Minggu, 10 Juni 2012

Panggilan untuk Menebar Keteladanan


Panggilan untuk Menebar Keteladanan
Alfons Taryadi ; Mantan Ketua Pembina Yayasan Bhumiksara
SUMBER :  KOMPAS, 09 Juni 2012


Belakangan ini media massa banyak menampilkan keluhan tentang kurangnya para pemimpin bangsa yang patut jadi panutan. Pendapat seperti itu sebaiknya mendorong kita untuk memeriksa apakah diri kita juga sudah memancarkan contoh baik.
Dalam hal ini patut direnungkan tuturan Albert Schweitzer pada 4 September 1985, beberapa jam menjelang akhir hidupnya. ”Contoh bukan perkara utama dalam hidup—itu satu-satunya.”

Russell W Gough, seorang profesor etika dan filsafat di Universitas Pepperdin, Amerika Serikat, menempatkan ucapan Schweitzer sebagai judul Bab 10 dari bukunya, Character is Destiny: The Value of Personal Ethics in Everyday Life (Forum, Prima Publishing, Rocklin, CA, 1998).

Bagi mereka yang mengenal baik Schweitzer, seturut Gough, prestasi tunggalnya yang terbesar ialah keteladanannya. Di mata Norman Cousins, sobat dekatnya, kebesaran Schweitzer ialah dirinya sebagai simbol. Lebih penting dari apa yang dilakukannya bagi orang lain (seperti antara lain mendirikan rumah sakit di tengah rimba Lambarene, suatu desa di tepi Sungai Ogowe) adalah apa yang dibuat oleh orang-orang lain karena dirinya dan berkat daya contoh yang terpancar darinya.

Dari pengakuan Gough tentang Schweitzer, ternyata bukan semata-mata untuk menarik minat pada keteladanannya yang istimewa, tetapi untuk menggarisbawahi bahwa contoh-contoh pribadi kita sendiri—kesohor atau tidak—benar-benar ”bukan perkara utama dalam hidup-itu satu-satunya”.

Tak usah kita menjadi seorang tokoh besar, seperti Socrates, Bunda Teresa, Billy Graham, Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, atau Albert Schweitzer, untuk secara serius mencapai tingkat di mana tindakan yang mengalir dari karakter kita sendiri—dengan efek baik atau buruk—dapat benar-benar berdampak pada orang-orang di sekitar kita. Kita berpengaruh pada mereka yang hidup, bekerja, bermain dengan kita, memandang, mendengarkan kita, duduk di samping kita. Ya, ia menegaskan, pengaruh kita mengalir kepada orang yang tak pernah kita mimpi untuk memengaruhinya.

Pencerahan Gough ini kiranya bisa melecut kita untuk berperan positif dalam menghadapi situasi sosial masyarakat kita yang tengah terpuruk. Jika setiap warga negara Indonesia menghayati panggilan untuk menebarkan keteladanan kepada lingkungannya, keadaan masyarakat kita pasti akan berangsur mengalami perbaikan di segala bidang.

Menuding Diri Sendiri

Saat membaca bab terakhir (14) buku Gough tersebut, pertama-tama saya terpukau oleh judulnya, yaitu I have found who is responsible for our ethical poverty, and it is I RG (Saya telah menemukan siapa bertanggung jawab atas kemiskinan etis kita, yaitu aku, RG). Bukan main!

Adalah Russell W Gough pribadi, yang mengaku menjadi penyebab terjadinya kemiskinan etis masyarakatnya. Di sini dengan tegas Gough memberi contoh agar setiap individu dalam masyarakat berani memikul tanggung jawab atas keadaan sosial bangsanya yang tidak sehat dari segi etis.

Pengakuan RG itu merupakan reaksi atas sebuah artikel dalam US News & Report, 16 Desember 1996, yang berjudul ”I am OK, you are not: Why Americans think their lives are good but the nation is in peril” (Aku OK, kamu tidak: Mengapa orang-orang Amerika berpikir hidup mereka baik, tetapi bangsanya berada dalam bahaya). Tulisan itu menggambarkan hasil sebuah survei komprehensif yang menunjukkan: sementara sebagian sangat besar penduduk Amerika meyakini keadaan masyarakatnya berada dalam kesulitan serius (terutama dari aspek etis), pada waktu yang sama mereka tak percaya bahwa penyebab problem itu ialah sikap dan perilaku mereka.

Contoh Gough untuk menuding diri sendiri itu mengingatkan saya akan suatu curah pendapat tentang ”The Role of Ethical Leadership in the Anticorruption Movement” dengan pembicara Dr Ronnie Amorado dari Filipina, di depan para anggota Yayasan Bhumiksara dan para undangan pada 2 April 2011 di Jakarta. Di situ, Direktur Ehem Campaign against Corruption in the Philippines itu, antara lain, menegaskan peran para pendidik sebagai model, yang mengajarkan apa yang mereka lakukan. Pendidik harus jadi teladan dalam hal integritas dan keterpercayaan.

Sementara itu, hal yang membuat hati saya tersentuh ialah artikel ”Corruption and Communion” (Korupsi dan Perjamuan Komuni) tulisan Fr Albert Alejo, inspirator dan pendiri Ehem Campaign against Corruption in the Philippines.

Dalam artikel yang dibagikan bersama dengan teks agihan Dr Amorado, dikemukakan pernyataan resmi Gereja Filipina yang mengutuk korupsi sebagai problem di negeri itu, sekaligus mengakui langkah-langkahnya yang menyimpang dari jalan kebenaran dan ketulusan. Mengharukan bahwa gereja di sana berani menuding diri sendiri dengan mengakui telah menjadi bagian problem dan sekaligus ingin menjadi bagian solusi atas problem tersebut.

Pendidikan Karakter

Persoalan korupsi pernah pula diseminarkan oleh harian Kompas dengan judul ”Korupsi, Pembusukan Masif Kolektif”, yang hasilnya dilaporkan pada 10 Maret 2011. Di situ, antara lain, diangkat pendapat yang menyatakan bahwa dalam banyak kasus, moral apa pun tak mampu mengontrol hasrat akan kekuasaan, malah bisa dijungkirbalikkan olehnya. Berhadapan dengan nafsu berkorupsi, ”etika dan moral tinggal sebagai khotbah yang gemanya sayup dari atas bukit ditelan deru angin”. Begitu pun muncul saran tentang perlunya sistem pendidikan yang mendorong gerakan moral untuk merestorasi cara berpikir dan bertindak serta bertarung keras untuk merawat Indonesia demi bonum commune.

Selain itu, untuk pencegahan korupsi diserukan perlunya penguatan basis keluarga, disertai dengan pendidikan karakter antikorupsi. Hal ini bisa dimulai dengan perilaku membiasakan diri untuk tidak melakukan kecurangan. Sebutlah seperti mencontek dan tak mengembalikan barang pinjaman dari orang lain.

Usulan tentang pendidikan karakter itu perlu disambut baik dan ditindaklanjuti dengan rencana tindakan yang konkret, termasuk pemikiran tentang institusi yang melaksanakannya. Dalam hal ini, orangtualah yang seharusnya memegang peran utama sesuai dengan fitrahnya sendiri sebagaimana diatur oleh alam. Di sini kiranya buku Russell W Gough tersebut akan sangat membantu.

Akhirnya, sebagai bahan renungan, baik jika dicatat ucapan penulis abad ke-19, Oscar Wilde, yang dikutip di akhir bab 14 buku Gough tersebut sebagai berikut: ”Setiap tindakan kecil di harimu yang biasa membentuk atau menihilkan karakter pribadimu.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar