Risiko
Demokrasi
Sulastomo ; Koordinator Gerakan Jalan Lurus
Sumber : SUARA
KARYA, 19 Juni 2012
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan keberadaan wakil
menteri (wamen) telah menuai polemik baru. Karena diperlukan perbaikan landasan
hukumnya, maka dengan sendirinya keberadaan para wamen menjadi goyah. Karena
putusan MK tidak tegas melarang, kedudukan wamen menjadi sedikit bermasalah,
bahkan cenderung status quo.
Akhirnya, semuanya tergantung pada presiden.
Sebab, presiden memiliki hak prerogatif. Sementara pendapat lain
mengatakan, hak prerogatif itu juga harus berdasarkan hukum. Begitu polemik di
antara kita yang tentu saja menambah panjang daftar berbagai masalah yang
dipolemikkan.
Itulah hukum. Kalau ada 10 ahli hukum, maka akan terbuka peluang
11 pendapat. Interpretasi hukum bisa sangat elastis. Hal ini juga terbukti
dengan berbagai proses hukum yang terjadi di Indonesia. Bagaimana antara
tuntutan jaksa dan vonis terdapat kesenjangan yang lebar. Bahkan, tidak jarang,
kesenjangan itu 180 derajat. Sementara jaksa menuntut hukuman berat bagi
terdakwa, hakim memutuskan bebas. Bukankah ada sekitar 25 kasus korupsi yang
dinyatakan bebas?
Hal inilah yang mungkin menyebabkan pengadilan Wali Kota Semarang
dipindahkan dari Semarang ke Jakarta. Ketidakpercayaan terhadap proses hukum di
Indonesia sudah memasuki antarlembaga aparat penegak hukum sendiri. Hal ini
sudah barang tentu sangat merugikan pencari keadilan hukum. Ada apa sebenarnya
yang terjadi dalam proses pengadilan kita? Benarkah semata-mata disebabkan
interpretasi hukum atau ada faktor yang lain? Lahirlah istilah "masuk
angin". Hal ini terbukti dengan terjadinya suap di sementara aparat
penegak hukum kita.
Karena itu, perbedaan interpretasi landasan hukum para wakil
menteri dipastikan masih akan berlanjut. Apalagi, kalau ada aroma politiknya.
Bersyukurlah kita, di sini, insya Allah, tidak ada yang "masuk angin"
meski perbedaan interpretasi politik adalah sah di negara demokrasi. Bahkan
perbedaan sikap politik pun adalah sah. Kalau para wamen tetap percaya diri
untuk tetap bekerja, tidak menjadi masalah. Begitu juga kalau ada yang
mempermasalahkan kedudukan mereka. Polemik seperti itu dipastikan masih akan
berlanjut sampai tahun 2014. Bahkan, mungkin akan makin semarak.
Menyikapi semua itu, sikap yang terbaik adalah menyerahkan semua
itu pada pengadilan rakyat, pemilihan umum tahun 2014. Apa yang terjadi selama
ini, anggaplah sebagai bunga-bunga demokrasi. Biarlah seribu bunga bersemai dan
bunga mana yang akan menjadi pilihan kita, tunggulah tahun 2014. Itulah
demokrasi. Dengan besikap seperti itu, beban ini akan bisa diringankan. Sebab,
kalau kita mau jujur, alangkah berat beban bangsa ini. Buat apa kita menambah
berat beban kita sendiri? Sebab, negara ini milik kita bersama.
Dan, inilah risiko demokrasi yang sedang kita jalani, sebelum kita
memasuki era demokrasi yang sesungguhnya. Perbedaan pendapat di antara kita
terbuka lebar, bahkan bisa 180 derajat. Termasuk, dalam menyikapi keputusan MK.
Sepanjang perbedaan pendapat itu tidak berdasar "asal beda" atau waton suloyo (Jawa), tidak menjadi
masalah. Bahkan, itulah bunga-bunga demokrasi, sampai akhirnya bunga itu
berkembang sesuai warna kita bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar