Rabu, 13 Juni 2012

Pendidikan Metropolis dan “Pendatang”


Pendidikan Metropolis dan “Pendatang”
Kacung Marijan ; Staf Ahli Mendikbud, Guru Besar Universitas Airlangga
SUMBER :  JAWA POS, 13 Juni 2012


SEORANG kawan menyampaikan kegundahan hatinya tentang nasib pendidikan anaknya. ''Saya bingung dengan kebijakan pendidikan saat ini,'' katanya membuka pembicaraan. ''Anak saya menyelesaikan SMP-nya di sekolah negeri di Surabaya, tetapi kesulitan melanjutkan sekolah di SMAN di Surabaya hanya karena kami penduduk Sidoarjo,'' lanjutnya.

Tetapi, ketika hendak melanjutkan sekolah di SMAN Sidoarjo juga menemui kesulitan karena anaknya bukan lulusan SMP di Sidoarjo.

Anak kawan itu belajar di sebuah SMPN di Surabaya karena selama ini ikut neneknya yang tinggal di Surabaya. Kakaknya sudah terlebih dahulu menyelesaikan pendidikannya, hingga SMA, juga di Surabaya. Pertimbangannya praktis saja. Neneknya membutuhkan cucu-cucu untuk menemani dan kawan itu tidak memiliki pembantu di rumah.

Belakangan saya baru mengetahui, keluhan serupa juga diungkapkan banyak orang tua yang anaknya sudah mengenyam pendidikan di Surabaya atau yang bermaksud menyekolahkan anaknya di Surabaya. Mereka ramai memperbincangkan di radio dan media lainnya. Mereka terheran-heran dengan kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang memberlakukan kuota satu persen bagi warga non-Surabaya untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri di Surabaya.

Argumentasi yang mengemuka adalah selama ini Pemkot Surabaya telah banyak memberikan ''subsidi'' kepada warga non-Surabaya di sektor pendidikan melalui APBD yang dikeluarkannya. Padahal, banyak warga Kota Surabaya yang masih membutuhkan layanan pendidikan.

Argumentasi itu dalam taraf tertentu memang masuk akal dan ada benarnya. Salah satu di antara tanggung jawab pemerintah daerah adalah berkaitan dengan pemberian layanan pendidikan. Selain berkategori sebagai layanan dasar, urusan pendidikan merupakan salah satu urusan penting yang telah didesentralisasikan kepada daerah sejak Januari 2001. Karena itu, sangat wajar kalau Pemkot Surabaya berusaha melindungi dan mengutamakan warga sendiri dalam memperoleh layanan pendidikan.

Ditumbuhkan ''Pendatang''

Tetapi, argumentasi tersebut menjadi kurang bermakna kalau mempertimbangkan jati diri Surabaya sebagai kota metropolis, tidak seperti banyak daerah lain di Indonesia. Di dalam kota demikian, arus mobilitas dalam banyak hal sangat tinggi, termasuk mobilitas penduduk. Persentase penduduk yang masuk ke dan keluar dari Surabaya lebih tinggi daripada daerah-daerah lainnya.

Dalam konteks semacam itu, pertumbuhan kota lalu tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan internal, melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Coba lihat, siapakah investor utama di Kota Surabaya? Mereka bukan ''orang asli'' Surabaya, melainkan para pengusaha dari luar kota, termasuk dari luar negeri. SDM yang berkualitas juga banyak yang berkategori sebagai ''pendatang''.

Pembayar pajak Kota Surabaya, dengan demikian, bukan hanya didominasi oleh orang yang secara legal diberi label sebagai warga Kota Surabaya. Lihatlah setiap hari, siapa saja yang lalu lalang di pusat-pusat perbelanjaan, di pusat-pusat hiburan, dan restoran. Banyak di antara mereka bukan orang yang secara legal warga Surabaya. Mereka adalah para ''tamu'' yang ikut menggerakkan roda perekonomian Surabaya. Mereka telah banyak membelanjakan uangnya dan membayar pajak untuk Pemkot Surabaya.

Dalam konteks semacam itu, pemberian layanan yang diberikan oleh Pemkot Surabaya lalu tidak bisa hanya semata-mata diberikan kepada penduduk yang secara legal merupakan warganya. Pemberian layanan juga diberikan kepada ''warga Metropolis'' yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.

Di antara argumentasi yang dikemukakan oleh para ilmuwan pendukung kebijakan desentralisasi bahwa kebijakan tersebut akan mendorong adanya kompetisi antardaerah. Salah satu implikasi dari kompetisi itu adalah banyaknya penduduk dari daerah lain mencari keuntungan di daerah yang lebih menguntungkan. Misalnya, mereka memindahkan investasinya karena daerah yang lebih baru itu memiliki prospek yang lebih baik dalam berbisnis.

Selain itu, sudah bukan hal yang aneh bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak cabang merotasi karyawannya ke berbagai kota. Para karyawan demikian jelas tidak perlu membuat KTP baru setiap pindah tugas. Hal serupa juga terjadi pada instansi pemerintahan pusat, seperti kepolisian, TNI, kejaksaan, pengadilan, BI, Kemenag, dan instansi lainnya. Pegawai dan pejabatnya jelas tidak perlu membuat KTP baru setiap pindah.

Kontribusi dari Non-Surabaya

Kebijakan kuota satu persen untuk warga non-Surabaya, dalam konteks semacam itu, tidak mencerminkan pemahaman Surabaya sebagai kota metropolis bahwa mobilitas penduduk yang tinggal di dalamnya sangat tinggi.

Bagi orang tua yang memiliki penghasilan tinggi, adanya kebijakan semacam itu bisa jadi bukan masalah yang sangat serius. Di Kota Surabaya terdapat sekolah-sekolah swasta yang memiliki kualifikasi tidak kalah dengan sekolah-sekolah negeri. Orang tua yang tidak mau ribet dengan kuota satu persen bisa cepat dan leluasa memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah demikian.

Tetapi, bagi orang tua yang masuk golongan menengah ke bawah, adanya kebijakan semacam itu jelas sangat memusingkan. Mereka harus memiliki banyak alternatif, seperti tetap menyekolahkan anaknya di tempat asal. Tetapi, alternatif itu juga bukan pilihan yang baik kalau mereka tidak memiliki keluarga di sana.

Untuk itu, Pemkot Surabaya perlu mengkaji kebijakan tersebut lebih serius lagi. Argumentasi bahwa Surabaya telah banyak memberikan ''subsidi'' kepada penduduk non-Surabaya di bidang pendidikan perlu dilengkapi oleh realitas tentang banyaknya kontribusi orang-orang non-Surabaya kepada PAD dan berjalannya roda perekonomian Kota Surabaya.

Selain itu, biaya pendidikan di Surabaya tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah kota. Pemerintah pusat juga memiliki kontribusi yang tidak kecil, seperti berupa BOS dan bangunan sarana dan prasarana pendidikan lainnya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah warga negara Indonesia pada dasarnya memiliki hak dan harus diberi hak untuk memperoleh pendidikan di mana saja di wilayah Republik Indonesia. Pemberian otonomi daerah, termasuk otonomi di dalam mengelola pendidikan, tidak serta merta memberikan otoritas kepada daerah untuk menghapus hak demikian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar