Setelah
Neneng Pulang
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI
Sumber : SINDO, 21
Juni 2012
Neneng
Sri Wahyuni sudah kembali. Kini waktunya mempercepat penyelesaian kasus-kasus
korupsi yang melibatkan para tokoh penting maupun rekan-rekan mereka yang
namanya sudah disebut-sebut selama ini.
Lagi-lagi,
KPK dituntut memberi bukti bahwa pisau hukum Indonesia masih tajam. Setelah
sekian lama bersembunyi di negeri orang, Neneng akhirnya memutuskan pulang
untuk menjalani proses hukum. Wanita ini sudah ditetapkan sebagai tersangka
kasus korupsi proyek PLTS, Kemenakertrans. Pada 2008, Neneng diduga berperan
sebagai perantara proyek PLTS senilai Rp8,9 miliar itu.
KPK mencatat kerugian negara sebesar Rp3,8 miliar dalam proyek itu. Nazaruddin juga menyebut rekan-rekannya terlibat dalam kasus ini. Sudah berbulan-bulan kasus ini menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaannya, setelah Neneng pulang kampung, apa yang akan dan bisa dilakukan KPK? Jelas, hanya KPK yang paling tahu. Tetapi, rakyat berharap KPK tidak membuang-buang waktu lagi.
Jangan lagi terperangkap dalam debat kusir yang tidak produktif.Sudah pasti akan ada upaya intervensi.Kita berharap Abraham Samad dkk berani menangkal intervensi itu. Sebagai Direktur Keuangan Grup Permai, Neneng bisa dipastikan paling tahu dan memiliki catatan yang sangat lengkap tentang aliran dana serta besarannya. Selama ini sudah beredar informasi bahwa sebagian dana diterima oleh oknumoknum berada di lingkar dalam pusat kekuasaan.
Dari asumsi ini, tak ada salahnya jika KPK menawarkan kepada Neneng untuk menjadi justice collaborator. Kepulangan Neneng harus dimanfaatkan KPK untuk mempercepat penanganan kasus Wisma Atlet dan kasus Hambalang. Masyarakat sudah mengerti dengan sendirinya bahwa kedua kasus itu tidak boleh berhenti pada Nazaruddin, Neneng, Angelina Sondakh, atau Mindo Rosalina. Ada oknum penguasa di belakang mereka semua.
KPK harus mau dan berani mengungkap keterlibatan serta peran mereka pada kedua kasus itu. Karena kedua kasus itu melibatkan oknum-oknum di lingkar dalam pusat kekuasaan, keberanian dan keberhasilan KPK menuntaskan dua kasus ini akan menumbuhkan efek jera yang luar biasa. Kekuasaan berikutnya tentu akan berpikir seribu kali untuk memanipulasi anggaran pembangunan.
Kejahatan Luar Biasa
KPK seyogianya memberi perhatian ekstra pada kasus penganggaran proyek Hambalang. Proses penganggaran proyek Hambalang yang penuh misteri adalah skandal bernuansa kejahatan kerah putih. Sangat memprihatinkan karena skandal baru ini lagi-lagi dilakukan pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden seharusnya merasa dipermalukan oleh skandal ini sebab kabinetnya layak dinilai amatiran.
Soalnya, jika ada kementerian yang berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran yang benar sebagaimana diatur oleh undang-undang (UU), menteri bersangkutan terang-terangan melanggar undang-undang. Pertanyaannya, apa motif si menteri? Idealnya, Presiden memerintahkan penegak hukum untuk menyelidiki skandal ini. Ini persoalan serius karena menyangkut kredibilitas kabinet dan pertanggungjawaban atas penggunaan keuangan negara.
Faktanya, beberapa anggota Komisi X DPR yang berkaitan dengan masalah proyek Hambalang tidak memiliki informasi yang cukup, tidak tahu proses perencanaan dan penganggaran, termasuk penetapan proyek ini sebagai program multi years. Banggar DPR pun tidak pernah membicarakan dan menyetujui anggaran proyek Hambalang.
Penganggaran proyek ini berbau kejahatan kerah putih karena terungkap bahwa tidak semua anggota Komisi X DPR ikut membahas anggaran proyek itu. Hanya sebagian anggota Komisi X DPR yang mendapat rincian data anggaran proyek Hambalang. Berarti, mekanisme penganggarannya tidak transparan. Pertanyaannya, apa yang harus ditutup-tutupi saat membahas anggaran proyek Hambalang?
Karena itu, Presiden SBY, Ketua DPR Marzuki Alie, serta para wakil ketua DPR, harus merespons misteri penganggaran proyek Hambalang. Sudah ada indikasi terjadinya penyimpangan mekanisme dan pelanggaran UU dalam proses penganggaran proyek ini. Indikasi permasalahan yang berkait dengan wewenang pimpinan DPR adalah pengakuan bahwa Komisi X DPR tidak mengetahui dan tidak pernah membahas pembengkakan anggaran sampai Rp1,2 triliun.
Ada juga pengakuan lain yang menyebutkan Komisi X DPR memang membahas penganggaran proyek Hambalang, tetapi tidak semua anggota komisi dilibatkan. Itu berarti, mekanisme dan etika kerja Komisi X DPR sudah berjalan tidak fair karena ada yang ingin ditutup-tutupi. Kesimpangsiuran tentang fungsi dan peran Komisi X DPR dalam kasus ini saja sudah menggambarkan ada masalah besar dan prinsipiil.
Karena itu, pimpinan DPR tidak bisa hanya menunggu, tapi harus proaktif. Minimal, pimpinan DPR bisa membentuk satuan tugas internal untuk menyelidiki masalah ini. Sikap proaktif dan temuan-temuan pimpinan DPR setidaknya dapat membantu kelancaran penyelidikan KPK. Demikian pula dengan Presiden SBY. Tentu saja Presiden harus menjadikannya sebuah persoalan yang serius jika ada kementerian berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran proyek yang benar sebagaimana diatur oleh undang-undang (UU).
Menteri bersangkutan terang-terangan melanggar UU. Menteri itu pembantu Presiden. Kalau ada menteri yang melanggar UU, Presiden tidak bisa begitu saja cuci tangan. Apalagi menuding partai lain lebih korup. Mengingat realisasi proyek Hambalang melibatkan wewenang beberapa menteri,respons Presiden atas kasus ini idealnya ditunjukkan dengan memanggil dan meminta keterangan dari para menteri itu.
Misalnya dari Menpora dan Menteri Keuangan, Presiden bisa meminta penjelasan mengenai proses penganggaran proyek Hambalang. Kalau benar Komisi X DPR tidak tahu atau belum menyetujui besaran anggaran proyek itu, Presiden tentu harus mempertanyakan apa yang sesungguhnya sudah terjadi dalam proses penganggaran proyek Hambalang. Keterangan yang didapat Presiden pun dapat membantu KPK menyelidiki kasus ini.
Bagaimanapun misteri penganggaran proyek Hambalang memperburuk citra DPR dan pemerintah. Model kasus seperti penganggaran proyek Hambalang yang serbamisterius itu belum pernah terjadi dalam sejarah penganggaran proyek pembangunan di negara kita. Kalau Presiden dan pimpinan DPR minimalis, kredibilitas DPR dan pemerintah bakal hancur karena rakyat akan menilai semangat mewujudkan good governance tak lebih dari pepesan kosong. ●
KPK mencatat kerugian negara sebesar Rp3,8 miliar dalam proyek itu. Nazaruddin juga menyebut rekan-rekannya terlibat dalam kasus ini. Sudah berbulan-bulan kasus ini menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaannya, setelah Neneng pulang kampung, apa yang akan dan bisa dilakukan KPK? Jelas, hanya KPK yang paling tahu. Tetapi, rakyat berharap KPK tidak membuang-buang waktu lagi.
Jangan lagi terperangkap dalam debat kusir yang tidak produktif.Sudah pasti akan ada upaya intervensi.Kita berharap Abraham Samad dkk berani menangkal intervensi itu. Sebagai Direktur Keuangan Grup Permai, Neneng bisa dipastikan paling tahu dan memiliki catatan yang sangat lengkap tentang aliran dana serta besarannya. Selama ini sudah beredar informasi bahwa sebagian dana diterima oleh oknumoknum berada di lingkar dalam pusat kekuasaan.
Dari asumsi ini, tak ada salahnya jika KPK menawarkan kepada Neneng untuk menjadi justice collaborator. Kepulangan Neneng harus dimanfaatkan KPK untuk mempercepat penanganan kasus Wisma Atlet dan kasus Hambalang. Masyarakat sudah mengerti dengan sendirinya bahwa kedua kasus itu tidak boleh berhenti pada Nazaruddin, Neneng, Angelina Sondakh, atau Mindo Rosalina. Ada oknum penguasa di belakang mereka semua.
KPK harus mau dan berani mengungkap keterlibatan serta peran mereka pada kedua kasus itu. Karena kedua kasus itu melibatkan oknum-oknum di lingkar dalam pusat kekuasaan, keberanian dan keberhasilan KPK menuntaskan dua kasus ini akan menumbuhkan efek jera yang luar biasa. Kekuasaan berikutnya tentu akan berpikir seribu kali untuk memanipulasi anggaran pembangunan.
Kejahatan Luar Biasa
KPK seyogianya memberi perhatian ekstra pada kasus penganggaran proyek Hambalang. Proses penganggaran proyek Hambalang yang penuh misteri adalah skandal bernuansa kejahatan kerah putih. Sangat memprihatinkan karena skandal baru ini lagi-lagi dilakukan pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden seharusnya merasa dipermalukan oleh skandal ini sebab kabinetnya layak dinilai amatiran.
Soalnya, jika ada kementerian yang berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran yang benar sebagaimana diatur oleh undang-undang (UU), menteri bersangkutan terang-terangan melanggar undang-undang. Pertanyaannya, apa motif si menteri? Idealnya, Presiden memerintahkan penegak hukum untuk menyelidiki skandal ini. Ini persoalan serius karena menyangkut kredibilitas kabinet dan pertanggungjawaban atas penggunaan keuangan negara.
Faktanya, beberapa anggota Komisi X DPR yang berkaitan dengan masalah proyek Hambalang tidak memiliki informasi yang cukup, tidak tahu proses perencanaan dan penganggaran, termasuk penetapan proyek ini sebagai program multi years. Banggar DPR pun tidak pernah membicarakan dan menyetujui anggaran proyek Hambalang.
Penganggaran proyek ini berbau kejahatan kerah putih karena terungkap bahwa tidak semua anggota Komisi X DPR ikut membahas anggaran proyek itu. Hanya sebagian anggota Komisi X DPR yang mendapat rincian data anggaran proyek Hambalang. Berarti, mekanisme penganggarannya tidak transparan. Pertanyaannya, apa yang harus ditutup-tutupi saat membahas anggaran proyek Hambalang?
Karena itu, Presiden SBY, Ketua DPR Marzuki Alie, serta para wakil ketua DPR, harus merespons misteri penganggaran proyek Hambalang. Sudah ada indikasi terjadinya penyimpangan mekanisme dan pelanggaran UU dalam proses penganggaran proyek ini. Indikasi permasalahan yang berkait dengan wewenang pimpinan DPR adalah pengakuan bahwa Komisi X DPR tidak mengetahui dan tidak pernah membahas pembengkakan anggaran sampai Rp1,2 triliun.
Ada juga pengakuan lain yang menyebutkan Komisi X DPR memang membahas penganggaran proyek Hambalang, tetapi tidak semua anggota komisi dilibatkan. Itu berarti, mekanisme dan etika kerja Komisi X DPR sudah berjalan tidak fair karena ada yang ingin ditutup-tutupi. Kesimpangsiuran tentang fungsi dan peran Komisi X DPR dalam kasus ini saja sudah menggambarkan ada masalah besar dan prinsipiil.
Karena itu, pimpinan DPR tidak bisa hanya menunggu, tapi harus proaktif. Minimal, pimpinan DPR bisa membentuk satuan tugas internal untuk menyelidiki masalah ini. Sikap proaktif dan temuan-temuan pimpinan DPR setidaknya dapat membantu kelancaran penyelidikan KPK. Demikian pula dengan Presiden SBY. Tentu saja Presiden harus menjadikannya sebuah persoalan yang serius jika ada kementerian berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran proyek yang benar sebagaimana diatur oleh undang-undang (UU).
Menteri bersangkutan terang-terangan melanggar UU. Menteri itu pembantu Presiden. Kalau ada menteri yang melanggar UU, Presiden tidak bisa begitu saja cuci tangan. Apalagi menuding partai lain lebih korup. Mengingat realisasi proyek Hambalang melibatkan wewenang beberapa menteri,respons Presiden atas kasus ini idealnya ditunjukkan dengan memanggil dan meminta keterangan dari para menteri itu.
Misalnya dari Menpora dan Menteri Keuangan, Presiden bisa meminta penjelasan mengenai proses penganggaran proyek Hambalang. Kalau benar Komisi X DPR tidak tahu atau belum menyetujui besaran anggaran proyek itu, Presiden tentu harus mempertanyakan apa yang sesungguhnya sudah terjadi dalam proses penganggaran proyek Hambalang. Keterangan yang didapat Presiden pun dapat membantu KPK menyelidiki kasus ini.
Bagaimanapun misteri penganggaran proyek Hambalang memperburuk citra DPR dan pemerintah. Model kasus seperti penganggaran proyek Hambalang yang serbamisterius itu belum pernah terjadi dalam sejarah penganggaran proyek pembangunan di negara kita. Kalau Presiden dan pimpinan DPR minimalis, kredibilitas DPR dan pemerintah bakal hancur karena rakyat akan menilai semangat mewujudkan good governance tak lebih dari pepesan kosong. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar