Selasa, 11 Desember 2012

Cendekiawan dan Krisis Karakter


Cendekiawan dan Krisis Karakter
Muhammadun ;  Analis pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 08 Desember 2012


Cendekiawan harus hadir melakukan GERAKAN BARU yang lebih profesional. Selama ini gerakan kaum cendekiawan lebih mengarah ke hal hal yang bermisi keilmuan saja.

PADA 6 Desember 2012, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) memperingati hari lahirnya ke-22. Refleksi hari lahir ICMI, 6 Desember 1990, mempunyai arti penting bagi perjalanan organisasi tersebut dalam beberapa tahun mendatang. Semua itu disebabkan ICMI merupakan kumpulan para intelek yang menjadi tulang punggung masyarakat Indonesia dalam membangun masa depan.

Di tangan cendekiawan, dalam pandangan Yudi Latif (2005), tanggung jawab menyelamatkan bangsa ini disandarkan. Tanggung jawab utama cendekiawan ialah mentransformasikan populisme dari kesadaran diskursif menjadi kesadaran praksis. Problem kehidupan kita ialah keterbelakangan rakyat dan keengganan kaum elite membebaskan diri dari masa lalu dan status quo. Politisasi masa lalu dan mistifi kasi status quo harus dihentikan demi memberi jalan terciptanya rekonsiliasi dan rekonstruksi nasional. Inilah saatnya bagi cendekiawan Indonesia dari berbagai kelompok menuju panggilan sejarah bersama untuk melayani dan menyelamatkan bangsa.

Begitu besarnya peran para cendekiawan, maka muktamar yang telah dijalankan harus menjadi momentum kebangkitan ICMI yang dalam tujuh tahun terakhir ini mengalami krisis eksistensial yang mendalam. Krisis eksistensial itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang ICMI sebagai salah satu corong pemerintah sehingga pascaruntuhnya kekuasaan Orde Baru, seolah runtuh pula kekuatan ICMI.

Kepengurusan baru ICMI dengan rumusan yang telah ditetapkan harus kembali meneguhkan peran ICMI sebagai kelompok cendekiawan yang tidak hanya mampu menjadi pemecah masalah terhadap kondisi kebangsaan, tetapi juga mampu membuka ruang publik kebebasan dalam menumbuhkan iklim intelektualisme masyarakat bangsa. Hal itu sangat penting karena sistem berpikir masyarakat Indonesia sekarang ini dipasung budaya citra. Dalam pandangan Kuswaidi Syafi’ie (2004), ketika manusia mengikuti budaya citra, dia akan terjebak oleh hegemoni orang lain karena tingkah laku sehari-harinya dipasung citra yang dibangun bangsa lain.

Masyarakat Indonesia tercerabut dari budaya dan tradisi sendiri yang inheren sehingga bangsa ini mengalami krisis eksistensial yang mengarah ke split personality (keterpecahan individu). Hal itu mengakibatkan manusia kehilangan tujuan dan orien tasi. Itulah krisis eksistensial yang dihadapi bangsa tercinta ini.

Krisis tersebut tidak hanya disebabkan watak budaya bangsa ini yang patriarkat. Yang jauh lebih penting ialah hegemoni globalisasi yang mengatasnamakan diri sebagai abad era informasi (baca: The Trieth Way). Watak utama globalisasi yaitu penindasan dan kesewenang-wenangan sehingga siapa yang mempunyai wewenang, baik dalam hal politik, budaya, maupun agama, akan selalu mempermainkan eksistensi kaum cendekiawan.

Di manakah peran cendekiawan di tengah hegemoni tersebut? Apakah cendekiawan tetap berada di menara gading dan singgasana kekuasaan? Ataukah mereka bersedia turun gunung untuk mendarmabaktikan diri kepada umat?

Dalam konteks itulah ada dua hal pokok yang menjadi sebuah pertanggungjawaban kaum cendekiawan. Pertama, membawa kembali doktrin agama sebagai pembebas. Karena ICMI identik dengan kaum cendekiawan muslim, sudah saatnya kaum cendekiawan menghadirkan Islam sebagai sebuah agama dalam pengertian dan sosial-revolutif.

Tujuan dasar agama ialah persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice). Dalam pandangan Asghar Ali Engineer (1999: 33), Alquran telah memberikan daya dobrak yang revolusioner dalam mewujudkan keadilan sosial. Ayat-ayat yang ada dalam Alquran (surah Al-Maun, misalnya) telah memberikan konsepsi yang sangat besar dalam menumbuhkan daya transformasi ritual agama.

Kedua, menyangkut problem kebangsaan. Beberapa tahun terakhir sekarang ini menunjukkan kaum cendekiawan banyak terlibat kejahatan yang bernama korupsi. Kementerian yang dipimpin seorang ulama bahkan juga terlibat dalam penggelapan uang negara. Kalau demikian, di manakah posisi cendekiawan?

Jawabannya, bagi penulis jelas. Cendekiawan harus hadir melakukan gerakan baru 
yang lebih profesional. Selama ini gerakan kaum cendekiawan lebih mengarah ke hal-hal yang bermisi keilmuan saja. ICMI dalam konteks ini janganlah segan-segan mengeluarkan tanggapan kritis terhadap kebijakan negara menyangkut korupsi. Tidak hanya itu, ICMI juga harus berani terjun ke bawah memberikan pencerahan bagi kaum birokrat dan rakyat tentang masa depan Indonesia tanpa korupsi.

Dua hal tersebut merupakan tanggung jawab sosial yang harus segera diperhatikan kaum cendekiawan. Sebagaimana yang dikatakan Gramsci (1971), faktor penentu seseorang dikatakan sebagai cendekiawan atau seorang pekerja manual terletak pada ‘fungsi sosial’-nya. Fungsi sosial dapat dipahami bahwa cendekiawan merupakan sebuah bagian integral materi yang konkret dari proses-proses yang membentuk masyarakat.

‘Fungsi sosial’ kaum cendekiawan, dalam hal ini, ialah perumus dan artikulator bagi problematik kehidupan yang melilit kemanusiaan universal dewasa ini. Atau, menurut bahasa Machiavelli dalam karya termasyhurnya, The Prince, peran kaum cendekiawan dalam perubahan yakni keberadaan nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) (Garon, 2003). Nabi-nabi itu tak lain ialah individu-individu di luar negara (baca: kekuasaan) yang berupaya dan berperan dalam membuka kerankeran ruang kebebasan publik.

Mereka merupakan individu yang peduli untuk berjuang menantang aturan lama dan mempromosikan institusi politik baru kendati mereka tidak memiliki wewenang dalam membuat kebijakan dan tidak memiliki tentara (no policy, no army). Meski minoritas, mereka berhasil membuka mata dunia dan menyebarkan ide-ide baru untuk melakukan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar