Kamis, 14 Juni 2012

Transisi Demokrasi Myanmar


Transisi Demokrasi Myanmar
Budi Setiyono ; Dosen FISIP Undip,
Penasihat Politik Aung San Suu Kyi dan Partai NLD Myanmar
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 13 Juni 2012


BANYAK perkembangan politik progresif terjadi di Myanmar dua tahun belakangan ini, antara lain  pembebasan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dan diizinkannya Partai National League for Democracy (NLD) yang ia pimpin mengikuti pemilu sela 2010.
Presiden Thein Sein, meskipun menduduki jabatan karena penunjukan rezim militer dan pemilu tidak sah pada 2010, tampaknya melaksanakan reformasi secara sungguh-sungguh. Dia melepaskan banyak tahanan politik, dan membuka ruang yang cukup untuk diskusi dan aktivitas politik.

Ketika saya mengunjungi Myanmar minggu lalu, masyarakat terlihat antusias menyambut kebebasan politik. Mereka terlibat dalam diskusi politik di jalanan, restoran, dan hotel berbintang. Walaupun keran kebebasan telah dibuka, perkembangan itu hanyalah satu langkah bagi proses transisi demokrasi yang arahnya belum pasti.
Konstitusi masih memberi kekuasaan penuh kepada rezim militer yang mengendalikan Partai Union Solidarity and Development Party (USDP) untuk memegang semua struktur kekuasaan negara. Reformasi konstitusi, yang penting untuk mengurangi kekuasaan rezim itu, baru mulai dibahas Agustus mendatang.

Banyak sekali masalah mengadang proses demokratisasi di negara itu. Beberapa persoalan yang menonjol adalah kekuatan militer yang secara internal terpecah menjadi pendukung dan penentang demokrasi, warisan dendam dari represi politik, birokrasi yang menindas, perampasan dan pengekangan ekonomi, serta pemberontakan politik dan bersenjata dari beberapa wilayah.

Yang paling menakutkan adalah negara itu menghadapi konflik etnik yang akut. Konflik itu telah lama menjadi penyakit yang membusuk, tidak terselesaikan dengan baik selama beberapa dekade. Penanganan represif dengan metode serampangan oleh pemerintah menyebabkan dendam di antara etnis-etnis yang bertikai. Dendam itu utamanya ditujukan kepada etnis Burma yang oleh etnik lain dituduh mendominasi pemerintahan secara tidak fair.

Tantangan Internal

Selain itu, konflik juga rentan terjadi antarpemeluk agama. Sebagaimana terjadi dalam beberapa pekan ini, kerusuhan pecah antara kelompok muslim dan Buddha di negara bagian Rakhine, yang dipicu masalah sepele. Kerusuhan muncul karena ketidakpercayaan terhadap kemampuan dan objektivitas pemerintah menangani masalah dan menegakkan hukum.

Tantangan juga muncul dari pendukung demokrasi. Tidak seperti gerakan reformasi di Indonesia 1998, kekuatan prodemokrasi di Myanmar tidaklah terlalu solid dan terkoordinasi baik. Akibat tekanan rezim militer, masing-masing kelompok bergerak sendiri  tanpa ada sinergi dan keterkaitan.

Kapasitas politik kelompok prodemokrasi juga masih lemah. NLD misalnya, walaupun berhasil memenangi pemilu sela anggota Majelis Rendah 2010, struktur organisasi mereka masih sangat jauh untuk disebut organisasi modern. Struktur partai hanya terdiri atas beberapa orang dalam central committee, tanpa ada bagian dan hierarki ke tingkat regional dan lokal.

Sama dengan yang terjadi di negara lain, tantangan demokratisasi di Myanmar berkutat pada dua arah simultan, yiatu distribusi kekuasaan horizontal (demokratisasi pada sistem politik) dan desentralisasi vertikal melalui otda yang lebih besar bagi negara-negara bagian. Hal ini tentu saja sangat sulit.

Jika bisa menangani dengan baik, dua proses itu dapat saling melengkapi keberhasilan transisi demokrasi. Ketika Indonesia mengakhiri pemerintahan otoriter tahun 1998, banyak orang mengkhawatirkan kemampuannya menangani dua hal itu sekaligus. Indonesia bisa dibilang menghadapi masalah internal yang jauh lebih rumit tapi dapat menyelesaikan transisi demokrasi dengan cukup baik.
Bila Myanmar dapat belajar dari pengalaman Indonesia, keberhasilan mereka dalam menjalankan proses transisi demokrasi adalah bukan hal yang mustahil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar