Sabtu, 09 Juni 2012

Membumikan Nilai-Nilai Pluralisme


Membumikan Nilai-Nilai Pluralisme
Biyanto ; Dosen IAIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim
SUMBER :  SINDO, 8 Juni 2012


Salah satu pekerjaan besar yang patut menjadi perhatian kita sebagai bangsa yang multibudaya, etnis, dan agama adalah membumikan nilai-nilai pluralisme.
Agenda ini mutlak dilakukan karena masih sering terjadi kasus radikalisme sosial di beberapa daerah.Umumnya radikalisme sosial itu diakibatkan oleh ketidaksiapan setiap individu atau kelompok untuk hidup dalam lingkungan masyarakat yang plural.Padahal pluralitas merupakan suatu keniscayaan. Dalam perspektif agama, pluralitas bahkan disebut sebagai bagian dari ketetapan Allah (sunnatullah). Faktanya, negara kita memiliki tidak kurang dari 17.667 pulau besar dan kecil. Meski menggunakan bahasa nasional yang sama, bahasa Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat 350 kelompok etnis, budaya, dan adat istiadat.

Posisi strategis Indonesia di antara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik yang sejak dulu menjadi lalu lintas perdagangan dunia juga turut membentuk karakteristik negara kita hingga menjadi multiagama dan kepercayaan. Di antara penyebab terjadinya radikalisme sosial, terutama yang bernuansa agama, adalah pemahaman agama yang parsial,konflik pendirian tempat ibadah, dan ketidaksiapan antarumat beragama dan paham keagamaan untuk hidup berdampingan. Pada konteks ini dibutuhkan strategi baru dialog lintas agama dan paham keagamaan. Umumnya kita hanya mengenal dialog lintas agama yang dikemas dalam konteks perdebatan teologi.

Akibatnya pengalaman keagamaan yang diperoleh selalu bercorak oposisi biner; in group-out group, golongan kami (minna)-golongan kamu (minkum), dan benar-salah. Keinginan untuk saling bertemu, bertegur sapa, dan memahami ajaran setiap agama pasti tidak dapat dicapai melalui dialog dengan pendekatan teologis. Akan lebih baik jika dialog itu dirancang secara informal sehingga antarumat beragama dan paham keagamaan saling bertegur sapa tanpa terbebani perbedaan latar belakang sosial, budaya, agama, dan mazhab.

Strategi ini diharapkan dapat mendekatkan jarak yang selama ini menjadi pemisah antarumat beragama. Cara ini juga terasa efektif untuk mengurangi prasangka negatif yang seringkali muncul di antara umat beragama. Pluralisme kini telah menjadi tantangan semua agama dan paham keagamaan. Di antara tantangan yang dihadapi umat beragama berkaitan dengan pluralisme adalah setiap agama dituntut untuk melahirkan ajaran yang inklusif dan toleran terhadap keragaman.Sementara pada saat yang bersamaan agama mewajibkan pemeluknya untuk meyakini bahwa doktrin yang diajarkan memiliki kebenaran mutlak dan bersifat eksklusif.

Problem ini juga dialami penganut paham keagamaan dalam suatu agama. Dalam menghadapi problem tersebut, mayoritas tradisi keberagamaan mengambil sikap bahwa kebenaran hanya menjadi milik mazhab dan agamanya. Sementara mazhab dan agama lain dianggap salah. Akibatnya, setiap pemeluk agama atau penganut paham keagamaan mengklaim ajarannya paling benar. Klaim kebenaran ini pasti meniadakan keinginan untuk saling memahami tradisi keberagamaan.

Karena itu, perlu ditumbuhkan nilai-nilai pluralisme hingga menjadi gerakan aksi yang melibatkan antarumat beragama dan paham keagamaan. Nilai-nilai pluralisme yang harus dikembangkan adalah sikap keberagamaan yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan pada pendapat, pilihan hidup, serta keyakinan yang berbeda. Pluralisme juga menuntut setiap orang terlibat aktif untuk mewujudkan tata kehidupan yang toleran dalam masyarakat yang majemuk. Penegasan ini penting karena pluralisme terkadang dipahami secara negatif. Pluralisme disamakan dengan paralelisme dan relativisme.

Pluralisme bahkan disamakan dengan nihilisme dan ateisme. Akibatnya, dalam fatwa yang pernah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada November 2005, pluralisme bersama sekularisme dan liberalisme divonis sesat. Diana L Eck dalam What is Pluralism (1993) menyatakan bahwa pluralisme berbeda dengan relativisme dan toleransi pasif. Pluralisme adalah pencarian yang aktif untuk memahami aneka perbedaan. Pluralisme juga menekankan pentingnya dialog yang harus dilakukan secara tulus sehingga menghadirkan komitmen untuk sharing, saling mengkritik, dan bersedia untuk dikritik.

Jika pluralisme dipahami secara positif, akan melahirkan pandangan keagamaan yang terbuka (outward looking, open-minded), toleran, dan optimistik. Pemahaman keagamaan yang demikian pasti menumbuhkan komitmen yang tulus untuk terlibat aktif dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Untuk menyikapi gejala radikalisme yang melibatkan pengikut paham keagamaan, yang perlu dikembangkan adalah sikap saling menghargai. Sepanjang paham keagamaan itu masih bersepakat tentang ajaran-ajaran yang fundamental, mereka harus tetap dihormati. Meminjam istilah Mukti Ali (1989), sudah waktunya kita bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement).

Keragaman jika dipahami secara positif justru menjadi ujian bagi setiap penganut agama dan paham keagamaan. Ujiannya adalah seberapa besar kita telah memberikan kontribusi pada perbaikan kehidupan umat. Karena itulah, semua agama atau paham keagamaan dituntut untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik (fastabiqul khairat). Allah berfirman; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji Kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allahlah kembali Kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah Kamu perselisihkan itu (QS. Al-Maidah: 48).

Spirit ajaran Alquran dalam menyikapi perbedaan ini perlu dikemukakan karena pluralitas agama dan paham keagamaan merupakan rencana Allah. Pada konteks inilah perintah fastabiqul khairat perlu menjadi perhatian dalam kehidupan masyarakat yang plural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar