Anatomi
Pencurian Ikan
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB;
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur
Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 7
Juni 2012
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam,
Indonesia belum bisa memanfaatkannya menjadi sumber kemakmuran atau berkah.
Padahal, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan bahkan Malaysia
sudah menjadikannya sumber kemajuan untuk rakyat.
Banyak faktor penghambatnya: sikap masyarakat
yang kurang peduli, aparat pemerintah dan DPR yang korup, rendahnya aplikasi
teknologi, rendahnya proses nilai tambah, serta faktor terpenting adalah karena
aktivitas pencurian oleh oknum pengusaha dan penguasa.
Praktik pencurian ikan (illegal, unregulated and unreported fishing practices) oleh armada
kapal ikan asing adalah yang paling merugikan negara. Pencurian ini
diperkirakan mencapai 1 juta ton atau Rp 30 triliun per tahun sejak pertengahan
1980-an (FAO, 2008).
Pencurian ikan juga mematikan peluang nelayan
lokal untuk mendapatkan 1 juta ton ikan setiap tahun dan mengurangi pasokan
ikan segar bagi industri pengolahan hasil perikanan nasional. Akibatnya, impor
ikan terus meningkat.
Ihwal
Pencurian
Wacana pencurian ikan muncul bersama-sama
dalam kerangka Illegal, Unreported and Unregulated penangkapan ikan saat
diselenggarakannya forum Komisi Konservasi Sumber Daya Hayati Samudra Atlantik
(Commision for Conservation of Atlantic
Marine Living Resources) pada 27 Oktober-7 November 1997.
Pada praktiknya, keterlibatan pihak asing
dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, pencurian
semi-legal, yaitu pencurian ikan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat
izin penangkapan milik pengusaha lokal, menggunakan kapal berbendera lokal atau
berbendera negara lain. Praktik ini sering disebut ”pinjam bendera” (flag of convenience).
Kedua adalah pencurian murni ilegal, yaitu
proses penangkapan ikan oleh nelayan asing dan kapal asing di wilayah kita.
Kegiatan ini jumlahnya cukup besar, berdasarkan perkiraan FAO (2008) sekitar 1
juta ton per tahun dengan jumlah kapal sekitar 3.000 kapal. Kapal-kapal
tersebut berasal dari Thailand, Vietnam, Malaysia, RRC, Filipina, Taiwan,
Korsel, dan lainnya.
Praktik pencurian ikan tidak hanya dilakukan
oleh pihak asing, tetapi juga oleh para nelayan/pengusaha lokal. Caranya: (1)
Kapal ikan berbendera Indonesia bekas kapal ikan asing dengan dokumen palsu,
(2) kapal ikan Indonesia dengan dokumen ”asli tapi palsu”, dan (3) kapal ikan
Indonesia yang tanpa dilengkapi dokumen.
Faktor
Penyebab
Beberapa faktor yang menyebabkan maraknya
praktik pencurian ikan, antara lain, terjadinya overfishing (tangkap lebih) di negara-negara tetangga; penegakan
hukum yang lemah, termasuk keterlibatan para penegak hukum itu sendiri;
mekanisme izin dan peraturan yang tidak transparan; serta kecilnya armada
Indonesia yang mampu beroperasi ke laut dalam.
Meskipun di sejumlah wilayah (pantai utara
Jawa, sebagian Selat Malaka, pantai selatan Sulawesi, dan Selat Bali) telah
mengalami kelebihan tangkap, masih banyak wilayah laut Indonesia yang memiliki
sumber daya ikan cukup besar, seperti Natuna serta Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) di Laut China Selatan, Laut Arafura, Laut Sulawesi; ZEEI di
Samudra Pasifik; ZEEI di Samudra Hindia; dan wilayah laut perbatasan.
Indonesia memiliki potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY) ikan laut
6,5 juta ton per tahun, salah satu negara dengan potensi ikan laut terbesar di
dunia. Total MSY ikan laut dunia 90 juta ton per tahun (FAO, 2010). Artinya,
sekitar 7,2 persen ikan laut dunia terdapat di Indonesia. Negara-negara yang
(warganya) mencuri ikan di wilayah laut Indonesia (Thailand, Filipina, Vietnam,
Malaysia, RRC, dan Taiwan) potensi sumber daya ikan lautnya jauh lebih kecil.
Susahnya, saat ini Indonesia baru punya 25
kapal patroli perikanan di bawah pengelolaan Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Dari jumlah itu, hanya enam kapal patroli yang mampu beroperasi di
ZEEI dan laut dalam.
Padahal, untuk mengawasi wilayah laut
Indonesia yang sangat luas (5,8 juta kilometer persegi), dibutuhkan 90 kapal
patroli.
Demikian pula halnya dari sisi nelayan. Dari
sekitar 600.000 unit kapal ikan Indonesia, hanya 1 persen yang mampu beroperasi
serta menangkap ikan di wilayah laut ZEEI, laut perbatasan, dan laut dalam.
Sisanya, 99 persen armada kapal ikan hanya mampu beroperasi di wilayah laut dekat
pantai atau laut dangkal. Akibatnya, pencurian ikan oleh kapal asing merajalela
di wilayah laut yang tidak terjangkau.
Strategi
Penanggulangan
Untuk mengatasinya, pemerintah harus
melaksanakan dua strategi secara simultan,
yaitu ke dalam dan ke luar.
Strategi ke dalam ada empat. Pertama,
penyempurnaan sistem dan mekanisme perizinan perikanan tangkap. Jumlah kapal
penangkapan ikan yang diizinkan beroperasi di suatu daerah penangkapan ikan
tidak melebihi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (80 persen MSY) agar
usaha perikanan tangkap berlangsung lestari.
Secara bertahap paling lambat tahun 2012
(saat kemampuan armada kapal ikan Indonesia dapat menangkap seluruh sumber daya
di ZEEI), tidak ada lagi izin penangkapan bagi kapal ikan asing di perairan ZEEI.
Dan, yang paling penting adalah prosedur pengurusan perizinan secara transparan
dan cepat.
Kedua, pengembangan dan penguatan kemampuan
pengawasan (penegakan hukum) di laut. Untuk itu, dapat dilakukan pemberlakuan
sistem monitoring, control, and surveillance
yang salah satunya menggunakan vessel
monitoring systems (VMS). Dengan demikian, keberadaan kapal asing dapat
segera diidentifikasi.
Australia merupakan salah satu negara yang
sukses menggunakan sistem itu sehingga kejadian pencurian ikan di wilayah Australian Fishing Zone berkurang
drastis dalam dekade terakhir (Davis, 2000). Di Indonesia, kegiatan ini dimulai
tanggal 1 Juli 2003 dengan target pemasangan fasilitas VMS di 500 kapal
perikanan asing dan lokal. Tahun 2004, diharapkan sekitar 1.000 unit kapal
dengan bobot 50 GT, baik asing maupun lokal, dapat dilengkapi VMS ini.
Selanjutnya perlu memberdayakan serta
meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi pengawasan di masyarakat (community-based monitoring). Sistem
pengawasan berbasis masyarakat ini pun dilakukan di negara-negara maju. Jepang,
misalnya, telah lama menerapkan sistem ini, khususnya terkait gyogyou ken (hak menangkap ikan) bagi
komunitas perikanan tertentu. Dengan ujung tombak gyogyou kumiai (fisheries
cooperative), komunitas perikanan lokal mengawasi daerah penangkapannya.
Sarana dan prasarana pengawasan perlu
dipenuhi secara bertahap sesuai dengan prioritas dan kebutuhan, terutama
menambah jumlah kapal patroli perikanan.
Pemerintah juga perlu meningkatkan koordinasi
dan kerja sama dengan instansi lintas sektor terkait dalam bidang pengawasan.
Selanjutnya memperbaiki mentalitas dan etos kerja aparat pengawas perikanan di
laut agar lebih memiliki rasa nasionalisme, tidak mudah disogok oleh pihak
asing atau pengusaha nasional yang menjadi broker.
Untuk itu, kita harus meningkatkan pendapatan
aparat pengawasan di laut supaya mereka hidup sejahtera dan terhormat bersama
keluarganya. Selain itu, kita harus memberikan penghargaan kepada mereka yang
berhasil menangkap pencuri ikan di wilayah laut Indonesia, misalnya dengan
memberikan kenaikan pangkat dan/atau bonus. Sebaliknya, sanksi keras diberikan
kepada aparat yang melanggar.
Sistem
Hukum
Hal lain, membenahi sistem hukum dan
peradilan perikanan. Dengan disahkannya UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 jo UU
Nomor 45 Tahun 2009 diharapkan penegakan hukum di laut dapat dilakukan. Dalam
UU Perikanan ini setiap kapal penangkap ikan harus memiliki surat izin
penangkapan ikan. Pengelola dan pemilik kapal berbendera Indonesia yang
melanggar ketentuan diancam pidana enam tahun dan denda Rp 2 miliar. Sementara
pengelola dan pemilik kapal berbendera asing terancam penjara enam tahun dan
denda Rp 20 miliar.
Selain itu, UU tersebut juga menegaskan bahwa
pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.
Hakim juga harus sudah menjatuhkan putusan paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal penerimaan pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum. Jangka waktu
yang sama berlaku pula bagi hakim pengadilan tinggi serta Mahkamah Agung dalam
memutuskan permohonan banding dan kasasi.
Dengan pengadilan ad-hoc ini diharapkan nilai
ikan yang dapat diselamatkan bisa meningkat sekaligus membantu mengurangi
kerusakan kapal asing yang dijadikan bahan sitaan, yang bisa disumbangkan
kepada nelayan nasional.
Sementara strategi ke luar terkait dengan
pentingnya kerja sama regional ataupun international, khususnya dengan negara
tetangga. Dengan meningkatkan peran ini, Indonesia dapat meminta negara lain
untuk memberlakukan sanksi bagi kapal yang menangkap ikan secara ilegal di
perairan Indonesia.
Indonesia juga sudah bekerja sama dengan
negara-negara lain dalam bentuk Joint
Commission Sub-Committee of Fisheries Cooperation dengan Thailand dan
Filipina guna membahas isu-isu perikanan dan delimitasi batas ZEE antarnegara.
Dengan bergabungnya Indonesia ke dalam
organisasi perikanan internasional, secara tidak langsung Indonesia juga telah
menghentikan praktik ”non-member fishing”
sehingga produk perikanan Indonesia relatif dapat ”diterima” oleh pasar internasional.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar