Cendekiawan
dan Krisis Karakter
Muhammadun ; Analis pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Desember 2012
“Cendekiawan harus hadir melakukan GERAKAN BARU yang lebih profesional.
Selama ini gerakan kaum cendekiawan lebih mengarah
ke hal hal yang bermisi keilmuan saja.”
PADA 6 Desember 2012, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) memperingati hari lahirnya ke-22. Refleksi hari lahir ICMI, 6 Desember
1990, mempunyai arti penting bagi perjalanan organisasi tersebut dalam
beberapa tahun mendatang. Semua itu disebabkan ICMI merupakan kumpulan para
intelek yang menjadi tulang punggung masyarakat Indonesia dalam membangun
masa depan.
Di tangan cendekiawan, dalam pandangan Yudi Latif (2005),
tanggung jawab menyelamatkan bangsa ini disandarkan. Tanggung jawab utama
cendekiawan ialah mentransformasikan populisme dari kesadaran diskursif
menjadi kesadaran praksis. Problem kehidupan kita ialah keterbelakangan
rakyat dan keengganan kaum elite membebaskan diri dari masa lalu dan status quo. Politisasi masa lalu dan
mistifi kasi status quo harus
dihentikan demi memberi jalan terciptanya rekonsiliasi dan rekonstruksi
nasional. Inilah saatnya bagi cendekiawan Indonesia dari berbagai kelompok
menuju panggilan sejarah bersama untuk melayani dan menyelamatkan bangsa.
Begitu besarnya peran para cendekiawan, maka muktamar yang
telah dijalankan harus menjadi momentum kebangkitan ICMI yang dalam tujuh
tahun terakhir ini mengalami krisis eksistensial yang mendalam. Krisis
eksistensial itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang ICMI sebagai salah
satu corong pemerintah sehingga pascaruntuhnya kekuasaan Orde Baru, seolah
runtuh pula kekuatan ICMI.
Kepengurusan baru ICMI dengan rumusan yang telah
ditetapkan harus kembali meneguhkan peran ICMI sebagai kelompok cendekiawan
yang tidak hanya mampu menjadi pemecah masalah terhadap kondisi kebangsaan,
tetapi juga mampu membuka ruang publik kebebasan dalam menumbuhkan iklim
intelektualisme masyarakat bangsa. Hal itu sangat penting karena sistem
berpikir masyarakat Indonesia sekarang ini dipasung budaya citra. Dalam
pandangan Kuswaidi Syafi’ie (2004), ketika manusia mengikuti budaya citra, dia
akan terjebak oleh hegemoni orang lain karena tingkah laku sehari-harinya
dipasung citra yang dibangun bangsa lain.
Masyarakat Indonesia tercerabut dari budaya dan tradisi
sendiri yang inheren sehingga bangsa ini mengalami krisis eksistensial yang
mengarah ke split personality
(keterpecahan individu). Hal itu mengakibatkan manusia kehilangan tujuan dan
orien tasi. Itulah krisis eksistensial yang dihadapi bangsa tercinta ini.
Krisis tersebut tidak hanya disebabkan watak budaya bangsa
ini yang patriarkat. Yang jauh lebih penting ialah hegemoni globalisasi yang
mengatasnamakan diri sebagai abad era informasi (baca: The Trieth Way). Watak utama globalisasi yaitu penindasan dan
kesewenang-wenangan sehingga siapa yang mempunyai wewenang, baik dalam hal
politik, budaya, maupun agama, akan selalu mempermainkan eksistensi kaum
cendekiawan.
Di manakah peran cendekiawan di tengah hegemoni tersebut?
Apakah cendekiawan tetap berada di menara gading dan singgasana kekuasaan?
Ataukah mereka bersedia turun gunung untuk mendarmabaktikan diri kepada umat?
Dalam konteks itulah ada dua hal pokok yang menjadi sebuah
pertanggungjawaban kaum cendekiawan. Pertama, membawa kembali doktrin agama
sebagai pembebas. Karena ICMI identik dengan kaum cendekiawan muslim, sudah
saatnya kaum cendekiawan menghadirkan Islam sebagai sebuah agama dalam
pengertian dan sosial-revolutif.
Tujuan dasar agama ialah persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice). Dalam pandangan
Asghar Ali Engineer (1999: 33), Alquran telah memberikan daya dobrak yang
revolusioner dalam mewujudkan keadilan sosial. Ayat-ayat yang ada dalam
Alquran (surah Al-Maun, misalnya) telah memberikan konsepsi yang sangat besar
dalam menumbuhkan daya transformasi ritual agama.
Kedua, menyangkut problem kebangsaan. Beberapa tahun
terakhir sekarang ini menunjukkan kaum cendekiawan banyak terlibat kejahatan
yang bernama korupsi. Kementerian yang dipimpin seorang ulama bahkan juga
terlibat dalam penggelapan uang negara. Kalau demikian, di manakah posisi
cendekiawan?
Jawabannya, bagi penulis jelas. Cendekiawan harus hadir
melakukan gerakan baru
yang lebih profesional. Selama ini gerakan kaum
cendekiawan lebih mengarah ke hal-hal yang bermisi keilmuan saja. ICMI dalam
konteks ini janganlah segan-segan mengeluarkan tanggapan kritis terhadap
kebijakan negara menyangkut korupsi. Tidak hanya itu, ICMI juga harus berani
terjun ke bawah memberikan pencerahan bagi kaum birokrat dan rakyat tentang
masa depan Indonesia tanpa korupsi.
Dua hal tersebut merupakan tanggung jawab sosial yang
harus segera diperhatikan kaum cendekiawan. Sebagaimana yang dikatakan
Gramsci (1971), faktor penentu seseorang dikatakan sebagai cendekiawan atau
seorang pekerja manual terletak pada ‘fungsi sosial’-nya. Fungsi sosial dapat
dipahami bahwa cendekiawan merupakan sebuah bagian integral materi yang
konkret dari proses-proses yang membentuk masyarakat.
‘Fungsi sosial’ kaum cendekiawan, dalam hal ini, ialah
perumus dan artikulator bagi problematik kehidupan yang melilit kemanusiaan
universal dewasa ini. Atau, menurut bahasa Machiavelli dalam karya
termasyhurnya, The Prince, peran
kaum cendekiawan dalam perubahan yakni keberadaan nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) (Garon, 2003).
Nabi-nabi itu tak lain ialah individu-individu di luar negara (baca:
kekuasaan) yang berupaya dan berperan dalam membuka kerankeran ruang
kebebasan publik.
Mereka merupakan individu yang peduli untuk berjuang
menantang aturan lama dan mempromosikan institusi politik baru kendati mereka
tidak memiliki wewenang dalam membuat kebijakan dan tidak memiliki tentara (no policy, no army). Meski minoritas,
mereka berhasil membuka mata dunia dan menyebarkan ide-ide baru untuk
melakukan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar