Minggu, 10 Juni 2012

Menunggu Kereta Lewat


Menunggu Kereta Lewat
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
SUMBER :  KOMPAS, 09 Juni 2012


Bahaya laten negara-bangsa ini bukan hanya korupsi, melainkan juga stok pemimpin nasional kelas negarawan yang minim. Akibatnya, bangsa ini menyerah untuk dipimpin orang-orang berkapasitas ala kadarnya dalam rezim yang serba gamang.

Salah casting dalam penyelenggaraan negara pun sangat sering terjadi. Orang yang sesungguhnya hanya berkapasitas ”pegawai” diberi peran menjadi petinggi negara.
Kita pun selalu salah menerka: orang-orang yang kita sangka negarawan, ternyata tak lebih dari sekadar pedagang politik, pokrol, makelar kekuasaan, dan ”badut-badut” berdasi. Kenegarawan mereka hanya tampil dalam pencitraan dan retorika.

Mereka lantang bicara soal keadilan dan kesejahteraan sambil membobol Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan gaya yang sangat santun dan anggun. Inilah kekejaman yang dilakukan dengan sangat sopan atau kebrutalan yang diekspresikan dengan indah.

Di luar rezim, langit pun tetap gelap. Tak banyak muncul sosok pemimpin yang mampu menebarkan cahaya integritas, kilau kecerdasan, dan sinar keberanian. Sosok-sosok yang kita temui selama ini lebih banyak mirip pelancong yang menunggu kereta kekuasaan lewat.

Mereka muncul setiap menjelang pemilu tiba. Begitu kereta lewat, mereka cepat meloncat. Ada yang berhasil naik, akan tetapi banyak juga yang terpelanting jatuh.

Situs Petualangan Politik

Pemimpin sejati yang berkapasitas negarawan bukanlah pelancong kekuasaan yang menunggu kereta pemilu lewat, melainkan pencipta perubahan. Pelancong kekuasaan berkonotasi orang yang hanya mengandalkan modal material untuk berkuasa.

Setelah berkuasa pun, para pelancong kekuasaan ini tidak merasa punya komitmen untuk mengelola kekuasaan dengan baik dan jujur. Kekuasaan, bagi mereka, hanya dipahami sebagai situs petualangan politik yang memberikan sensasi kenikmatan dan bisa dibeli di loket resmi atau lewat para calo.

Kekuasaan berwatak material dan transaksional kini menguat di negeri ini. Pemimpin yang muncul pun tak lebih dari (dalam bahasa Jawa) tukang tebas (pembeli borongan) pohon melinjo yang berprinsip kuras habis.

Adapun pemimpin sejati lahir dari idealisme yang menyatu dengan degup jantung rakyat. Ia memberi kaki dan tangan kepada idealisme sehingga idealisme tidak hanya menjadi gumpalan konsep gagasan dan cita-cita besar, tetapi juga hidup dan bergerak menciptakan peristiwa: kenyataan yang dibaca sebagai perubahan.

Ibarat naskah drama, idealisme dipahami bukan sebagai drama kata, melainkan pertautan berbagai peristiwa dramatik yang melibatkan tokoh-tokoh dalam pergulatan persoalan. Tokoh-tokoh itu jatuh bangun membangun karakter dirinya dan memperjuangkan gagasannya.

Artinya, pemimpin sejati melakukan transformasi idealisme dan ideologi menjadi praksis dan realitas yang mengangkat eksistensi rakyat.

Transformasi itu dilakukan melalui berbagai pertarungan yang sengit terhadap sejumlah pihak yang memberikan antitesis atau bahkan resistensi. Di sini, pemimpin membutuhkan visi, kepercayaan diri, dan keberanian dalam memperjuangkan idealismenya demi melayani rakyat secara bermartabat, sekaligus terhormat, sejalan dengan konstitusi.

Teks itulah yang bisa kita baca dari perjuangan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Jenderal Soedirman, dan manusia-manusia besar lainnya yang dimiliki negeri ini. Mereka adalah tokoh-tokoh yang lolos dan lulus dari berbagai peristiwa dramatik sejarah.

Semakin hilangnya peristiswa dramatik dalam sejarah kepemimpinan menjadikan negara-bangsa ini tidak memiliki stok yang banyak atas pemimpin sejati. Tokoh-tokoh yang lahir pun tidak bersimbah keringat beraroma pengabdian atas rakyat, tetapi tokoh-tokoh pemburu karier yang serba kinclong, klimis, necis, penuh parfum (merek) asing, dan sok santun.

Rakyat Sudah Tak Tahan

Menjelang pemilu tiba, bangsa ini krabyakan atau kesulitan menemukan pemimpin sejati. Orang-orang yang muncul lebih banyak dari stok lama yang—terus terang—kurang memberikan harapan besar bagi rakyat. Munculnya tokoh-tokoh baru dan muda terasa dipaksakan demi banyak alasan. Misalnya, membangun dinasti kekuasaan, penguatan politik/ekonomi asing, atau mempertahankan kekuasaan.

Tokoh-tokoh lain, yang selama ini dikenal relatif bersih dan berkomitmen, tampaknya masih malu-malu atau kurang percaya diri. Agaknya mereka masih butuh banyak waktu untuk belajar berkuasa atau menunggu ”bebotoh” kekuasaan.

Padahal, rakyat sudah tidak tahan hidup dikepung korupsi dan kepemimpinan bergaya pencitraan. Rakyat tengah menunggu perubahan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar