Kerancuan
Kurikulum 2013
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif Institute for Education Reform
Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
12 Desember 2012
Meskipun pihak Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mengaku bahwa penyusunan Kurikulum 2013 dimulai 2010, tetapi
kegiatan itu marak setelah lontaran ide Boediono tentang relevansi dan beban
pelajaran di sekolah kita.
Menurut Wakil Presiden
Boediono, tersebab konsepsi substansi pendidikan yang sampai saat ini tak
jelas, timbullah kecenderungan memasukkan segala yang dianggap penting ke
dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik,
tetapi tak jelas apakah anak mendapatkan sesuatu yang seharusnya dari
pendidikannya. Sudah waktunya, tegas Boediono, memikirkan apa yang seyogianya
diajarkan agar manusia Indonesia mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsanya
(Kompas, 29/8/2012).
Tak mudah menentukan apa
yang selayaknya diajarkan di sekolah agar relevan dengan kebutuhan bangsa,
apalagi untuk mengantisipasi perkembangan masa depan yang gaib. Menyusun
kurikulum mengharuskan kita mengobyektivikasi dasar-dasar normatif kebangsaan
dan pendidikan dengan memperhitungkan segenap potensi dan situasi yang senantiasa
berubah. Kebermaknaan sebuah kurikulum justru terletak pada kecermatan logis
menghubungkan antara hal-hal prinsipiil dengan hal-hal riil itu, kemudian
mengkristalisasikannya pada mata pelajaran. Tanpa kesungguhan, perubahan
kurikulum hanya mengutak-atik apa yang ada dengan dibumbui pengantar yang
muluk.
Kurikulum 2013, selain
dirumuskan tergopoh, sepertinya juga disusun atas dasar substansi pendidikan
yang tetap tak jelas sehingga rujukan utamanya hanyalah pikiran pemerintah
(baca: Kemdikbud) yang telah terobsesi gagasan keren, tetapi mengambang,
yaitu pendidikan karakter dan daya saing. Alhasil, produknya tidak
menunjukkan suatu koherensi yang utuh.
Dalam banyak kesempatan,
Mendikbud dan jajarannya menyatakan bahwa perubahan ini perlu dilakukan untuk
menjawab tantangan zaman yang terus berubah agar anak-anak mampu bersaing
pada masa depan. Namun, dari enam mata pelajaran sekolah dasar yang
ditetapkan menunjukkan ketakseimbangan antara mata pelajaran yang
berorientasi pada masa lampau, yang lebih menekankan pada pewarisan
nilai-nilai, dan mata pelajaran yang membentuk pola pikir murid untuk
menghadapi masa depan yang sarat dengan nalar dan konsep saintifik.
Mata pelajaran Agama,
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), serta Bahasa Indonesia
selain mengawetkan ”pusaka” bangsa, bersama Matematika adalah rumpun
pengetahuan yang bersifat deduktif yang menuntun berpikir aksiomatis apriori
dari dalil-dalil yang umum. Sementara sains (seperti IPA dan IPS) adalah
pengetahuan ”ilmiah” yang terbentuk dari model berpikir induktif aposteriori,
bertolak dari fakta-fakta empirik yang partikular. Ketakseimbangan ini akan
memengaruhi alur dan kekuatan berpikir serta nalar kritis anak.
Bangsa Indonesia yang
masih diliputi alam pikiran mitis dan mistis kiranya perlu pendidikan yang
menumbuhkan budaya menalar secara saintifik sejak dini. Oleh sebab itu, mata
pelajaran sains (IPA dan IPS) di SD, khususnya di kelas lanjut, seharusnya
berdiri sendiri, tak diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain.
Sementara
pada kelas I-III SD semua materi dan nilai-nilai mata pelajaran cukup
disampaikan dalam tiga mata pelajaran: Membaca, Menulis, dan Berhitung.
Pengintegrasian IPA dan
IPS semakin menampakkan kerancuan ketika Mendikbud menyatakan—dalam pidato
peringatan Hari Guru Nasional 2012—bahwa Kurikulum 2013 menggunakan
pendekatan berbasis sains, yaitu mendorong siswa agar mampu lebih baik dalam
melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan
(mempresentasikan) dengan obyek pembelajaran fenomena alam, sosial, seni, dan
budaya. Bagaimana logikanya, sesuatu (sains) yang dicantolkan dapat menjadi
basis?
Daripada mengimplisitkan
sains (IPA dan IPS) ke mata pelajaran lain, akan lebih baik jika mengeluarkan
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) dan Seni Budaya, kemudian
menjadikannya sebagai ekstrakurikuler wajib. Dua mata pelajaran ini (juga
keterampilan) tak jelas tujuan institusional dan kurikulernya sehingga perlu
dirumuskan kembali.
Misalnya, tujuan
penjaskes/olahraga di sekolah umum? Apakah agar murid sehat, segar, dan
mengapresiasi kesehatan atau supaya jadi olahragawan, atau pengamat olahraga?
Faktanya, para olahragawan ulung kita, seumpama Rudy Hartono, Bambang
Pamungkas, Chris John, tidak mendapatkan kemahirannya dari sekolah. Bila
tujuan pendidikan olahraga agar murid segar dan sehat, cukuplah kepada mereka
diberikan senam pagi dan bermain- main seperlunya ketika waktu istirahat, tak
perlu semua murid mendapatkan penjaskes yang seragam.
Seharusnya setiap murid
mendapatkan penjaskes dan seni budaya sesuai bakat dan minat yang mereka
miliki, karena itu tak layak diberikan secara klasikal. Pendidikan olahraga
dan seni budaya di sekolah mestinya berkelindan dengan strategi pembangunan
keolahragaan dan kebudayaan (punyakah strategi itu?).
Pemerintah/pemerintah
daerah bersama sekolah bersinergi memfasilitasi berbagai kebutuhan sehingga,
misalnya, pada setiap kecamatan atau kelurahan terdapat minimal satu lapangan
bola kaki, kolam renang, sanggar/gedung kesenian standar yang dapat
dipergunakan oleh masyarakat dan sekolah sekitar. Sekolah dan guru penjaskes
serta kesenian mengoordinasi dan bertanggung jawab atas terselenggaranya
berbagai program dan kegiatan ekstrakurikuer tersebut. Dengan demikian,
aktivitas olahraga dan seni budaya akan berakar, bertumbuh, dan berkembang
dalam masyarakat secara terarah.
Dengan masuk kurikulum,
semua murid dipaksa dapat materi dan kegiatan penjaskes, kesenian, dan
keterampilan seragam. Sementara itu, karena keterbatasan fasilitas dan kemampuan
guru, pembelajaran pun menjadi teoretis. Sejak kelas I SD, murid lebih banyak
membaca, mencatat, dan menghafal, kemudian diuji tentang berbagai definisi
seperti ”berenang gaya kupu-kupu” tanpa berenang dan bermacam teori musik
tanpa bernyanyi.
Menghadapi Kurikulum 2013
tak perlu antusiasme tinggi karena tak menjanjikan banyak kemajuan seperti
diharapkan Boediono. Bahkan dengan mengetengahkan konsep pembelajaran tematik
dan intergratif bukan saja akan makin merumitkan para guru, yang juga harus mengejar
target UN, tetapi juga memperluas kemungkinkan beberapa nilai pokok dan
penting dari mata pelajaran terbengkalai.
Kegaduhan Kurikulum 2013
segera lindap seiring berlalunya tahun anggaran dan—seperti biasanya—para
guru akan melanjutkan saja yang lama meski dengan merek baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar