Minggu, 10 Juni 2012

Siapa Penguasa di Negeri Ini?


Siapa Penguasa di Negeri Ini?
James Luhulima ; Wartawan KOMPAS
SUMBER :  KOMPAS, 09 Juni 2012


Pertanyaan di atas menjadi sangat relevan untuk diajukan, terutama setelah melihat bagaimana berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini ditangani. Beragam persoalan yang muncul ke permukaan seakan-akan dibiarkan mengambang dan semua persoalan itu diharapkan akan selesai dengan sendirinya.

Penanganan rencana konser Lady Gaga di negeri ini secara gamblang menunjukkan hal itu. Penolakan terhadap penyelenggaraan konser Lady Gaga di Jakarta yang disuarakan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dibiarkan berlarut-larut sehingga memunculkan kontroversi di masyarakat.

Seharusnya penolakan itu langsung direspons dengan tegas oleh aparat yang berwenang, misalnya dengan menolak atau menerima penolakan itu atau coba mengupayakan kompromi di antara pihak-pihak yang pro dan kontra agar konser bisa tetap diselenggarakan.

Namun, itu tak terjadi. Aparat kepolisian, dalam hal ini Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), yang wilayahnya menjadi lokasi konser Lady Gaga, hanya menyatakan, selaku penanggung jawab wilayah, Polda Metro Jaya tidak akan memberikan rekomendasi untuk konser itu.

Sebagai alasan disebutkan, pertimbangan Polda Metro Jaya tak memberikan rekomendasi berawal dari adanya surat dari ormas-ormas Islam kepada Presiden agar konser Lady Gaga dibatalkan karena dapat merusak umat. Surat itu kemudian diteruskan Sekretariat Negara (Setneg) kepada Polda Metro Jaya. Setneg meminta Polda Metro Jaya mempertimbangkan kebijakan agar suasana Jakarta sebagai ibu kota negara tetap kondusif.

Oleh karena Polda Metro Jaya tidak memberikan rekomendasi, Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) pun tidak memberikan izin. Namun, karena Mabes Polri tidak secara tegas melarang, panitia penyelenggara berupaya untuk menawar dengan menyatakan, Lady Gaga siap tampil tidak terlalu vulgar dalam konsernya di Jakarta.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) kemudian meminta Kepala Polri untuk mengakomodasi dan berkomunikasi dengan dua pihak yang berbeda pendapat. Pertimbangannya, kompromi dapat dilakukan pada segi kostum, koreografi, tempat, serta gerak penari latar ataupun Lady Gaga. Dengan demikian, konsernya bisa jalan dan aspirasi yang mengkhawatirkan penampilannya juga diwadahi.

Sebagai reaksi atas sikap Menko Polhukam, Polda Metro Jaya menyatakan siap mengamankan konser Lady Gaga jika Mabes Polri mengizinkan penyelenggaraan konser itu. Pada saat soal izin konser itu masih menggantung, tiba-tiba pihak Lady Gaga membatalkan konser di Indonesia karena tidak adanya jaminan keamanan. Polda Metro Jaya membantah tidak mampu menjaga keamanan seandainya konser digelar. Namun, siapa yang peduli, kenyataannya konser Lady Gaga telah dibatalkan….

Minim Pelaksanaan

Kasus Lady Gaga hanya salah satu contoh betapa sering kehadiran penguasa di negeri ini seperti tidak ada. Penguasa tertinggi tentunya Presiden. Namun, jika Presiden tidak aktif dalam memainkan peran, tentunya sudah ditentukan siapa yang harus mewakilinya.

Jika melihat aturan main, seharusnya hierarkinya jelas. Namun, karena pejabat-pejabat di urutan hierarki itu segan untuk mengambil keputusan, maka seakan-akan tidak ada penguasa di negeri ini. Berbagai keputusan diambil, tetapi pelaksanaannya minim karena tidak ada yang mau mengambil alih tanggung jawab.

Seandainya Menko Polhukam pada saat itu mengambil alih tanggung jawab, dan menjadikan dirinya sebagai penguasa, mungkin kasus Lady Gaga bisa diselesaikan secara elegan. Dengan kehadiran Menko Polhukam sebagai penguasa, tanggung jawab yang ada pada Mabes Polri dan Polda Metro Jaya diambil alih ke tingkat yang lebih tinggi sehingga Mabes Polri dan Polda Metro Jaya hanya menjadi pelaksana, bukan penanggung jawab. Sayangnya, bukan itu yang terjadi.

Hal yang sama berlangsung di sejumlah kementerian dan institusi pemerintah lain sehingga negara ini seperti pesawat yang berjalan tanpa pilot. Bongkar pasang kabinet dilakukan, tetapi hasilnya tak terasa. Tidak ada gebrakan besar yang dilakukan oleh penguasa.

Dalam upaya mengurangi jumlah dana yang digunakan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), belum ada langkah maju yang dilakukan. Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan lima kebijakan pemerintah untuk menghemat penggunaan BBM bersubsidi, tetapi tidak ada yang langsung berkait dengan pengurangan dana yang digunakan untuk subsidi.

Mengharuskan kendaraan pemerintah untuk menggunakan BBM nonsubsidi tidak banyak gunanya, mengingat pemerintah akan memerlukan tambahan anggaran untuk membeli BBM nonsubsidi.

Penembakan di Papua masih terjadi. Demikian juga di Aceh. Beberapa kali Presiden meminta untuk mencari dan menangkap pelakunya. Namun, permintaan itu hilang dibawa angin lalu. Peredaran narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) masih marak. Penangkapan-penangkapan memang dilakukan oleh kepolisian, tetapi peredaran narkoba tidak memperlihatkan kecenderungan berkurang.

Waktu bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih sekitar dua tahun lagi, masih cukup banyak waktu yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai hal penting yang dapat dikenang lama oleh rakyat Indonesia sebagai legacy Presiden. Dalam kaitan itulah penting adanya penguasa, sesuai dengan hierarkinya, yang membuat keputusan yang telah diambil dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan. Kita tunggu.…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar