Selasa, 18 Desember 2012

Ekonomi Penyedot Debu


Ekonomi Penyedot Debu
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 18 Desember 2012


APA pesan di balik puji-puji yang diberikan lembaga dunia terhadap masa depan perekonomian Indonesia? Ya, betul. Tetaplah berkonsumsi, belanja, dan belanjakan terus uang Anda, wahai konsumer. Jangan tunggu uang Anda mengendap di Bank. Belanjakan terus.

Pesan itu seperti masuk ke alam bawah sadar kita. Karena itu, setiap kali habis gajian, semua mesin ATM penuh dengan antrean. Dan setiap tanggal muda jalan-jalan ke luar kota dari Jakarta ke Puncak, Semarang ke Bandungan, atau dari Surabaya ke Batu selalu macet dengan kelas menengah baru yang rindu menghabiskan uang. 

Dari hawa gunung beralih ke luar negeri. Dari Singapura kini sudah di Hongkong, LA, dan entah mana lagi. Dan Anda mungkin masih ingat saat orang-orang mabuk berbelanja, bahkan nyawa menjadi taruhan, untuk mendapatkan BlackBerry terbaru?

Atau, kejadian tiga tahun lalu saat antrean berjajar dari lantai terbawah di Mall Senayan City terus berputar seperti ular menuju counter sandal/sepatu Crocs di lantai paling atas? Salah seorang GM Crocs berkebangsaan Malaysia bahkan terkekeh-kekeh. Katanya, ini kali pertama terjadi di dunia, bapak-bapak di sini memelopori tren berebut sandal sisa berwarna pink, dan benar-benar dipakai.

Konsumsi dipercaya menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia yang penting. Bahkan, dalam sebuah forum, Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, konsumsi merupakan salah satu sumber resiliensi (ketahanan) ekonomi Indonesia dari ancaman krisis global. Indonesia telah menjadi negara dengan tingkat pertambahan ekonomi kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok.

Tetapi, sabar dulu, konsumsi juga menjadi ancaman terbesar ketika barang-barang ini pun terus membanjir mulai tepung terigu hingga kedelai, mulai batik Tiongkok sampai gadget. Semua yang mahal-mahal kita simpan. Kalau dulu orang memesan (reserve) meja makan untuk bertiga, sekarang menjadi berempat. Siapa yang duduk di kursi yang ke-4 itu? Itulah ''Tuan'' Louis Vuitton atau ''Nyonya'' Hermes. Ya, maklum, rata-rata tas orang Indonesia sudah di atas 10 juta rupiah. Barang mewah sudah biasa.

Lain di kota, lain di desa. Tetapi, semua orang bergaya sama: konsumtif. Tak punya uang, perut kosong, tetapi handphone harus berbunyi. Itu sungguh ironis. Inilah ekonomi vacuum cleaner, ekonomi penyedot debu.

iPhone 5 

Di Amerika Serikat, kendati ekonominya belum pulih dari krisis, penjualan iPhone 5 ternyata juga sama saja. Antrean begitu panjang. Bahkan, sebagian konsumen antre sejak dini hari. Apalagi setelah majalahTime menobatkan gadget itu ''The most artfully polished gadgets anyone's ever built''. Penjualan gadget menembus angka 5 juta dalam minggu perdananya.

Masih kalah memang oleh Samsung Galaxy S III yang sejak peluncurannya Agustus lalu telah terjual 18 juta unit. Bahkan, di Tiongkok, Android menguasai 90 persen pasar smartphone. Hanya, dari pengamatan saya, mereka yang antre benar-benar punya penghasilan yang layak. Antreannya pun tak sepadat di sini. Sabar menanti dan tertib.

Bagaimana di sini? Memasuki abad ke-21, smartphone baru selalu menjadi gaya hidup. Di dunia maya, saya membaca celotehan eksekutif muda tentang kebahagiaan membeli iPhone, kendati harus pergi ke Hongkong atau Singapura sebelum produk tersebut dirilis di sini. 

Bahkan, sejumlah anggota DPRD dari Makassar tanpa malu-malu menunjukkan gadget barunya kepada wartawan. Inilah peradaban conspicuous consumption, yang dalam ilmu perilaku dipahami sebagai belanja yang ditonjol-tonjolkan untuk menunjukkan ''Saya juga bisa memilikinya''. Kalau saya menjadi yang pertama memiliki, ''berarti saya pelopor, trend setter, risk taker, dan saya lebih dari yang lain''.

Mengapa kaum mapan yang sudah kaya raya dan punya jabatan itu masih memerlukan ''konsumsi'' untuk membangun citra terhadap jati dirinya?

Para ahli berpendapat, conspicuous consumption itu dilakukan sebagai alat ''signal''. Ya, seperti ponsel yang tak ada manfaatnya kalau tak mampu mengirim sinyal, manusia-manusia seperti itu lemas kala tidak bisa mengirim sinyal ''Bahwa saya punya uang''. Barang-barang dan konsumsi dijadikan acuan untuk menunjukkan ''Saya telah sukses, lihatlah saya''.

Dengan kata lain sebenarnya, masih banyak orang yang kurang mampu menunjukkan karya, sehingga conspicuous consumption pun dijadikan sasaran. Apa boleh buat. Inilah beban yang masih harus dipikul para guru, dosen, ulama, pendidik, pejabat, dan tokoh-tokoh masyarakat. 

Jadi, janganlah bicara pengetahuan melulu, atau ayat-ayat melulu, bahkan aturan-aturan melulu. Ajarkanlah cara berkarya, berbuat sesuatu yang menimbulkan dampak besar, dan jadilah role model. Negeri tanpa role model hanya akan menghadapi energy drain dan kalah menghadapi mesin-mesin pengisap debu.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar