Kamis, 13 Desember 2012

2013: Fokus dan Lokus Otonomi


2013: Fokus dan Lokus Otonomi
Irfan Ridwan Maksum ;  Anggota DPOD RI;
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI dan UMJ
KOMPAS, 12 Desember 2012


Sorotan terhadap perilaku kepala daerah kini marak, terlebih di daerah-daerah yang akan segera dilakukan pilkada di mana sang petahana mencalonkan diri kembali. Kasus bupati Garut salah satunya.

Di samping itu, pribadi kepala daerah juga selalu menjadi topik menarik, sampai-sampai masyarakat hampir melupakan bagaimana kondisi dan permasalahan kompleksitas yang nyata dihadapi daerahnya. Misalnya, Gubernur Joko Widodo. Betapapun hebatnya permasalahan kota Jakarta, ternyata terkalahkan oleh kesahajaan sang gubernur.

Gejala ini mengubah fokus dan lokus otonomi daerah di Indonesia. Tentu akan berpengaruh pula dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ke depan terutama pada 2013.

Personifikasi Segi Empat

Membaca gejala tersebut, tampak di satu sisi fokus diskursus otonomi daerah bergeser dari semula mengenai berbagai aspek makronasional, kemudian bergerak ke aspek-aspek makrolokal, lalu menjadi individu kepala daerah. Di sisi lain, pergerakan lokus (letak) otonomi tidak kalah rumitnya.

Semula pembicaraan otonomi daerah selalu terkait segitiga piramida tanpa ujung-pangkal antara provinsi, kabupaten, dan kota saja. Kini ketiganya harus dihadapkan kepada otonomi desa yang ingin juga mendapatkan tempat yang luas. Berubahlah komposisi segitiga tersebut menjadi segi empat belah ketupat dengan provinsi di atas, kabupaten dan kota di sisi kanan-kiri, serta desa di bawah menjadi segi empat tanpa ujung-pangkal.

Dari sisi letak, pemerintah nasional berdiri di antara segi empat itu. Dengan demikian membawa pada model tabung empat sisi dengan posisi pemerintah pusat merupakan titik tersendiri yang membawahi secara simetrik keempat lokus otonomi itu.

Jika dipadukan antara pergerakan fokus dan lokus, terjadi pola pelaksanaan otonomi dengan model personifikasi segi empat: gubernur, bupati/wali kota dan kepala desa. Jika keadaan tak berubah, artinya pilkada langsung tetap dilaksanakan di setiap daerah dan desa ditetapkan dengan otonomi yang lebih kuat menurut revisi UU yang sedang digodok, personifikasi segi empat ini jadi ujung tombak perubahan pemerintahan di Indonesia.

Maka, pemerintah pusat harus memainkan peran lebih baik ke depan terhadap pola personifikasi segi empat. Ingat, walaupun segi empat, jumlahnya telah mencapai lebih kurang 500 daerah otonom. Membutuhkan manajemen yang kuat dan rapi.
Pola kerja personifikasi segi empat ke depan jadi tumpuan harapan. Sejumlah faktor yang menjadi kendala terhadap pola itu, antara lain, pertama, menyangkut lemahnya etika pemerintahan dalam penerapan desentralisasi di bawah NKRI. Desentralisasi harus didasari etika pemerintahan yang kuat.

Desentralisasi merupakan alat. Dalam alat itu terkandung berbagai persyaratan teknis yang harus diketahui dan dijiwai oleh pelaku desentralisasi dan otonomi daerah. Otonomi dalam sebuah negara-bangsa merupakan subordinat dari kedaulatan. Dengan demikian, kedaulatan NKRI adalah pengendali otonomi daerah yang berada di dalamnya.

Faktor kedua, lambannya birokrasi pusat (sentralisasi) dalam NKRI menjadi alat pemerataan pembangunan. Kehadiran desentralisasi dalam negara-bangsa, yang ingin menguatkan kondisi ekonomi agar pemerataan pembangunan terjadi, membutuhkan instrumen sentralisasi yang efektif menjangkau wilayah yang besar seperti Indonesia.

Ketiga, faktor tidak jelasnya batas-batas pemahaman konsep otonomi baik di benak elite politik dan birokrasi pusat ataupun lokal. Otonomi di benak elite politik lokal cenderung disamakan kedaulatan dan atau auto-money di benak elite politik nasional adalah wadah untuk mempertahankan status quo.

Keempat, tidak adanya elite yang menjadi contoh. Efektivitas kerja alat-alat negara-bangsa di atas membutuhkan peran elite yang memiliki visi dan kekuatan ke arah yang positif. Tampak bangsa ini kehilangan elite yang menjadi contoh. Di samping itu, elite ini tidak berubah sejak lampau hanya sebagai ”patron”. Pola sebagai patron ini amat merusak sistem pemerintahan daerah.

Reorientasi

Pada tahun-tahun mendatang, khususnya di 2013, mau tak mau harus ada ide dan gerakan yang nyata sampai pada praktik pemerintahan daerah untuk menegaskan arah otonomi. Arah otonomi akan semakin jelas jika, pertama, dimulai dengan penguatan pemahaman dari sisi konsep dan praktik NKRI sebagai wadah bangsa Indonesia meraih tujuan-tujuan yang diinginkan.

Kedua, sinergi antara instrumen desentralisasi dan instrumen-instrumen lain harus diperkuat dalam NKRI. Ketiga, perlunya buku putih mengenai otonomi dan pelaksanaannya dalam NKRI.

Terakhir, harus didorong munculnya elite yang mampu menjadi contoh yang baik dan berpengaruh pada ranah praktik pemerintahan daerah. Semoga pelaksanaan otonomi daerah dalam NKRI makin baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar