Hambalang,
Korupsi Politik dan Olahraga
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis, Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent
de Paul
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 08 Juni 2012
Megaproyek pusat olahraga di Bukit Hambalang,
Sentul, Kabupaten Bogor kini jadi buah bibir. Sejumlah kalangan menilai kawasan
itu daerah yang mudah longsor dan merupakan resapan air, tetapi perizinan
proyek pembangunan pusat olahraga seluas 32 hektare tetap keluar.
Seperti diketahui, dua bangunan di dalam
lokasi megaproyek itu ambruk karena tanahnya ambles pada Kamis, 24 Mei 2012.
Proyek Hambalang ini diduga bermasalah karena
ada pembengkakan anggaran sekaligus perubahan konsep dari sekolah olahraga
menjadi sport center. Semula, untuk
sekolah olahraga hanya dianggarkan Rp 125 miliar, namun akhirnya membengkak
jadi Rp 1,175 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menelusuri
proyek Hambalang.
Sebelum Hambalang, dulu seiring digelarnya
SEA Games (11-22 November 2011) di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) publik
sudah disuguhi kasus korupsi wisma atlet. Salah satu tersangka, yakni mantan
Sekretaris Menpora Wafif Muharam sudah divonis tiga tahun penjara (19/12/2011)
karena terbukti menerima suap berupa tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar dari
Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (PT DGI), Mohamad El Idris dan Mindo
Rosalina Manulang.
Tiga lembar cek itu merupakan commitment fee 2 persen dari nilai
kontrak proyek wisma atlet yang nilainya Rp 191 miliar.
Kasus Hambalang dan Wisma Atlet menjadi
perhatian karena adanya Angelina Sondakh yang sudah dijadikan tersangka, lalu
menyeret Menpora Andi Mallarangeng dan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Anas
Urbaningrum.
Memang dalam dua kasus ini, nama atlet dan
dunia olahraga kita disangkutpautkan. Padahal, sesungguhnya kasus Hambalang dan
Wisma Atlet bukanlah kasus korupsi olahraga. Mantan Menpora Adhyaksa Dault
dalam sebuah talkshow dengan penulis
mengaku teriris hatinya, tiap kali media memberitakan kasus-kasus ini.
Pasalnya, tidak ada atlet yang terlibat dalam kasus-kasus ini, tetapi nama
atlet selalu dicoreng.
Hati Adhyaksa kian teriris manakala
memikirkan cukup banyak atlet yang berjasa mengharumkan nama bangsa, namun
hidup mereka susah di hari tua, tanpa rumah, tanpa tabungan atau asuransi.
Padahal, aliran uang dalam kasus Hambalang dan wisma atlet jumlahnya miliaran
dan hanya memperkaya segelintir elite politik.
Oleh sebab itu, jika mengkaji kasus ini lebih
dalam, bisa disimpulkan bahwa kasus Hambalang dan wisma atlet adalah ”political corruption” atau ”grand
corruption”. Korupsi politik di negeri ini sudah sistemik dan kian membusukkan
serta merusak bangsa ini (kata korupsi memang berasal dari kata berbahasa Latin
“corrumpere” yang berarti membusukkan
atau merusak).
Kasus Hambalang dan wisma atlet disebut
korupsi politik karena melibatkan para pembuat keputusan politik yang memiliki
kekuasaan membuat hukum, peraturan dan kebijakan. Kasus-kasus seperti ini tidak
akan pernah terjadi, kalau tidak ada usulan atau proposal pembangunan wisma
atlet dari Kemenpora dan persetujuan Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Meski Hambalang dan wisma atlet merupakan
korupsi politik, bukan berarti dunia olahraga kita steril dari korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah
mengungkapkan dugaan korupsi pengelolaan dan penggunaan APBN dan APBD di PSSI
serta sejumlah klub Liga Super Indonesia (LSI) yang bernaung di bawah PSSI di
era Nurdin Halid.
ICW menduga sekitar Rp 720 miliar setiap
tahun telah dikorupsi PSSI dan klub-klub sepak bola yang bernaung di bawah
PSSI. Ini pernah diungkapkan peneliti ICW Apung Widadi kepada wartawan di depan
Gedung KPK, Jakarta, 10 Januari 2011.
Sayang laporan ICW itu tak pernah
ditindaklanjuti. Sayangnya pula, berbagai upaya membawa korupsi di sektor
olahraga, khususnya sepak bola selalu gagal. Semisal korupsi bantuan APBD dari
Pemkot Surabaya untuk Persebaya pada 2005, hingga kini menguap tidak jelas.
Baru-baru ini, KONI Jatim juga diduga menyelewengkan dana APBD sebesar RP 800
juta, untuk pembangunan lintasan sepatu roda di Sidoarjo.
Anehnya, meski ada kasus-kasus seperti itu,
Juru Bicara KPK Johan Budi pernah mengungkapkan pada penulis, KPK belum pernah
memeriksa satu kasus dugaan korupsi yang terjadi di bidang olahraga. Tentu saja
jawaban ini cukup mengecewakan.
Menpora Brasil
Untuk itu ada baiknya kepemimpinan KPK di
bawah Abraham Samad lebih berani memeriksa dan menyelidiki berbagai dugaan
kasus korupsi di bidang olahraga. Jika dipandang perlu, KPK membentuk tim
khusus yang fokus membidangi hal ini.
KPK misalnya bisa meminta KONI atau pengurus
berbagai cabang olahraga yang dananya diambilkan dari APBN/APBD untuk membuat
laporan keuangan rutin dan transparan. Pada tiap akhir masa jabatan seorang
pengurus cabang olahraga, juga perlu disertai laporan pertanggungjawaban (LPJ),
khususnya dalam hal pengelolaan keuangan. Maklum, masih cukup banyak cabang
olahraga yang pengelolaan keuangannya tidak transparan.
Padahal, pengelolaan keuangan yang tidak
transparan jelas mengebiri hak publik untuk tahu. Di sinilah para suporter atau
pencinta olahraga diharapkan lebih berperan melakukan pengawasan. Sebuah
lembaga “watchdog” perlu didirikan
untuk menghindarkan dunia olahraga kita dari tindak pidana korupsi.
Peran media tentu saja juga amat penting
dalam membongkar korupsi, termasuk korupsi olahraga. Pada 27 Oktober 2011, Menteri
Olahraga Brasil Orlando Silva memutuskan mundur, setelah media gencar mem-”blow-up” kasusnya. Silva diduga menerima
kickback dari bantuan-bantuan sosial
yang ditebarnya sebagai menteri olahraga.
Meski baru dugaan, Silva memilih mundur demi
menyelamatkan citra olahraga di negerinya. Bandingkan di negeri kita, tidak
pernah ada pejabat yang mau mundur ketika diduga telah melakukan tindak
korupsi.
Para pejabat publik di sini memang masih
kurang mengedepankan etika. Bahkan suka berdalih, kalau mereka mundur justru
langkah ini dinilai membenarkan mereka korup. Makanya mereka terus menjabat,
meski tuduhan korupsi telah menurunkan kredibilitas mereka di mata publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar