Dilema
Jaringan Diaspora Indonesia
Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS,
11 Desember 2012
Dimotori Dino Patti
Djalal, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, ribuan ilmuwan, pengusaha, dan
profesional asal Indonesia—melalui kongres di Los Angeles, AS, Juli
2012—sepakat membentuk komunitas global Jaringan Diaspora Indonesia.
Himpunan ”mutiara
berserakan” yang bermukim di sejumlah negara itu menggalang kekuatan, bersinergi,
merancang sejumlah agenda aksi untuk memberi sumbangsih kepada Ibu Pertiwi.
Misi mulia Diaspora Indonesia itu patut diapresiasi sekaligus dikritisi agar
bukan sebatas utopia.
Skeptisme—pijakan berpikir
kaum profesional terpelajar— menghendaki penjelasan ontologi, epistemologi,
dan aksiologi setiap proyek besar. Ikhtisar berikut menelisik fakta dan
kontradiksi sejarah sebagai faktor kalibrasi untuk memahami perkaitan dengan
ihwal tersebut.
Manusia Unggul Terbuang
Terinspirasi sukses Jepang
pascaperang 1945, Bung Karno mengirim puluhan ribu putra- putri terbaik
bangsa ke banyak negara mulai 1956. Program Mahasiswa Ikatan Dinas itu
kemudian disusul dengan nasionalisasi aset perusahaan asing dan rintisan
pembangunan proyek infrastruktur dasar-strategis.
Sebutlah seperti pabrik
baja Krakatau Steel (dulu disebut pabrik baja Trikora), Waduk Jatiluhur,
pabrik pupuk Petrokimia Gresik dan Pusri Palembang, Industri Pesawat Terbang
Nurtanio (IPTN), kapal laut (PAL), kereta api (INKA), dan sejumlah proyek
masa depan lainnya. Beberapa universitas pionir pun didirikan, menunjukkan
kesetangkupan gerak, inward-outward
looking.
Strategi penyerentakan
pembangunan infra-suprastruktur masa itu, selain disemangati cita-cita
proklamasi, juga dihela hasrat kuat menjadi bangsa besar, maju di tiga
sokoguru utama: pendidikan, politik, dan ekonomi. Nusantara—dengan 3.000
pulau lebih—jelas membutuhkan moda transportasi andal darat, laut, dan udara.
Analisis kebutuhan
prioritas bangsa yang disusun sejak Kabinet Hatta II (1949) sampai Kabinet
Djuanda, seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Nasional Semesta
Berencana 1959, menyajikan cetak biru komprehensif, terjadwal, apa dan
bagaimana meraih cita-cita bangsa. Hulu dari semua itu adalah kebutuhan
menyiapkan manusia unggul di semua lini untuk mengolah sumber daya alam dan
modal berharga: kedaulatan politik dan ekonomi.
Peristiwa politik 1965
membuyarkan semuanya. Liberalisasi ekonomi antara lain lewat Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing laksana menghapus peta baru
sejarah, menihilkan rancangan aksi sebelumnya. Ribuan mahasiswa Indonesia
yang belajar aneka disiplin ilmu, terutama keteknikan di Eropa Timur, menjadi
kaum eksil. Dibikin mati perdata oleh pemerintahnya sendiri meskipun
kebanyakan tidak tahu-menahu politik. Inilah brain drain pertama dan terbesar
dalam sejarah Indonesia modern.
Tragedi dengan konsekuensi
serupa berulang saat Presiden Soeharto menandatangani letter of intent (LOI) IMF, 15 Januari 1998. Konsekuensinya,
proyek- proyek besar dan industri strategis harus dihentikan dengan alasan
tunggal: demi menyelamatkan keuangan negara.
Ribuan tenaga ahli yang
sebelumnya bekerja di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), juga aneka
macam proyek rekayasa industri lainnya, terpaksa kabur mencari nafkah ke luar
negeri. Dalam skala masif, banyak profesional, ilmuwan, pelajar cerdas-genius
dan para juara olimpiade nasional-internasional justru ”dirawat” perusahaan
atau perguruan tinggi asing.
Dua momen tragik tersebut
memberi pelajaran penting bahwa setiap kali timbul guncangan politik-ekonomi,
pembangunan kualitas manusia lantas terabaikan. Korea Selatan, Taiwan,
Singapura, Malaysia, dan China, yang tergolong belakangan mengakselerasi
kualitas SDM- nya, dalam satu-dua dasawarsa telah memanen hasil: rakyat
sejahtera dan negara leluasa mencanangkan lompatan kemajuan terukur, new
frontier.
Sekadar contoh, bandingkan
pencapaian industri baja Korea yang diinisiasi Presiden Park Chung-hee,
Pohang Steel (berdiri 1970), yang menjelma menjadi salah satu produsen baja
terbesar di dunia dan mendorong lahirnya puluhan industri manufaktur
kompetitif kelas global seperti Hyundai, Samsung, dan LG. Sebaliknya,
Krakatau Steel (nota kesepakatan 1957, mulai dibangun 1962) gagal bersaing
bahkan di pasar domestik. Betapa kontrasnya dukungan pemerintah masing-masing
untuk proyek vital tersebut.
Lapangan Ekspresi
Keprihatinan anak-anak
negeri di mana pun atas situasi Indonesia hari ini, mengutip Immanuel Kant,
mencerminkan empirical apperception.
Perasaan getir warga bangsa melampaui apa yang dibayangkan kalangan elite.
Maka, ketimbang berharap kepada negara yang berpilin dengan ragam
kompleksitas, inisiatif berupa gerakan-gerakan kecil berkualitas, berdaya
jangkau mondial, dapat disodorkan sebagai alternatif keluar dari perangkap
kejumudan struktural.
Aksi komunitas overseas ilmuwan-profesional India, Generative Scenario Thinking dalam
mengatasi ketidakberdayaan rakyat, bisa menjadi inspirasi berharga. Komunitas
yang terbentuk dua dasawarsa lalu itu lebih mengedepankan skenario fireflies arising (kunang-kunang
bermunculan), menggedor sukma anak bangsa yang berhasil di mancanegara agar
ikut berbakti kepada negerinya. Mereka membantu kaum miskin beroleh akses
pendidikan dan ekonomi, memfasilitasi inisiatif lokal, menciptakan knowledge based society, sekaligus
mendorong pembelajaran bersama agar bebas dari jerat keterbelakangan.
Kaum profesional India
banyak menempati posisi kunci di lembaga keuangan, teknologi informasi,
konsultan manajemen, dan perusahaan-perusahaan terkemuka dunia. Kesadaran
bahwa mobilisasi modal berharga itu tak ”bunyi” dengan tatanan politik-kultural
India membuat mereka menempuh jalan lebih tepat sasaran, menjauhi slogan
mentereng, menghindari birokrasi.
Aliansi gerakan Diaspora
Indonesia dengan sejawatnya di Tanah Air agaknya lebih menjanjikan pertalian
batin, kohesi progresif, dan mampu mengatasi sekat-sekat psikologis-politik
yang tak perlu. Persenyawaan aksi dua kekuatan moral-profesional tanpa campur
tangan politik bakal membuka kesempatan persemaian lapangan ekspresi tak
terbatas. Dengan demikian, sumbangsih Jaringan Diaspora Indonesia terhindar
dari kemungkinan terbentur komplikasi politik dan sejenisnya.
Atas cara pandang yang
sama, inovasi dan kreasi anak-anak negeri tidak perlu terjebak aneka dilema
ganjil seperti fakta bahwa gaji dan tunjangan profesor riset lebih rendah
daripada gaji guru SD (Kompas, 25/10/2012). Atau gundah dengan kegetiran
mantan Presiden BJ Habibie menyaksikan orang-orang terbaik negeri ini justru
dimanfaatkan perusahaan-perusahaan asing dan melempar produknya ke sini.
Sebuah ekses dari mentalitas inferior sebagian warga dan elite bangsa yang
lebih suka membayar jam kerja dan keringat orang asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar