Tafsir
Lain Klaim Warisan
Ahmad Sahidah ; Dosen Fakultas Filsafat dan Etika
Universitas Utara Malaysia
Sumber : JAWA
POS, 19 Juni 2012
TARI tor-tor diklaim Malaysia.
Berita ini tentu memantik amarah warga di sini. Sumpah serapah berhamburan di
media sosial, Twitter. Seni gerak yang berasal dari Mandailing, Sumut,
ini akan dimasukkan ke dalam daftar warisan budaya Malaysia; menjadi ekspresi
berkeadaban dari warga Malaysia. Namun, Menteri Komunikasi dan Warisan Rais Yatim,
yang fasih berbahasa Minang, menambahkan, pengakuan itu tidak menafikan asal
muasal tarian dan menegaskan sebagai penanda bagi warga Mandailing di Malaysia
untuk mengenal asal usulnya. Lalu, apanya yang salah?
Klaim kebudayaan adalah salah satu "gangguan" yang acap menyandera dua negara ini. Silih berganti dengan perselisihan patokan perbatasan dan perlakuan buruk terhadap buruh migran. Padahal, kebudayaan Malaysia hakikatnya juga mengandaikan "milik" Indonesia hari ini. Betapa naif, karena warga Malaysia yang mempraktikkan kebudayaan itu sejatinya mempunyai asal usul nenek moyang dari pelbagai daerah di tanah air, seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Haruskah kita menyangkal hak warga Mandailing untuk membawakan tari tor-tor di Malaysia?
Ekspor TKI, Juga PM
Identitas Malaysia mengandaikan pijakan yang sama dengan Indonesia, yaitu tradisi kebudayaan Nusantara. Ratna Abdul Razak, dosen peradaban Asia Tenggara di Universitas Sains Malaysia, pernah mengutip pernyataan Tun Abdul Razak, PM ke-2 Malaysia. Sang PM memberikan sambutan Kongres Kebudayaan 1971 di Kuala Lumpur mengenai alam kebudayaan yang sama di antara dua negara ini (2009: 59). Penegasan ini bukan barang aneh karena sang pembesar keturunan Bugis itu merujuk kesamaan tersebut jauh sebelum kemerdekaan negara masing-masing.
Bahkan, anaknya, Najib Tun Razak, yang sekarang menduduki kursi yang sama, tidak menafikan asal muasalnya. Dia sempat berkelakar bahwa "Indonesia tidak hanya mengekspor tenaga kerja, tetapi juga perdana menteri." Ini bukti nyata diaspora itu sangat berpengaruh di negara bekas jajahan Inggris ini.
Ketika warga di sini meluahkan kegeramannya terhadap Malaysia, pengakuan dari banyak orang Malaysia mengenai asal usulnya berhamburan. Misalnya, Abd Jalil Ali, pemimpin redaksi koran Sinar Harian, heran mengapa orang Indonesia begitu mudah meluapkan amarah kepada Malaysia? Padahal, betapa dekatnya keluarga penulis terkenal ini dengan pembantunya yang berasal dari Indonesia. Pembantu itu dianggap keluarga sendiri dengan mengasup makanan dari apa yang mereka makan. Kisah manis itu juga dialami banyak pembantu dari Indonesia. Lebih jauh dari itu, penulis buku Asam, Garam, Gula & Kopi tersebut menegaskan bahwa kakek-neneknya berasal dari Tanah Jawa. Pengakuan seperti itu dari banyak warga Malaysia menegaskan bahwa identitas serumpun itu bukan bualan.
Suara Adik di Seberang
Selama ini, isu Malaysia-Indonesia hanya menampilkan sisi kejengkelan khalayak di sini. Sesekali perlu mendengar suara adiknya di negeri seberang. Warga Melayu Malaysia mengakui Indonesia sebagai abangnya karena sejatinya banyak yang berasal dari Indonesia, sejak perdana menteri hingga satpam di pelbagai perkantoran dan kondominium. Seorang satpam berdarah Aceh serta merta berbinar-binar ketika saya mengenalkan diri warga Indonesia. Tanda paling jelas dari kedekatan batin itu.
Prof Muhammad Hj Salleh, sastrawan terkemuka Malaysia, menyebut bahwa pemilik KRU Sdn Bhd, yang pernah menjadi pemicu perselisihan tari pendet, yang memproduksi Enigmatic Malaysia berdarah Bawean, Gresik, Jawa Timur. Meski dengan nada kelakar, penyair bermoyang Medina, Medan, itu menyayangkan keteledorannya karena mengambil budaya Bali yang memang terlalu jauh dari aroma Melayu kontemporer. Itu pun kesalahan Discovery Channel yang berbasis di Singapura. Jadi, betapa akar keindonesiaan itu merembesi Semenanjung Malaysia dan turut mewarnai identitas mereka. Adalah aneh jika mereka dipaksa untuk menyangkal tradisi yang menghidupi jiwa dan raganya.
Demikian pula jika selama ini Malaysia dianggap mencuri manuskrip yang bertebaran di Indonesia, jelas tidak berdasar. Mereka bergairah untuk membawa atau membeli naskah kuno dari pemiliknya karena sedang berusaha merekonstruksi identitas kemelayuannya. Mereka justru turut merawatnya.
Contoh ini mungkin menegaskan kenyataan tersebut. Dr Oman Fathurahman, ahli filologi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, harus terbang ke Kuala Lumpur untuk meneliti al-Fawa'id al-Bahiyah fi al-Ahadith al-Nabawiyah karangan Nuruddin al-Raniri, yang berasal dari Aceh, karena di Perpustakaan Nasional Indonesia tidak ditemukan.
Alangkah eloknya jika siapa pun mengakui bahwa Malaysia telah turut memelihara khazanah Indonesia. Demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun, keduanya diceraikan sebagai negara-bangsa oleh warisan kolonialisme Inggris-Belanda. Jadi, kalau kita bertengkar hanya karena warisan Indonesia diakui oleh Malaysia, hakikatnya kita mengekalkan mentalitas terjajah.
Satu catatan sejarah yang perlu diketahui bahwa Sutan Puasa asal Mandailing adalah sosok yang membuka Kuala Lumpur. Kehadiran migran dari Sumatera, khususnya yang bermarga Mandailing, tidak bisa dilepaskan dari pelarian warga tersebut akibat Perang Padri (1816-1837). Tentu, mereka merawat identitas kebudayaannya ketika berada jauh dari kampung. Di sana sekarang mereka menyatukan diri dalam IMAN (Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia). ●
Klaim kebudayaan adalah salah satu "gangguan" yang acap menyandera dua negara ini. Silih berganti dengan perselisihan patokan perbatasan dan perlakuan buruk terhadap buruh migran. Padahal, kebudayaan Malaysia hakikatnya juga mengandaikan "milik" Indonesia hari ini. Betapa naif, karena warga Malaysia yang mempraktikkan kebudayaan itu sejatinya mempunyai asal usul nenek moyang dari pelbagai daerah di tanah air, seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Haruskah kita menyangkal hak warga Mandailing untuk membawakan tari tor-tor di Malaysia?
Ekspor TKI, Juga PM
Identitas Malaysia mengandaikan pijakan yang sama dengan Indonesia, yaitu tradisi kebudayaan Nusantara. Ratna Abdul Razak, dosen peradaban Asia Tenggara di Universitas Sains Malaysia, pernah mengutip pernyataan Tun Abdul Razak, PM ke-2 Malaysia. Sang PM memberikan sambutan Kongres Kebudayaan 1971 di Kuala Lumpur mengenai alam kebudayaan yang sama di antara dua negara ini (2009: 59). Penegasan ini bukan barang aneh karena sang pembesar keturunan Bugis itu merujuk kesamaan tersebut jauh sebelum kemerdekaan negara masing-masing.
Bahkan, anaknya, Najib Tun Razak, yang sekarang menduduki kursi yang sama, tidak menafikan asal muasalnya. Dia sempat berkelakar bahwa "Indonesia tidak hanya mengekspor tenaga kerja, tetapi juga perdana menteri." Ini bukti nyata diaspora itu sangat berpengaruh di negara bekas jajahan Inggris ini.
Ketika warga di sini meluahkan kegeramannya terhadap Malaysia, pengakuan dari banyak orang Malaysia mengenai asal usulnya berhamburan. Misalnya, Abd Jalil Ali, pemimpin redaksi koran Sinar Harian, heran mengapa orang Indonesia begitu mudah meluapkan amarah kepada Malaysia? Padahal, betapa dekatnya keluarga penulis terkenal ini dengan pembantunya yang berasal dari Indonesia. Pembantu itu dianggap keluarga sendiri dengan mengasup makanan dari apa yang mereka makan. Kisah manis itu juga dialami banyak pembantu dari Indonesia. Lebih jauh dari itu, penulis buku Asam, Garam, Gula & Kopi tersebut menegaskan bahwa kakek-neneknya berasal dari Tanah Jawa. Pengakuan seperti itu dari banyak warga Malaysia menegaskan bahwa identitas serumpun itu bukan bualan.
Suara Adik di Seberang
Selama ini, isu Malaysia-Indonesia hanya menampilkan sisi kejengkelan khalayak di sini. Sesekali perlu mendengar suara adiknya di negeri seberang. Warga Melayu Malaysia mengakui Indonesia sebagai abangnya karena sejatinya banyak yang berasal dari Indonesia, sejak perdana menteri hingga satpam di pelbagai perkantoran dan kondominium. Seorang satpam berdarah Aceh serta merta berbinar-binar ketika saya mengenalkan diri warga Indonesia. Tanda paling jelas dari kedekatan batin itu.
Prof Muhammad Hj Salleh, sastrawan terkemuka Malaysia, menyebut bahwa pemilik KRU Sdn Bhd, yang pernah menjadi pemicu perselisihan tari pendet, yang memproduksi Enigmatic Malaysia berdarah Bawean, Gresik, Jawa Timur. Meski dengan nada kelakar, penyair bermoyang Medina, Medan, itu menyayangkan keteledorannya karena mengambil budaya Bali yang memang terlalu jauh dari aroma Melayu kontemporer. Itu pun kesalahan Discovery Channel yang berbasis di Singapura. Jadi, betapa akar keindonesiaan itu merembesi Semenanjung Malaysia dan turut mewarnai identitas mereka. Adalah aneh jika mereka dipaksa untuk menyangkal tradisi yang menghidupi jiwa dan raganya.
Demikian pula jika selama ini Malaysia dianggap mencuri manuskrip yang bertebaran di Indonesia, jelas tidak berdasar. Mereka bergairah untuk membawa atau membeli naskah kuno dari pemiliknya karena sedang berusaha merekonstruksi identitas kemelayuannya. Mereka justru turut merawatnya.
Contoh ini mungkin menegaskan kenyataan tersebut. Dr Oman Fathurahman, ahli filologi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, harus terbang ke Kuala Lumpur untuk meneliti al-Fawa'id al-Bahiyah fi al-Ahadith al-Nabawiyah karangan Nuruddin al-Raniri, yang berasal dari Aceh, karena di Perpustakaan Nasional Indonesia tidak ditemukan.
Alangkah eloknya jika siapa pun mengakui bahwa Malaysia telah turut memelihara khazanah Indonesia. Demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun, keduanya diceraikan sebagai negara-bangsa oleh warisan kolonialisme Inggris-Belanda. Jadi, kalau kita bertengkar hanya karena warisan Indonesia diakui oleh Malaysia, hakikatnya kita mengekalkan mentalitas terjajah.
Satu catatan sejarah yang perlu diketahui bahwa Sutan Puasa asal Mandailing adalah sosok yang membuka Kuala Lumpur. Kehadiran migran dari Sumatera, khususnya yang bermarga Mandailing, tidak bisa dilepaskan dari pelarian warga tersebut akibat Perang Padri (1816-1837). Tentu, mereka merawat identitas kebudayaannya ketika berada jauh dari kampung. Di sana sekarang mereka menyatukan diri dalam IMAN (Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar