Selasa, 19 Juni 2012

Risiko Demokrasi


Risiko Demokrasi
Sulastomo ; Koordinator Gerakan Jalan Lurus
Sumber :  SUARA KARYA, 19 Juni 2012


Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan keberadaan wakil menteri (wamen) telah menuai polemik baru. Karena diperlukan perbaikan landasan hukumnya, maka dengan sendirinya keberadaan para wamen menjadi goyah. Karena putusan MK tidak tegas melarang, kedudukan wamen menjadi sedikit bermasalah, bahkan cenderung status quo. Akhirnya, semuanya tergantung pada presiden.

Sebab, presiden memiliki hak prerogatif. Sementara pendapat lain mengatakan, hak prerogatif itu juga harus berdasarkan hukum. Begitu polemik di antara kita yang tentu saja menambah panjang daftar berbagai masalah yang dipolemikkan.

Itulah hukum. Kalau ada 10 ahli hukum, maka akan terbuka peluang 11 pendapat. Interpretasi hukum bisa sangat elastis. Hal ini juga terbukti dengan berbagai proses hukum yang terjadi di Indonesia. Bagaimana antara tuntutan jaksa dan vonis terdapat kesenjangan yang lebar. Bahkan, tidak jarang, kesenjangan itu 180 derajat. Sementara jaksa menuntut hukuman berat bagi terdakwa, hakim memutuskan bebas. Bukankah ada sekitar 25 kasus korupsi yang dinyatakan bebas?

Hal inilah yang mungkin menyebabkan pengadilan Wali Kota Semarang dipindahkan dari Semarang ke Jakarta. Ketidakpercayaan terhadap proses hukum di Indonesia sudah memasuki antarlembaga aparat penegak hukum sendiri. Hal ini sudah barang tentu sangat merugikan pencari keadilan hukum. Ada apa sebenarnya yang terjadi dalam proses pengadilan kita? Benarkah semata-mata disebabkan interpretasi hukum atau ada faktor yang lain? Lahirlah istilah "masuk angin". Hal ini terbukti dengan terjadinya suap di sementara aparat penegak hukum kita.

Karena itu, perbedaan interpretasi landasan hukum para wakil menteri dipastikan masih akan berlanjut. Apalagi, kalau ada aroma politiknya. Bersyukurlah kita, di sini, insya Allah, tidak ada yang "masuk angin" meski perbedaan interpretasi politik adalah sah di negara demokrasi. Bahkan perbedaan sikap politik pun adalah sah. Kalau para wamen tetap percaya diri untuk tetap bekerja, tidak menjadi masalah. Begitu juga kalau ada yang mempermasalahkan kedudukan mereka. Polemik seperti itu dipastikan masih akan berlanjut sampai tahun 2014. Bahkan, mungkin akan makin semarak.

Menyikapi semua itu, sikap yang terbaik adalah menyerahkan semua itu pada pengadilan rakyat, pemilihan umum tahun 2014. Apa yang terjadi selama ini, anggaplah sebagai bunga-bunga demokrasi. Biarlah seribu bunga bersemai dan bunga mana yang akan menjadi pilihan kita, tunggulah tahun 2014. Itulah demokrasi. Dengan besikap seperti itu, beban ini akan bisa diringankan. Sebab, kalau kita mau jujur, alangkah berat beban bangsa ini. Buat apa kita menambah berat beban kita sendiri? Sebab, negara ini milik kita bersama.

Dan, inilah risiko demokrasi yang sedang kita jalani, sebelum kita memasuki era demokrasi yang sesungguhnya. Perbedaan pendapat di antara kita terbuka lebar, bahkan bisa 180 derajat. Termasuk, dalam menyikapi keputusan MK. Sepanjang perbedaan pendapat itu tidak berdasar "asal beda" atau waton suloyo (Jawa), tidak menjadi masalah. Bahkan, itulah bunga-bunga demokrasi, sampai akhirnya bunga itu berkembang sesuai warna kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar