kebangsaan dan keagamaan dalam hati nurani setiap rakyat Indonesia. Lewat perjuangan Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam, Indonesia melahirkan tokoh-tokoh lainnya yang progresif dan andal, di antaranya Soekarno, Semaun, dan Kartosoewiryo.

Salah satu semboyan HOS Tjokroaminoto yang tersohor kala itu ialah kata mutiaranya yang sangat menginspirasi, yaitu ‘setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat’. Kesadaran akan pentingnya ilmu bagi negara yang belum merdeka ketika itu diletakkan dalam kerangka kebangsaan yang segar, sambil tak lupa untuk tetap berpegang teguh dengan prinsip keagamaan. Kesadaran normatif seperti inilah yang justru melahirkan banyak sekali ide dan inspirasi dari para pemuda ketika itu.
Interaksi Tjokroaminoto dengan Soekarno, Semaun, dan Kartosoewiryo seolah menjadi garis linier kesejarahan Indonesia hingga saat ini.

Laksana sebuah takdir, untuk tak menyebutnya kutukan, Indonesia seolah tak bisa keluar dari impitan dan godaan sayap kiri (left wing) yang diwakili oleh Semaun dengan sosialisnya, sayap tengah (middle wing) oleh Soekarno dengan nasionalismenya, serta sayap kanan (right wing) oleh Kartosoewiryo dengan islamismenya. Tiga warisan inilah yang terus-menerus bertikai dalam peta politik Indonesia yang katanya demokratis, tetapi terkadang lalai dalam mengawal elan dasar kesatuan kebangsaan dan keagamaan yang dirumuskan dengan sangat elegan dalam Pancasila.

Pancasila adalah jalan tengah antara kiri, kanan, dan tengah. Semua kepentingan etnik, budaya, dan agama terangkum dengan baiknya dalam rumusan sila-silanya.
Mengapa harus Pancasila? Karena seperti kata Supomo, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam.

Meskipun alasan Supomo diterima oleh banyak nasionalis Islam waktu itu, perdebatan tentang hal tersebut muncul kembali pada 1950-1959, dan setelah lengsernya Presiden Soeharto dan munculnya reformasi pada 1998 sampai sekarang Pancasila seperti tak bergaung lagi.

Gagasan kesatuan kebangsaan dan keagamaan juga bisa ditelusuri jejaknya dari tulisan Muhamad Hatta tentang Collectivism (1930). Dalam pandangan Hatta, suatu bangsa tidak mungkin dibangun tanpa prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Prinsip solidaritas mengisyaratkan perlunya kerja sama (koperasi) yang aktif secara kolektif dari komponen-komponen budaya, etnik, tradisi dan agama yang
ada dalam masyarakat. Prinsip subsidiaritas ialah nilai-nilai kebersamaan dengan yang mampu membantu yang tidak mampu, yang kuat membantu yang lemah, khususnya di bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan. Semangat itulah yang seharusnya mendominasi struktur berpikir masyarakat Indonesia saat ini.

Namun, yang terjadi ialah sebaliknya, kesatuan kebangsaan dan keagamaan tercabik-cabik oleh hasrat dan syahwat kepentingan golongan tertentu saja, dan menjadikan masyarakat kita saat ini tak lagi menghargai keragaman etnik, budaya, tradisi dan agama yang menjadi kekayaan bangsa. Abdul Hadi WM dengan amat geram melukiskan kondisi saat ini sebagai akibat dari rendahnya apresiasi kita terhadap segala jenis keragaman kebangsaan dan keagamaan bangsa sendiri, tetapi lebih menerima kebudayaan bangsa lain sebagai way of life. “Bangsa yang lebih memuliakan kebudayaan bangsa lain pertanda ia menjadikan dirinya hina dan tak bermartabat. Kendati mereka sering menutupi kehinaan dirinya dengan sikap yang congkak, sok pintar, dan sok bijak.“

Selain itu, rendahnya kesadaran sejarah suatu masyarakat, menandakan gagalnya pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas memiliki ingatan sejarah yang kuat, dan mau belajar dari sejarah. Alih-alih melakukan introspeksi diri akan kelemahan dan kesalahannya, malahan banyak orang Indonesia sekarang lebih suka menyalahkan konstitusi yang dibangun dengan susah payah oleh pendiri negara bangsa.

Padahal sangat tidak masuk di akal jika kita mengingkari Pancasila, yang dalam rumusan Soekarno disebut sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk ini. Secara puitis, Pramoedya Ananta Toer menulis: ‘Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat’.

Kutipan dari salah satu tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa) itu jelas sangat relevan bagi penubuhan nilai keragaman di semua lapisan masyarakat. Bahkan secara sadar dan bertanggung jawab, para founding father republik ini merumuskan makna spiritual keragaman dalam Pancasila. Karena itu, tak terlalu salah jika Pancasila lahir untuk menegaskan secara sosial, budaya, tradisi, adat istiadat, dan agama, Indonesia sebenarnya merupakan anak semua bangsa; di dalamnya mencerminkan sebuah mozaik yang sangat indah, penuh warna dan nuansa.

Jika hari ini masih ada sekelompok masyarakat yang ragu dengan Pancasila, jelas orang atau kelompok tersebut sedang hidup di ruang hampa atau bahkan kedap suara. Padahal dari perjalanan sejarah bangsa jelas sekali Pancasila merupakan ikatan kesatuan kebangsaan dan keagamaan masyarakat Indonesia, karena Pancasila telah memperlihatkan kemampuan integratif yang luar biasa. Pancasila bukan saja memancarkan integrasi kebangsaan dari lapisan-lapisan sosial, tetapi juga integratif kesejarahan antara masa lampau, kini, dan akan datang dan sesama umat manusia serta makhluk dengan al-Khalik. Selain itu, Pancasila juga merupakan pantulan kepribadian kita bersama, karena dia memberikan corak atau ciri khas kepada bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar