Selasa, 19 Juni 2012

Dari Musala ke Istana Mesir


Dari Musala ke Istana Mesir
Ibnu Burdah ; Analis politik Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
Sumber :  JAWA POS, 19 Juni 2012


HASIL penghitungan cepat babak final pilpres Mesir, Jumat-Sabtu (16-17 Juni) pekan lalu, menunjukkan bahwa Muhammad Mursyi mengungguli Ahmad Syafiq. Keunggulan suara yang diraih Mursyi, kandidat yang diusung Partai al-Hurriyah wa al-Adalah (Kebebasan dan Keadilan), menandai babak baru dalam sejarah kelompok al-Ikhwan al-Muslimun atau Ikhwanul Muslimin (IM). Namun, keadaan masih genting karena keunggulan itu tipis, 52 persen. Pihak lawan juga belum mau menyerah.

Kelompok IM semula bergerak di ''musala'' dan kemaslahatan sosial. Waktu saya belajar di Kairo pada 2005, pemerintah Mesir membiarkan sekaligus mengawasi ketat IM. Misalnya, ketika mahasiswa asing terlalu lama di musala saat subuhan, mereka bisa kena ''stempel merah'' pemerintah Mubarak yang bisa mengancam keberlangsungan studinya.

Merambah pentas sosial politik secara tertatih-tatih, IM menjadi gerakan tiarap di bawah tanah yang ditekan selama pemerintahan beberapa rezim diktaktor Mesir. Lewat pintu demokrasi, kini IM membuka pintu gerbang menuju istana.

Merebut kursi presiden melengkapi kemenangan merebut hampir separo kursi di parlemen. Kendati, kemenangan tersebut terancam hilang karena putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) Mesir menjelang pilpres final. Putusan itu juga potensial membuat pemerintahan Mursyi tidak bergigi. Sebab, DPR sebagai pendukungnya dibubarkan. Yang mencemaskan, kekuasaan parlemen sementara kembali ke Dewan Militer yang pro-Syafiq, mantan PM.

Bila saat di musala mereka berhasil memperoleh simpati luas rakyat Mesir, bahkan umat Islam di banyak negara, lantas mereka juga mampu bertahan dari kekejian rezim pada era perjuangan bawah tanah, apakah mereka akan memperoleh keberhasilan pula ketika menjadi penguasa istana? Harapan agar mereka mampu membawa Mesir baru menjadi negara demokratis yang stabil, makmur yang berkeadilan, serta disegani negara-negara kawasan dan dunia amatlah besar. Setidaknya di hati para pendukung kelompok tersebut. Mereka memang memiliki modal yang berharga untuk mewujudkan mimpi Revolusi 25 Januari itu.

Pertama, modal politik. Modal tersebut berupa dukungan luas rakyat terhadap presiden dan dukungan parlemen yang hampir bisa dipastikan mencapai 70 persen jika pemilu ulang tidak jadi dilaksanakan. Angka itu diperoleh dari dua partai Islamis saja, yaitu Partai al-Hurriyah, sayap politik Ikhwan, dan al-Nur, sayap politik kelompok Salafi yang telah memberikan dukungan resmi terhadap Mursyi. Presiden Mursyi sangat mungkin memperoleh dukungan parlemen lebih dari itu.

Legitimasi mereka semakin kuat karena presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam iklim yang demokratis. Tanpa kepastian dukungan parlemen yang solid dan luas, memang sulit rasanya tercipta roda pemerintahan yang stabil di Mesir saat ini. Kendati putusan MK Mesir bisa menghilangkan semua harapan tersebut, secara ''moral'' mereka tetaplah dipandang memiliki kepercayaan yang tinggi dari rakyat Mesir.

Kedua, Ikhwan adalah kelompok dengan konstituen kalangan menengah terdidik sangat luas. Pressure yang dialami kelompok tersebut pada masa founding father Hasan al-Banna membuat mereka menciptakan organ-organ yang berada di luar struktur kelompok. Sebagian besar organ tersebut adalah organisasi-organisasi profesi yang kemudian berkembang sangat pesat. Karena itu, ketika pintu kebebasan terbuka, kelompok tersebut tampak jelas memiliki stok profesional yang melimpah seperti dokter, insinyur, advokat, dan guru-dosen. Daftar para petinggi kelompok itu maupun partai yang didirikannya mencerminkan fakta tersebut secara jelas.

Beberapa Tantangan

Namun, kelemahan kelompok itu sebagai penguasa istana tidaklah kecil. Bagaimanapun, memegang kendali negara (parlemen-istana) adalah pengalaman baru sepanjang sejarah mereka. Kemampuan mereka untuk merekrut pengikut dalam skala luas pada masa lalu dan ketahanan mereka untuk survive menghadapi rezim intelijen tidak menjamin keberhasilan mereka memimpin negara. Memimpin pengajian di musala dan menjadi gerakan dengan struktur dan gerakan rahasia di bawah rezim kepolisian tentu berbeda dari memimpin pemerintahan dengan iklim penuh euforia kebebasan seperti sekarang.

Jika tidak mampu menjalankan pemerintahan yang segera memberikan hasil yang dirasakan rakyat banyak, mereka potensial menjadi bulan-bulanan media massa, kaum intelektual -terutama kalangan muslim ''moderat'' dan liberal-, para pemuda revolusioner, para ulama, bahkan rakyat biasa. Mereka, tampaknya, tidak lagi memiliki dukungan parlemen. Bahkan, mereka akan sangat sulit mengendalikan ''parlemen jalanan''.

Yang lebih berat, pendukung Mubarak dengan kekuatan uang dan koneksinya yang telah terjalin lama semakin terang-terangan bermain di panggung sosial politik Mesir. Angka perkiraan perolehan suara Syafiq dan putusan terbaru MK yang membatalkan pemilu parlemen, bagaimanapun, mencerminkan adanya kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Dia terancam menjadi presiden ''tanpa'' kekuatan apa-apa.

Ingat pula, ''fobia'' terhadap kelompok itu di sebagian kalangan rakyat Mesir belum sepenuhnya cair. Di kalangan kelompok liberal yang merasa paling berjasa dalam proses revolusi, Ikhwan kadang dipandang telah ''merampas'' buah-buah revolusi di atas tumpukan mayat pemuda mereka.

Penentangnya menyebut Ikhwan juga tidak terlepas dari kekerasan terhadap sesama warga Mesir. Sayap ''rahasia'' kelompok itu yang tidak lagi bisa dikontrol pemimpin kelompok, termasuk pada masa Hasan al-Banna, membuat para anggotanya melakukan serangkaian pembunuhan yang memprihatinkan dan membuat IM kena getah.

Resistansi kelompok liberal sangat mungkin menguat jika pemerintahan Islamis mengambil kebijakan-kebijakan yang mengganggu apa yang mereka sebut ''kebebasan''.

Namun, tampaknya, hal itu tidak akan mereka lakukan. Fokus mereka sekarang adalah menarik kekuasaan, baik eksekutif maupun legeslatif, dari Dewan Militer yang sepertinya akan terus melawan dengan segala cara agar Ikhwan tidak memerintah atau setidaknya membuat pemerintahannya tidak efektif.

Karena itulah, pemerintahan IM diperkirakan tak akan mengusik status quo hubungan dengan Israel dan AS. Memang ada isyarat pengurangan kemesraan hubungan dengan Tel Aviv. Misalnya, mengurangi pasokan gas. Namun, yang akan dilakukan pada awal berkuasa adalah konsolidasi memperkuat posisi politik.

Kursi presiden sudah di depan mata IM. Tapi, selisih kemenangan yang tipis akan rawan dikerjai lawan. Ending episode ini masih mendebarkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar