Romo
Soegijo
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
SUMBER : KOMPAS, 09
Juni 2012
Saya membaca judul film Soegijo dengan
tambahan Romo dalam hati. Juga dalam percakapan, dalam ingatan, dan terutama
dalam kesadaran. Bukan semata karena merasa kurang hormat tidak menyebut
predikat, melainkan karena keromoan dan kesoegijoan sudah menyatu, bulat tak
terceraikan.
Sebagaimana kredo nasionalisme yang sakti, tag line yang abadi. ”Seratus persen Indonesia, seratus persen
Katolik”. Seratus persen berlaku selama masih ada Indonesia, masih ada
Katolik.
Sebagaimana hubungan istri-suami, tak selalu
harus disebutkan dengan urutan suami-istri, yang satu jua adanya, tanpa
kehilangan identitas diri masing-masing. Keutuhan—yang sekilas
paradoksal—adalah dinamika dari realitas empiris yang telah terbuktikan.
Dua Sisi Mata Uang
Bahkan, pengakuan pertama atas kemerdekaan
Indonesia oleh Vatikan adalah buah utuh karakter dan integritas seorang
Monsinyur Albertus Soegijapranata. Rasanya sulit terjadi kalau yang melakukan
diplomasi itu Romo yang bukan manusia Indonesia. Sama sulit membayangkan orang
Indonesia yang bukan Romo yang mengakui dan diterima dalam hierarki di Vatikan.
Demikian juga ketika pada masa revolusi, yang
menentukan mati-hidup dan legitimasi, keuskupan pusat dipindahkan ke Yogyakarta
dari Semarang lantaran Ibu Kota berpindah dari Jakarta. Semua hanya
dimungkinkan karena menyatunya antara keromoan dan keindonesian seorang bernama
Soegijo. Tidak mungkin muncul dari satu kekuatan saja, tetapi kekuatan dua sisi
mata uang.
Ini mata uang yang sama ketika Romo
Mangunwijaya ikut dalam genangan air mata duka di Kedung Ombo.
Tindakan dan sikap yang terungkap dari
keromoan sekaligus juga kemangunan, yang menyingkap energi yang berlebih, lebih
dari sekadar mengutamakan kepentingan pribadi. Justru sebaliknya, menyatu
dengan kondisi dan keberadaan umat yang menderita, yang terluka.
Sebagai pribadi, beliau-beliau ini sebetulnya
bisa menikmati berada dalam zona aman. Namun, mereka justru tetap memilih
bersama umat yang tersisih, yang sedih, dan butuh kasih teladan berwujud pada
harapan nyata. Bahkan, sudah jadi kenyataan sejarah: Romo Soegijo menghardik
tentara Jepang atau memaksakan perundingan gencatan senjata.
Inilah yang membedakan Romo Soegijo mengapa
tak harus ikut memanggul senapan atau berhenti menuliskan refleksi dalam puisi,
misalnya. Inilah yang membedakan dengan sosok yang lain, tanpa meniadakan peran
satu dengan lainnya, tanpa menjadi siapa yang harus nomor satu.
Kadang terpikir mengapa (film itu) tak
dijuduli Romo Soegijo atau Romo Kanjeng; gelaran hormat dari masyarakat. Atau
mengapa harus dihilangkan keromoannya. Adakah perhitungan komersial—yang juga
tidak salah meski belum tentu benar menguntungkan—lebih dipentingkan?
Kalau jawabannya iya, bisa dimaklumi meskipun
tidak selalu berarti tidak diterima. Kalau jawabannya karena faktor lain,
apakah rendah hati atau takut ”pada bayangan hitam di bulan”, ini semakin
memperkeruh kisruh komunikasi yang sedang berlangsung di negeri ini.
Dari segi pemberitaan, identitas yang merupakan
bagian dari data dan fakta yang adalah nyawa berita terpangkas sehingga
tafsiran berkembang. Misal saja penyerbuan—kata ini pun bisa
dipertanyakan—suatu ormas, tanpa menyebutkan ormas apa yang menyerbu dan atau
diserbu. Atau kasus geng motor—padahal mereka mungkin penjahat yang mengendarai
motor—yang ketika melibatkan nama angkatan, tak jelas angkatan mana atau aparat
apa.
Kita menjadi ketakutan sebagai mana dulu
nenek moyang takut bayangan hitam di bulan lantaran tak mengetahui mengapa
terlihat hitam. Dalam perilaku lain, kisruh komunikasi menemukan diri dari
persoalan yang hangat.
Kasus Lady Gaga membuktikan bahwa kita tak
belajar apa-apa dan akhirnya akan mengulang hal yang sama. Apakah Lady Gaga
ditolak karena terlalu erotis atau karena menganjurkan memuja setan—perlu
klarifikasi dari setan untuk kepastian atau hal lain. Justru yang menjadi
penyelesaian adalah karena izin tidak ada atau pembatalan. Padahal, bukan itu
jawaban yang bisa menjadi pegangan bersama.
Kasus grasi yang diberikan kepada ratu narkoba,
Corby, juga menyisakan pertanyaan yang sama. Tanpa jawaban yang bisa dijadikan
pegangan atau perbandingan perkara yang lebih-kurang sama. Kasus lain soal
lahan—baik perkebunan maupun tempat peribadatan yang sempit—semakin mempersulit
mencari jawaban yang baik dan benar.
Bandara Soekarno-Hatta
Alangkah memedihkan kalau judul film ini juga
bagian dari ketakutan yang dibenarkan sebagai tahu diri atau istilah sopan apa
pun yang digunakan sebagai topeng penyembunyi kebenaran. Banyak kasus, apalagi
yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), tiba-tiba
harus tidak jelas identitasnya.
Alhasil, yang menjelas justru keremangan
persoalan. Dan, dengan demikian, kita tak pernah menuntaskan persoalan yang ada
selain lama-kelamaan semakin takut, semakin mengerut, dan pokok persoalannya
tetap nglemeng. Ibarat suhu badan antara panas dan dingin, suam-suam kuku.
Rasanya bukan suatu dosa, juga bukan
kesalahan, kalau kita menyebut Romo Soegijo atau ada yang memeluk agama
Katolik. Rasanya, dalam surat penetapan sebagai pahlawan nasional, uskup
pertama dari tanah ini juga tak dituliskan dalam sepenggal nama.
Dia bukanlah nama yang harus disamarkan
sebagaimana media massa menyebutkan nama ”mawar” untuk korban pemerkosaan atau
melindungi di balik sebutan oknum.
Barangkali ini saat yang baik untuk membuka
diri, mengakui keimanan dan cara beriman, tanpa beban berlebihan meskipun tetap
waspada dan berhati-hati. Barangkali hanya masalah judul, akan tetapi saya
merasa ada yang lebih memprihatinkan.
Barangkali berlebihan, seperti saya merasa
tak nyaman menyebut bandara di Cengkareng itu sebagai Soetta. Apalah salahnya
mengucap Bandara Soekarno-Hatta secara lengkap sebagai tanda hormat kita kepada
proklamator yang dengan gagah berani menyatakan kemerdekaan negeri ini. Apa
ruginya menyatakan terima kasih dan kekaguman dengan sebutan lengkap
dibandingkan dengan singkatan ”Soetta” yang tidak menyapa kebanggaan dan
kebangsaan kita?
Dan, kemerdekaan, bagi Romo Soegijo yang
mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, adalah gugatan untuk diri sendiri. ”Apa artinya terlahir sebagai bangsa merdeka
jika gagal untuk mendidik diri sendiri.” Termasuk mendidik tidak menjadi
takut atau ikut mengingkari jati diri. ●
Terima kasih sudah mengutipkan tulisan bagus ini dari Kompas.com.
BalasHapusBTW Kompas madatan, berusaha mengeruk untung sebesar-besarnya dengan memblokir akses gratis. Padahal dari iklan korannya saja sudah untung besar koq.
blog ini selalu jadi blog pertama yg saya cari, jika ada tulsan menarik di kompas cetak yg ingin sy share dng teman2 lain. terimakasih banyak.
BalasHapus