Kamis, 14 Juni 2012

Pendekatan Tepat untuk Papua


Pendekatan Tepat untuk Papua
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 13 Juni 2012


PENDEKATAN nonkekerasan bukan berarti hanya menghindari kekerasan fisik namun juga kekerasan internal pada rohani manusia. Anda bukan cuma dilarang menembak manusia melainkan juga dilarang membencinya (Martin Luther King JR; 1929-1968). Pernyataan itu sangat relevan untuk memperlakukan situasi yang tidak kondusif di Papua saat sekarang ini.

Aksi kekerasan bersenjata di Papua saat ini bukannya meredup melainkan makin menyebar akibat cara pendekatan pemerintah yang selama ini kurang tepat. Situasi labil terakhir di Yapen, setelah sebelumnya kekerasan bersenjata juga terjadi di kota Jayapura dan Wamena. Tragedi di Yapen menunjukkan makin menyebarnya lokasi penembakan dalam tiga tahun terakhir.

Dewasa ini kekerasan bersenjata makin kerap terjadi di Jayapura, Timika, dan sejumlah wilayah pegunungan tengah, seperti di Wamena, Mulia, dan Paniai. Kepala BIN Marciano Norman mengatakan teror di Papua dilakukan oleh OPM yang selama ini “bermain” di luar, kemudian bergabung dengan kelompok yang menginginkan Papua kembali mendapat perhatian dari dunia internasional (SM, 12/06/12).
Banyak pihak mengkritik kinerja aparat keamanan dan intelijen, yang cenderung lamban dan masih menggunakan pendekatan militeristik. Sejumlah anggota DPR meminta pemerintah lebih mengintensifkan pendekatan dialogis atau nonmiliteristik. Sebagian lagi mengkritik ketidaktegasan pemerintahan SBY menyelesaikan persoalan Papua.

Basis HAM

Mantan Ketua MPR Amien Rais pernah mengusulkan kepada SBY supaya lebih serius menyelesaikan persoalan itu mengingat isu Papua sudah menjadi perbincangan internasional. Agustus tahun lalu sejumlah pengacara internasional mengajukan banding ke Mahkamah Internasional atas referendum rakyat Papua pada 1969 yang menggabungkan Papua dalam NKRI. Konferensi internasionalnya berlangsung di Universitas Oxford, Inggris.
Kita tak bisa memungkiri adanya aktor intelektual di balik anatomi percobaan makar atau gerakan separatis di Papua. Begitu sentral peran aktor intelektual karena mereka dapat menggerakkan massa. Pemerintah lewat BIN misalnya, semestinya harus tahu di mana basis-basis aktor intelektual itu dan memetakannya.

Lewat peran aktor intelektual, gerakan makar atau separatis bisa menginternasionalisasi wacana dan isu-isu lokal hingga membesar, mendapat dukungan negara lain. Karena itu, pemerintah harus mengganti cara militeristik dengan upaya yang lebih mengedepankan HAM. Hal itu mengingat persoalan hak asasi bisa menjadi pintu masuk internasionalisasi gerakan separatis.

Persoalan lain yang juga penting adalah isu keadilan ekonomi dan politik. Kita harus berkaca dari lepasnya Timor Timur (kini Timor Leste) pascareferendum 30 Agustus 1999, yang salah satunya dilakukan dengan menginternasionalisasikan masalah keadilan ekonomi dan politik. Karena itu,  pemerintah harus bisa memberikan rasa keadilan ekonomi dan politik secara konkret.

Mungkin benar tesis Robert Cribb (1999) yang menyebutkan salah satu penyebab munculnya gerakan makar adalah karena ingin mendapat hak-hak kewarganegaraan yang hilang. Pemerintah pusat dan daerah telah semena-mena berbuat ketidakadilan, terkait kemerebakan korupsi yang menyebabkan defisitnya anggaran untuk pembangunan daerah dan pembangunan bagi masyarakat.

Kenyataan bahwa Indonesia terdiri atas banyak pulau dan suku bangsa mengundang kerentanan terkait dengan gerakan separatis dan keinginan untuk memisahkan diri. Pemerintah perlu mereformasi diri terhadap berbagai persoalan yang selama ini menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat, seperti kemerebakan korupsi, baik di pusat maupun daerah, dan ketidakmerataan pembangunan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar