Sabtu, 09 Juni 2012

Hambalang, Korupsi Politik dan Olahraga


Hambalang, Korupsi Politik dan Olahraga
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis, Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 08 Juni 2012


Megaproyek pusat olahraga di Bukit Hambalang, Sentul, Kabupaten Bogor kini jadi buah bibir. Sejumlah kalangan menilai kawasan itu daerah yang mudah longsor dan merupakan resapan air, tetapi perizinan proyek pembangunan pusat olahraga seluas 32 hektare tetap keluar.

Seperti diketahui, dua bangunan di dalam lokasi megaproyek itu ambruk karena tanahnya ambles pada Kamis, 24 Mei 2012.

Proyek Hambalang ini diduga bermasalah karena ada pembengkakan anggaran sekaligus perubahan konsep dari sekolah olahraga menjadi sport center. Semula, untuk sekolah olahraga hanya dianggarkan Rp 125 miliar, namun akhirnya membengkak jadi Rp 1,175 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menelusuri proyek Hambalang.

Sebelum Hambalang, dulu seiring digelarnya SEA Games (11-22 November 2011) di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) publik sudah disuguhi kasus korupsi wisma atlet. Salah satu tersangka, yakni mantan Sekretaris Menpora Wafif Muharam sudah divonis tiga tahun penjara (19/12/2011) karena terbukti menerima suap berupa tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar dari Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (PT DGI), Mohamad El Idris dan Mindo Rosalina Manulang.

Tiga lembar cek itu merupakan commitment fee 2 persen dari nilai kontrak proyek wisma atlet yang nilainya Rp 191 miliar.

Kasus Hambalang dan Wisma Atlet menjadi perhatian karena adanya Angelina Sondakh yang sudah dijadikan tersangka, lalu menyeret Menpora Andi Mallarangeng dan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum.

Memang dalam dua kasus ini, nama atlet dan dunia olahraga kita disangkutpautkan. Padahal, sesungguhnya kasus Hambalang dan Wisma Atlet bukanlah kasus korupsi olahraga. Mantan Menpora Adhyaksa Dault dalam sebuah talkshow dengan penulis mengaku teriris hatinya, tiap kali media memberitakan kasus-kasus ini. Pasalnya, tidak ada atlet yang terlibat dalam kasus-kasus ini, tetapi nama atlet selalu dicoreng.

Hati Adhyaksa kian teriris manakala memikirkan cukup banyak atlet yang berjasa mengharumkan nama bangsa, namun hidup mereka susah di hari tua, tanpa rumah, tanpa tabungan atau asuransi. Padahal, aliran uang dalam kasus Hambalang dan wisma atlet jumlahnya miliaran dan hanya memperkaya segelintir elite politik.

Oleh sebab itu, jika mengkaji kasus ini lebih dalam, bisa disimpulkan bahwa kasus Hambalang dan wisma atlet adalah ”political corruption” atau ”grand corruption”. Korupsi politik di negeri ini sudah sistemik dan kian membusukkan serta merusak bangsa ini (kata korupsi memang berasal dari kata berbahasa Latin “corrumpere” yang berarti membusukkan atau merusak).

Kasus Hambalang dan wisma atlet disebut korupsi politik karena melibatkan para pembuat keputusan politik yang memiliki kekuasaan membuat hukum, peraturan dan kebijakan. Kasus-kasus seperti ini tidak akan pernah terjadi, kalau tidak ada usulan atau proposal pembangunan wisma atlet dari Kemenpora dan persetujuan Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Meski Hambalang dan wisma atlet merupakan korupsi politik, bukan berarti dunia olahraga kita steril dari korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengungkapkan dugaan korupsi pengelolaan dan penggunaan APBN dan APBD di PSSI serta sejumlah klub Liga Super Indonesia (LSI) yang bernaung di bawah PSSI di era Nurdin Halid.

ICW menduga sekitar Rp 720 miliar setiap tahun telah dikorupsi PSSI dan klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah PSSI. Ini pernah diungkapkan peneliti ICW Apung Widadi kepada wartawan di depan Gedung KPK, Jakarta, 10 Januari 2011.

Sayang laporan ICW itu tak pernah ditindaklanjuti. Sayangnya pula, berbagai upaya membawa korupsi di sektor olahraga, khususnya sepak bola selalu gagal. Semisal korupsi bantuan APBD dari Pemkot Surabaya untuk Persebaya pada 2005, hingga kini menguap tidak jelas. Baru-baru ini, KONI Jatim juga diduga menyelewengkan dana APBD sebesar RP 800 juta, untuk pembangunan lintasan sepatu roda di Sidoarjo.

Anehnya, meski ada kasus-kasus seperti itu, Juru Bicara KPK Johan Budi pernah mengungkapkan pada penulis, KPK belum pernah memeriksa satu kasus dugaan korupsi yang terjadi di bidang olahraga. Tentu saja jawaban ini cukup mengecewakan.

Menpora Brasil

Untuk itu ada baiknya kepemimpinan KPK di bawah Abraham Samad lebih berani memeriksa dan menyelidiki berbagai dugaan kasus korupsi di bidang olahraga. Jika dipandang perlu, KPK membentuk tim khusus yang fokus membidangi hal ini.

KPK misalnya bisa meminta KONI atau pengurus berbagai cabang olahraga yang dananya diambilkan dari APBN/APBD untuk membuat laporan keuangan rutin dan transparan. Pada tiap akhir masa jabatan seorang pengurus cabang olahraga, juga perlu disertai laporan pertanggungjawaban (LPJ), khususnya dalam hal pengelolaan keuangan. Maklum, masih cukup banyak cabang olahraga yang pengelolaan keuangannya tidak transparan.

Padahal, pengelolaan keuangan yang tidak transparan jelas mengebiri hak publik untuk tahu. Di sinilah para suporter atau pencinta olahraga diharapkan lebih berperan melakukan pengawasan. Sebuah lembaga “watchdog” perlu didirikan untuk menghindarkan dunia olahraga kita dari tindak pidana korupsi.

Peran media tentu saja juga amat penting dalam membongkar korupsi, termasuk korupsi olahraga. Pada 27 Oktober 2011, Menteri Olahraga Brasil Orlando Silva memutuskan mundur, setelah media gencar mem-”blow-up” kasusnya. Silva diduga menerima kickback dari bantuan-bantuan sosial yang ditebarnya sebagai menteri olahraga.

Meski baru dugaan, Silva memilih mundur demi menyelamatkan citra olahraga di negerinya. Bandingkan di negeri kita, tidak pernah ada pejabat yang mau mundur ketika diduga telah melakukan tindak korupsi.

Para pejabat publik di sini memang masih kurang mengedepankan etika. Bahkan suka berdalih, kalau mereka mundur justru langkah ini dinilai membenarkan mereka korup. Makanya mereka terus menjabat, meski tuduhan korupsi telah menurunkan kredibilitas mereka di mata publik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar