Kamis, 21 Juni 2012

Saat Birokrasi Melawan Reformasi


Saat Birokrasi Melawan Reformasi
S Djaja Laksana ;  Mantan Asisten Sekwilda II, Anggota TAPD
(Tim Anggaran Pemerintah Daerah), dan Baperjakat Pemda
Sumber :  JAWA POS, 21 Juni 2012


DARI 900 tenaga honorer Pemkab Mojokerto, sebagian terindikasi memanipulasi data. Tinggal 406 yang memenuhi syarat masuk database. Itu pun masih mungkin berkurang lagi. Di Sekretariat DPRD Ponorogo, meski ada PP 48/2005 bahwa sejak akhir 2005 tidak boleh lagi merekrut tenaga honorer, dijumpai belasan honorer siluman yang diduga titipan beberapa anggota dewan.

Di Pamkab Ngawi terjadi pengbengkakan belanja pegawai dalam APBD 2012. Padahal, lebih dari 70 persen APBD 2011 disedot untuk belanja pegawai. Pemerintah pusat pun mengultimatum memerger daerah yang boros belanja pegawai. (Jawa Pos, 17/6).

Njomplangnya APBD tentu mengundang tanda tanya kinerja Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).

Tapi, dari dulu, memang ada tiga penyakit birokrasi yang tak kunjung tuntas disembuhkan. Yaitu: postur yang tambun dan kurang profesional, cenderung korup, serta resisten terhadap pembaruan/reformasi.

Daftar Urut Kedekatan

Ketambunan birokrasi disebabkan mentalitas bangsa kita yang feodal. Ini karena menjadi PNS merupakan kebanggaan dan status sosial "tinggi". Di tengah sulitnya pekerjaan, banyak lulusan perguruan tinggi bersedia mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk menjadi CPNS. Juga ada upaya lain, termasuk memanipulasi data seperti di Mojokerto.

Adanya honorer "selundupan" anggota dewan bukan hal baru dan tidak hanya terjadi di Ponorogo. Ketika pemda masih berwenang mengangkat langsung CPNS, tidak sedikit istri, anak, dan keluarga anggota dewan yang "memenangi" seleksi. Sama dengan yang dilakukan pejabat pemda, maupun kepala daerah petahana, demi memenangkan pilkada berikutnya.

Pemerintah sendiri tidak konsisten dalam program perampingan birokrasi yang berslogan "miskin struktur, kaya fungsi". Konsep zero growth pada masa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN & RB) Feisal Tamin diganti Men PAN & RB berikutnya (Taufik Effendi) dengan kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS.

Bahkan, dengan persetujuan DPR, ribuan tenaga honorer menjadi CPNS tanpa tes. Tentu tingkat/jenis pendidikan dan keterampilan yang dimiliki tidak sesuai dengan kebutuhan. Wakil Men PAN & RB Prof Dr Eko Prasojo mengatakan, banyak PNS tak kompeten. Dan pada 2011-2012, kembali dicanangkan Men PAN & RB Azwar Abubakar moratorium penerimaan CPNS.

Dalam mutasi, promosi, dan demosi pejabat pun sering tidak mempertimbangkan profesionalisme. Hasil rapat Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) pemda, tak jarang dikalahkan kepentingan kepala daerah, atau desakan dewan, terutama partai pengusung dalam pilkada. DUK (daftar urut kepangkatan), berubah menjadi "daftar urut kedekatan".

"Bejane Maling lan Waspada"

Perilaku korup dan tak akuntabel birokrasi untuk kali kesekian diungkapkan BPK dengan penyelewengan 30-40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp 18 triliun setahun. Menteri Azwar menegaskan banyaknya perjalanan dinas fiktif (uang dikeluarkan, tapi tugas tidak dilaksanakan), dan mark-up (penggelembungan) sejak dulu.

Kalau ditambah korupsi pengadaan barang dan jasa, yang menurut KPK merupakan korupsi terbesar di pusat maupun daerah, tentu jumlahnya amat mengerikan. Akuntabilitas sulit ditegakkan karena pengawasan dari atasan amat lemah. Sanksi bagi pelaku yang terbukti korupsi di sidang pengadilan sering amat ringan.

Kisah birokrasi melawan perubahan ini akrab dengan sejarah kita. Pada 1971 Menkeu bersih-bersih di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Gaji pegawai Kemenkeu dinaikkan 33 persen dengan tunjangan khusus sembilan kali gaji pokok. Namun, perlawanan tetap muncul, seperti dari Kepala Bea Cukai, Padang (Sudidjo), sehingga menimbulkan ketegangan Kemenkeu dengan Bea Cukai (Tempo 14/8/1971). Hingga kini mendapat remunerasi besar, DJP belum juga bersih.

Fahri Hamzah (FPKS DPR) mungkin benar ketika mengatakan, sanksi bagi koruptor tidak memberikan efek jera, hanya efek waspada. Abdi negara pun ada yang beradagium, bejane wong kang maling lan waspada. "Zona nyaman (korupsi)" itu menyebabkan birokrasi alergi perubahan, masuk bagian dari status quo yang resisten terhadap reformasi.

Menuju Akuntabilitas

Sebetulnya ada momentum amat bagus untuk mendorong terciptanya birokrasi yang bersih dan akuntabel, yaitu di awal reformasi 1998. Kalangan birokrat sipil maupun militer ketika itu "ketakutan" kepada rakyat. Mereka dicap pendukung Golkar, barisan Orde Baru, dan sarat KKN. Kondisi moral down membuat mereka tiarap, merasa bersalah, dan "mencari selamat".

Sayang peluang emas itu tak sempat dimanfaatkan dan kini sulit ditemukan kembali. Apalagi, legislatif yang punya hak bujet dan pengawasan justru "belepotan" sendiri. Sedang yudikatif (criminal justice system), banyak yang lelet terhadap koruptor, bahkan beberapa di antaranya bisa dibeli.

Karena itu, program reformasi birokrasi sebagai prioritas pertama dari 11 prioritas pembangunan 2010-2014, Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 maupun Keppres 14/2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, akan menghadapi resistensi kuat, terang atau tersembunyi.

Kini Kemen PAN & RB menggodok peraturan pensiun dini, dengan uji kompetensi. Hasilnya: PNS baik dipertahankan, kurang baik di-up grade, yang buruk ditawari pensiun dengan pesangon. Menurut Wakil Men PAN & RB Eko Prasojo, reformasi birokrasi ibarat membersihkan kolam kotor untuk mandi, wudu, dan kegiatan menyehatkan. Apa jadinya bila kolam bersih diisi air kotor? Kita ingin lihat lagi, apakah PNS masih resisten atau menyadari pentingnya akuntabilitas? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar