Sabtu, 09 Juni 2012

Wamen Pascaputusan MK


Wamen Pascaputusan MK
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ. Andalas, Padang
SUMBER :  SINDO, 8 Juni 2012


Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011 (5/6) mengakhiri perdebatan di sekitar konstitusionalitas wakil menteri.

Jika dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai atau nilai kemanfaatan dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat, MK berpandangan bahwa otoritas presiden mengangkat wakil menteri dalam rangka menangani beban kerja yang semakin berat, tidak bertentangan dengan konstitusi. Setelah membaca keputusan, pokok masalah yang dipersoalkan adalah kehadiran Pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan bahwa “dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”.

Dengan fakta adanya 19 orang wakil menteri di kabinet saat ini, pemohon merasa hak konstitusional mereka dirugikan. Kerugian itu didasarkan pada basis argumentasi, wakil menteri diperlukan kementerian yang memiliki beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus. Dalam putusannya, MK menyatakan karena UU tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dalam frasa “beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus”, hal itu menjadi wewenang presiden menentukannya sebelum mengangkat wakil menteri.

Bagi MK, presiden yang menilai seberapa berat beban kerja sehingga memerlukan pengangkatan wakil menteri. Begitu pula jika beban kerja dianggap tidak memerlukan wakil menteri, presiden berwenang juga memberhentikan wakil menteri tersebut. Karena basis argumentasi itu, MK menilai Pasal 10 UU 39/2008 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengandung masalah konstitusionalitas.

Meskipun meneguhkan Pasal 10, MK menyatakan penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Alasan MK, apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karier, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Perbaikan

Salah satu perdebatan yang mencuat setelah Keputusan MK No 79/PUU-IX/2011 terkait dengan posisi wakil menteri yang ada saat ini. Sebagian pihak menilai, keputusan MK mengakibatkan semua wakil menteri menjadi kehilangan legalitas menempati posisi “orang nomor dua” di kementerian. Pendapat lain, keputusan MK menyebabkan wakil menteri berada dalam status quo. Pendapat berikutnya, keputusan MK tidak berimplikasi apa pun pada posisi wakil menteri.

Apabila ditelusuri, munculnya beragam pandangan tersebut karena pendapat hukum MK yang menyatakan: keberadaan wakil menteri yang ada sekarang ini diangkat antara lain berdasarkan Pasal 10 dan Penjelasannya. Untuk menyesuaikan dengan keputusan MK, posisi wakil menteri perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif presiden. Selain itu, keputusan MK mengamanatkan pula, semua keputusan presiden tentang pengangkatan wakil menteri perlu diperbarui agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum. Jika diselisik secara cermat, agak berlebihan menilai keputusan MK menyebabkan wakil menteri kehilangan legalitas.

Selain tidak disebutkan, keputusan MK hanya sebatas mendorong presiden melakukan penyesuaian keputusan presiden sehingga sejalan dengan kewenangan eksklusif presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri/ wakil menteri sesuai dengan UUD 1945. Meski demikian, perbaikan yang akan dilakukan presiden sebaiknya tidak hanya terbatas keputusan presiden, tetapi juga meninjau ulang sejumlah peraturan presiden yang terkait dengan wakil menteri.

Saya juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa keputusan MK tidak berimplikasi apa pun terhadap wakil menteri. Sekiranya presiden mampu dan mau memaknai secara tepat dan benar keputusan MK, salah satu implikasi yang tak mungkin dihindarkan adalah keharusan meninjau kembali jumlah wakil menteri saat ini.

Sesuai dengan semangat pembentukan Pasal 10, pengangkatan wakil menteri adalah kebutuhan yang amat khusus. Oleh karena itu, wakil menteri hanya dapat dibenarkan dalam jumlah yang terbatas. Prinsip utama yang seharusnya dipegang, jabatan wakil menteri tidak boleh diobral. Mengabaikan prinsip tersebut sama saja dengan membunuh makna hakiki frasa “dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus” dalam Pasal 10. Bahkan, begitu Penjelasan 10 dinyatakan inkonstitusional, prinsip tidak boleh diobral harus dijadikan pegangan utama.

Mengabaikan prinsip itu, boleh jadi, dengan alasan sebagai kewenangan eksklusif presiden, pengangkatan wakil menteri berpotensi digunakan sebagai jalan pintas untuk menambah jajaran kabinet. Apalagi, inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 10 menghilangkan sekat “pejabat karier” dan “bukan merupakan anggota kabinet”.

Bukan Partai Politik

Saya tidak kaget ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan terima kasih atas putusan MK No 79/PUU-IX/2011. Ucapan demikian tidak hanya muncul karena keputusan MK benar-benar meneguhkan posisi presiden dalam mengangkat wakil menteri, tetapi putusan itu juga memberi keleluasaan untuk menentukan calon wakil menteri.

Meski begitu, Presiden harus menimbang betul secara hati-hati sekiranya hendak memberikan posisi wakil menteri bagi mereka yang berasal dari partai politik. Sebagaimana ditulis dalam “Bom Waktu Wakil Menteri” (Koran SINDO, 26/10-2009), bagi kementerian yang menterinya dari partai politik, memilih wakil dari partai politik yang sama, berarti memperkuat cengkeraman partai politik di sebuah kementerian. Boleh jadi, dengan menteri dan wakilnya dari partai politik yang sama, kementerian akan kian kental “warna” partai politik.

Kondisinya bisa bertambah parah dan runyam jika menteri dan wakil menteri berasal dari partai politik presiden. Begitu pula jika menteri dan wakil menteri berasal dari partai politik yang berbeda, kementerian bisa berubah menjadi lahan rebutan antara dua partai politik. Tidak hanya itu, meskipun wakil menteri memiliki wewenang yang terbatas, kementerian potensial terjebak dalam kepemimpinan yang terbelah. Sama halnya jika kementerian dipimpin menteri yang bukan dari partai politik, wakil menteri dari partai politik potensial menimbulkan masalah.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanat putusan MK terutama untuk memenuhi frasa “dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus” di Pasal 10, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya tetap mempertahankan kalangan profesional di posisi wakil menteri. Jangan menggadaikan posisi wakil menteri untuk kepentingan sesaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar