Menunggu
Kereta Lewat
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
SUMBER : KOMPAS, 09
Juni 2012
Bahaya laten negara-bangsa ini bukan hanya
korupsi, melainkan juga stok pemimpin nasional kelas negarawan yang minim.
Akibatnya, bangsa ini menyerah untuk dipimpin orang-orang berkapasitas ala
kadarnya dalam rezim yang serba gamang.
Salah casting
dalam penyelenggaraan negara pun sangat sering terjadi. Orang yang sesungguhnya
hanya berkapasitas ”pegawai” diberi peran menjadi petinggi negara.
Kita pun selalu salah menerka: orang-orang
yang kita sangka negarawan, ternyata tak lebih dari sekadar pedagang politik,
pokrol, makelar kekuasaan, dan ”badut-badut” berdasi. Kenegarawan mereka hanya
tampil dalam pencitraan dan retorika.
Mereka lantang bicara soal keadilan dan
kesejahteraan sambil membobol Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan
gaya yang sangat santun dan anggun. Inilah kekejaman yang dilakukan dengan
sangat sopan atau kebrutalan yang diekspresikan dengan indah.
Di luar rezim, langit pun tetap gelap. Tak
banyak muncul sosok pemimpin yang mampu menebarkan cahaya integritas, kilau
kecerdasan, dan sinar keberanian. Sosok-sosok yang kita temui selama ini lebih
banyak mirip pelancong yang menunggu kereta kekuasaan lewat.
Mereka muncul setiap menjelang pemilu tiba.
Begitu kereta lewat, mereka cepat meloncat. Ada yang berhasil naik, akan tetapi
banyak juga yang terpelanting jatuh.
Situs Petualangan Politik
Pemimpin sejati yang berkapasitas negarawan
bukanlah pelancong kekuasaan yang menunggu kereta pemilu lewat, melainkan
pencipta perubahan. Pelancong kekuasaan berkonotasi orang yang hanya
mengandalkan modal material untuk berkuasa.
Setelah berkuasa pun, para pelancong
kekuasaan ini tidak merasa punya komitmen untuk mengelola kekuasaan dengan baik
dan jujur. Kekuasaan, bagi mereka, hanya dipahami sebagai situs petualangan
politik yang memberikan sensasi kenikmatan dan bisa dibeli di loket resmi atau
lewat para calo.
Kekuasaan berwatak material dan transaksional
kini menguat di negeri ini. Pemimpin yang muncul pun tak lebih dari (dalam
bahasa Jawa) tukang tebas (pembeli borongan) pohon melinjo yang berprinsip
kuras habis.
Adapun pemimpin sejati lahir dari idealisme
yang menyatu dengan degup jantung rakyat. Ia memberi kaki dan tangan kepada
idealisme sehingga idealisme tidak hanya menjadi gumpalan konsep gagasan dan
cita-cita besar, tetapi juga hidup dan bergerak menciptakan peristiwa:
kenyataan yang dibaca sebagai perubahan.
Ibarat naskah drama, idealisme dipahami bukan
sebagai drama kata, melainkan pertautan berbagai peristiwa dramatik yang
melibatkan tokoh-tokoh dalam pergulatan persoalan. Tokoh-tokoh itu jatuh bangun
membangun karakter dirinya dan memperjuangkan gagasannya.
Artinya, pemimpin sejati melakukan
transformasi idealisme dan ideologi menjadi praksis dan realitas yang
mengangkat eksistensi rakyat.
Transformasi itu dilakukan melalui berbagai
pertarungan yang sengit terhadap sejumlah pihak yang memberikan antitesis atau
bahkan resistensi. Di sini, pemimpin membutuhkan visi, kepercayaan diri, dan
keberanian dalam memperjuangkan idealismenya demi melayani rakyat secara
bermartabat, sekaligus terhormat, sejalan dengan konstitusi.
Teks itulah yang bisa kita baca dari
perjuangan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar
Dewantara, Jenderal Soedirman, dan manusia-manusia besar lainnya yang dimiliki
negeri ini. Mereka adalah tokoh-tokoh yang lolos dan lulus dari berbagai
peristiwa dramatik sejarah.
Semakin hilangnya peristiswa dramatik dalam
sejarah kepemimpinan menjadikan negara-bangsa ini tidak memiliki stok yang
banyak atas pemimpin sejati. Tokoh-tokoh yang lahir pun tidak bersimbah
keringat beraroma pengabdian atas rakyat, tetapi tokoh-tokoh pemburu karier
yang serba kinclong, klimis, necis, penuh parfum (merek) asing, dan sok santun.
Rakyat Sudah Tak Tahan
Menjelang pemilu tiba, bangsa ini krabyakan
atau kesulitan menemukan pemimpin sejati. Orang-orang yang muncul lebih banyak
dari stok lama yang—terus terang—kurang memberikan harapan besar bagi rakyat. Munculnya
tokoh-tokoh baru dan muda terasa dipaksakan demi banyak alasan. Misalnya,
membangun dinasti kekuasaan, penguatan politik/ekonomi asing, atau
mempertahankan kekuasaan.
Tokoh-tokoh lain, yang selama ini dikenal
relatif bersih dan berkomitmen, tampaknya masih malu-malu atau kurang percaya
diri. Agaknya mereka masih butuh banyak waktu untuk belajar berkuasa atau
menunggu ”bebotoh” kekuasaan.
Padahal, rakyat sudah tidak tahan hidup
dikepung korupsi dan kepemimpinan bergaya pencitraan. Rakyat tengah menunggu
perubahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar