Ideologi
dan Harga Diri Korut
Pramudito ; Mantan Diplomat, Pemerhati
Masalah Internasional
Sumber : SUARA
KARYA, 19 Juni 2012
Ketika Presiden Presidium Majelis Rakyat Tertinggi Korea Utara
(Korut), Kim Yong Nam melakukan kunjungan resmi ke Indonesia, medio Mei lalu,
ada dua hal yang perlu dicermati. Yakni, situasi internal Korut dan program
senjata nuklir negara itu yang hingga kini masih banyak mengundang kontroversi.
Dengan lebih memahami kedua hal tersebut, setidaknya dapat dijadikan bahan
pertimbangan sejauh mana ASEAN, khususnya Indonesia dapat memainkan peranan
untuk ambil bagian dalam upaya menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea.
Korut memang tetap menamakan dirinya negara sosialis dengan
memegang teguh paham ideologi Marxisme-Leninisme-Kim Il Sungisme. Namun, dalam
perkembangan kemudian ajaran Kim Il Sung yang disebut Juche lebih dominan. Juiche
secara umum dapat diartikan sebagai 'kemandirian'. Dengan Juche, Kim Il Sung mengarahkan Korut menjadi negara yang mandiri
dalam berbagai bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan.
Faktor lain adalah disiplin dan kepatuhan rakyat Korut terhadap
pemimpinnya. Kim Il Sung yang menjadi pemimpin utama Korut hingga meninggalnya
tahun 1994 dipuja-puja rakyat Korut bagaikan dewa. Tidak ada sepatah kata pun
dari ucapan atau tindakan Kim Il Sung yang tidak didukung rakyatnya. Bahkan
setelah meninggal pun, rakyat Korut tetap menganggap Kim Il Sung masih hidup.
Untuk menjaga dukungan kuat rakyatnya, pemimpin-pemimpin Korut
selalu menggelorakan semangat rakyatnya dan karena itu harus selalu diciptakan
musuh-musuh. Bagi bangsa Korut, musuh bangsa Korea adalah Jepang karena pernah
menjajah Korea selama 35 tahun (1910-1945). Musuh berikutnya adalah AS yang
dituduh melakukan agresi membantu Korsel ke Korut dalam perang Korea tahun
1950-1953. Korsel sendiri hingga kini juga merupakan musuh Korut yang dianggap
sebagai boneka Amerika dan imperialis Barat.
Saya pernah bertugas di Korut sebagai pejabat diplomatik dan
mengetahui dengan mata kepala sendiri bagaimana penguasa Korut memobilisasi
rakyatnya. Apabila diperlukan, dalam waktu kurang dari 1X12 jam, penguasa Korut
dapat mengumpulkan satu juta rakyat untuk berkumpul di Lapangan Kim Il Sung di
tengah-tengah kota Pyongyang guna mendengarkan pidato para pemimpinnya.
Dengan demikian sebenarnya ideologi semakin surut peranannya di
Korut, diganti dengan kepatuhan luar biasa pada para pemimpin dan lebih jauh
lagi: harga diri. Rakyat Korut memiliki harga diri yang tinggi. Sedalam apa pun
penderitaan yang mereka alami, mereka pantang meminta-minta bantuan dari pihak
asing. Harga diri menjadi kian penting bagi bangsa Korut sebagai salah satu benteng
utama mental mereka agar tidak kalah menghadapi kaum 'imperialis' asing.
Logikanya, apabila pecah perang, mungkin Korut akan unggul dalam
tahap pertama. Namun, Korsel dan sekutu utamanya yakni AS dan Jepang lambat
atau cepat akan dapat mengalahkannya. Inilah rupa-rupanya yang secara diam-diam
menjadi perhitungan Korut. Namun yang ditakutkan Korsel dan sekutu-sekutunya
adalah meskipun Korut akhirnya akan kalah perang, tapi diperkirakan jutaan
rakyat Korsel dan juga Jepang terlebih dahulu akan manjadi korban keganasan
balatentara dan persenjataan (nuklir) Korut.
Perlu diingat militansi tentara Korut adalah luar biasa. Inilah
yang tidak dikehendaki oleh Korsel dan sekutunya, mengapa mereka terus
menghindari perang terbuka dengan Korut. Harga diri yang demikian tinggi ikut
mendorong Korut tetap mengembangkan persenjataan nuklirnya, namun hanya sebagai
alat penggertak dan bargaining position menghadapi musuh-musuhnya.
Indonesia selama ini melakukan hubungan berimbang (even-handed
policy) baik terhadap Korut maupun Korsel. Indonesia memiliki hubungan
diplomatik dengan kedua negara itu dan selama ini berlangsung stabil. Posisi
Indonesia tersebut diterima baik oleh Korut dan Korsel. Namun, karena kondisi
kedua Korea yang berbeda, pada kenyataannya tidak mudah bagi Indonesia untuk
melakukan hubungan berimbang sepenuhnya.
Hubungan dengan Korsel lebih erat, lebih-lebih dalam bidang
ekonomi, perdagangan dan lain-lain. Sedangkan hubungan dengan Korut meskipun
jauh tertinggal dibandingkan dengan Korsel tetap stabil dan antara Indonesia
dan Korut belum pernah ada gangguan yang berarti. Korut bahkan banyak mendukung
pencalonan Indonesia dalam berbagai badan internasional di bawah PBB,
dibandingkan dengan Korsel.
Indonesia sendiri tetap menjaga keseimbangan hubungan dengan kedua
Korea tersebut. Presiden SBY pun diundang pemimpin tertinggi Kim Jong Un untuk
berkunjung ke Korut. Di mata Korut, Indonesia tetap merupakan negara sahabat,
apalagi mengingat pada masa lalu, ketika masa Presiden Soekarno, hubungan kedua
negara akrab sekali.
Presiden SBY akan menjadi kepala negara Asia Tenggara pertama yang
dapat bertemu pemimpin tertinggi Kim Jong Un. Lewat kunjungan itu, Indonesia
diharapkan dapat menyelami langsung apa yang menjadi keinginan para pemimpin
Korut sekarang ini. Dahulu almarhum Kim Il Sung pernah mengajukan usul solusi
perdamaian di Semenanjung Korea melalui pembentukan satu negara Korea dengan
dua pemerintahan yang berlainan sistem (One
Country, Two Systems). Korut tetap sosialis, sedang Korsel menjadi negara
liberal-kapitalis. Namun, apakah pemikian Kim Il Sung itu masih dianut oleh
kalangan pemimpin Korut yang sekarang?
Tampaknya belum saatnya yang tepat bagi ASEAN dan juga Indonesia
untuk terlibat langsung dalam Six Party
Talks, kecuali sebagai observer.
Indonesia sejauh ini dapat lebih berperan untuk meningkatkan dialog
bilateralnya dengan Korut sambil membawa pesan-pesan perdamaian, ke arah
perdamaian yang menyeluruh untuk Semenanjung Korea yang dapat diterima baik
oleh Korut maupun Korsel. Nuklir Korut hanyalah salah satu aspek belaka dari
kompleksitas masalah yang masih menyelimuti Semenanjung Korea! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar