Selasa, 18 Desember 2012

Mengukur Gaji Kepala Daerah


Mengukur Gaji Kepala Daerah
Wawan Sobari ;  Dosen FISIP Universitas Brawijaya; Sedang menyelesaikan Program Doktor di Flinders University, Adelaide, Australia
JAWA POS, 18 Desember 2012


FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) kembali merilis hasil studi anggaran yang cukup ''menyengat''. Dalam publikasi yang dimuat harian ini (Jawa Pos, 17/12), diungkap besarnya gaji gubernur, bupati, wali kota, dan para wakilnya. Penghasilan gubernur Jawa Timur yang mencapai Rp 642 juta dan wakilnya Rp 627 juta serta wali Kota Surabaya Rp 194 juta dan wakilnya Rp 187 juta memuncaki peringkat sebagai kepala daerah dengan penghasilan terbesar. 

Fitra secara eksplisit tidak mempersoalkan besaran gaji resmi yang merujuk pada gaji pokok dan tunjangan jabatan yang nilainya kecil. Sebab, bila diperinci, gaji pokok gubernur dan bupati/wali kota tergolong kecil.

Gaji pokok gubernur hanya Rp 3 juta per bulan. Nilai tersebut kurang dari tiga kali gaji PNS golongan I-A senilai Rp 1,175 juta sesuai PP Nomor 11 Tahun 2011. Pun, gaji pokok bupati/wali kota yang hanya Rp 900 ribu lebih rendah daripada gaji pokok gubernur. Nilai itu hampir setara dengan gaji pokok seorang dosen PTN golongan III-B dengan masa kerja empat tahun senilai Rp 2.094.000.

Bila dibanding gaji pokok presiden, gaji gubernur hanya sepersepuluhnya. Sementara itu, bila dibanding gaji menteri, gaji gubernur hanya lebih kecil Rp 2 juta. 

Nilai tersebut menjadi sangat kecil bila dibanding gaji pejabat BUMN. Lihat saja gaji pokok direktur utama Bank Mandiri yang bisa mencapai Rp 166 juta per bulan atau setara lebih dari 53 kali gaji gubernur. Sementara itu, direktur utama PT Telkom memperoleh gaji pokok Rp 118 juta per bulan. Nilai itu setara dengan gaji pokok 4,7 tahun seorang bupati/wali kota memimpin atau hampir satu kali masa jabatan. 

Aneh memang, gaji pimpinan perusahaan BUMN yang berada di bawah presiden melebihi presiden.

Pengukuran besaran nilai gaji pejabat dilakukan pula oleh lembaga lain. Misalnya, The Economist yang menilai besaran gaji pejabat dibanding pendapatan per kapita. 

Justru lebih kontras bila mengacu pada besaran nilai pendapatan per kapita 2011 sebesar Rp 31,8 juta. Gaji pokok gubernur hanya lebih besar Rp 4,2 juta dari pendapatan per kapita rakyat Indonesia. Sementara itu, akumulasi gaji pokok bupati/wali kota dalam setahun justru di bawah pendapatan per kapita. 

Hanya, pundi-pundi pribadi para pemimpin di daerah sebenarnya lebih besar dari nilai tersebut. Selain gaji pokok, gubernur dan bupati/wali kota mendapat tunjangan yang telah diatur negara. Yaitu, tunjangan jabatan dan insentif dari perolehan pajak dan retrubisi daerah.

PP Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur besaran nilai itu dengan tegas. Setiap pejabat daerah, mulai pemungut pajak bumi dan bangunan di tingkat desa/kelurahan hingga gubernur, berhak mendapat insentif tersebut. 

Seorang kepala daerah dengan perolehan pajak dan retribusi daerah lebih dari Rp 7,5 triliun per tahun bisa memperoleh tambahan insentif hingga sepuluh kali kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat. 

Karena itu, dari setiap nilai rupiah pajak dan retribusi yang dibayar warga, terdapat ''jatah'' maksimal 3 persen untuk pejabat provinsi dan 5 persen untuk pejabat kabupaten/kota. 

Yang menjadi perdebatan selanjutnya adalah menyangkut kepatutan nilai atau besaran gaji kepala daerah. Perhitungan beban kerja, risiko, dan tanggung jawab seorang kepala daerah tentu menjadi tidak relevan bila menilik gaji pokok serta tunjangan jabatan yang relatif kecil atau jauh lebih kecil dari gaji para direksi BUMN. 

Betapa kecilnya gaji gubernur Jawa Timur bila dibanding tanggung jawab yang diemban. Gubernur yang mengayomi provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia dan mengelola serta mempertanggungjawabkan APBD lebih dari Rp 10 triliun hanya bergaji setara tiga kali PNS golongan terendah dengan tugas yang sederhana.

Nilai tersebut tidak terlihat kecil tatkala mengacu pada tunjangan dan tambahan penghasilan lainnya yang cukup besar. Ukuran gaji kepala daerah yang hanya mengacu pada nilai nominal yang diterima menjadi sangat relatif. Untuk itu, pengukuran terhadap besaran nilai gaji kepala daerah perlu dirumuskan secara lebih tepat berdasar beberapa indikator kinerja dan akuntabilitas kepala daerah.

The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) melalui model pengukuran sistem monitoring dan evaluasi (simonev)-komparatif sebenarnya telah memperkenalkan hal tersebut. Model itu bisa pula menjadi dasar penetapan gaji kepala daerah berdasar capaian kinerja pembangunan dan akuntabilitas seorang kepala daerah. JPIP menetapkan asumsi tersebut berdasar fakta dan data betapa besarnya peran kepala daerah dalam mendorong kemajuan daerah.

Pertama, besaran gaji seorang kepala daerah bisa dikaitkan dengan kinerja capaian kondisi existing daerah. Indikator yang paling tepat berupa capaian indeks pembangunan manusia (IPM). Seberapa besar perbaikan nilai indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat dalam masa kepemimpinan seorang kepala daerah menjadi salah satu penyumbang indeks gaji.

Capaian nilai IPM bisa mengukur seberapa besar kontribusi kepemimpinan kepala daerah dalam mengalokasikan APBD mampu meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik dasar. Kedua, ukuran terobosan daerah. Sesuai fakta, setiap daerah tentu memiliki problem sekaligus keunggulan.

Karena itu, seberapa kuat dan inovatif seorang kepala daerah mampu menyelesaikan problem dan memanfaatkan potensi daerah menjadi tolok ukur objektif. Berikutnya adalah ukuran kepuasan publik terhadap capaian kinerja pembangunan daerah dan pelayanan publik. Semakin tinggi skor kepuasan publik menjadi indikator kelayakan perbaikan pendapatan bagi seorang kepala daerah. 

Karena itu, pemberian insentif akan selalu terkait dengan ketepatan pertimbangan objektif dan berorientasi publik dalam pengambilan kebijakan. Dengan ukuran tersebut, setiap dampak kebijakan yang berorientasi publik akan menghasilkan kemanfaatan publik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar