Kamis, 07 Juni 2012

Anatomi Pencurian Ikan


Anatomi Pencurian Ikan
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB;
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
SUMBER :  KOMPAS, 7 Juni 2012


Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia belum bisa memanfaatkannya menjadi sumber kemakmuran atau berkah. Padahal, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan bahkan Malaysia sudah menjadikannya sumber kemajuan untuk rakyat.

Banyak faktor penghambatnya: sikap masyarakat yang kurang peduli, aparat pemerintah dan DPR yang korup, rendahnya aplikasi teknologi, rendahnya proses nilai tambah, serta faktor terpenting adalah karena aktivitas pencurian oleh oknum pengusaha dan penguasa.

Praktik pencurian ikan (illegal, unregulated and unreported fishing practices) oleh armada kapal ikan asing adalah yang paling merugikan negara. Pencurian ini diperkirakan mencapai 1 juta ton atau Rp 30 triliun per tahun sejak pertengahan 1980-an (FAO, 2008).

Pencurian ikan juga mematikan peluang nelayan lokal untuk mendapatkan 1 juta ton ikan setiap tahun dan mengurangi pasokan ikan segar bagi industri pengolahan hasil perikanan nasional. Akibatnya, impor ikan terus meningkat.

Ihwal Pencurian

Wacana pencurian ikan muncul bersama-sama dalam kerangka Illegal, Unreported and Unregulated penangkapan ikan saat diselenggarakannya forum Komisi Konservasi Sumber Daya Hayati Samudra Atlantik (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) pada 27 Oktober-7 November 1997.

Pada praktiknya, keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan milik pengusaha lokal, menggunakan kapal berbendera lokal atau berbendera negara lain. Praktik ini sering disebut ”pinjam bendera” (flag of convenience).

Kedua adalah pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan oleh nelayan asing dan kapal asing di wilayah kita. Kegiatan ini jumlahnya cukup besar, berdasarkan perkiraan FAO (2008) sekitar 1 juta ton per tahun dengan jumlah kapal sekitar 3.000 kapal. Kapal-kapal tersebut berasal dari Thailand, Vietnam, Malaysia, RRC, Filipina, Taiwan, Korsel, dan lainnya.

Praktik pencurian ikan tidak hanya dilakukan oleh pihak asing, tetapi juga oleh para nelayan/pengusaha lokal. Caranya: (1) Kapal ikan berbendera Indonesia bekas kapal ikan asing dengan dokumen palsu, (2) kapal ikan Indonesia dengan dokumen ”asli tapi palsu”, dan (3) kapal ikan Indonesia yang tanpa dilengkapi dokumen.

Faktor Penyebab

Beberapa faktor yang menyebabkan maraknya praktik pencurian ikan, antara lain, terjadinya overfishing (tangkap lebih) di negara-negara tetangga; penegakan hukum yang lemah, termasuk keterlibatan para penegak hukum itu sendiri; mekanisme izin dan peraturan yang tidak transparan; serta kecilnya armada Indonesia yang mampu beroperasi ke laut dalam.

Meskipun di sejumlah wilayah (pantai utara Jawa, sebagian Selat Malaka, pantai selatan Sulawesi, dan Selat Bali) telah mengalami kelebihan tangkap, masih banyak wilayah laut Indonesia yang memiliki sumber daya ikan cukup besar, seperti Natuna serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut China Selatan, Laut Arafura, Laut Sulawesi; ZEEI di Samudra Pasifik; ZEEI di Samudra Hindia; dan wilayah laut perbatasan.

Indonesia memiliki potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY) ikan laut 6,5 juta ton per tahun, salah satu negara dengan potensi ikan laut terbesar di dunia. Total MSY ikan laut dunia 90 juta ton per tahun (FAO, 2010). Artinya, sekitar 7,2 persen ikan laut dunia terdapat di Indonesia. Negara-negara yang (warganya) mencuri ikan di wilayah laut Indonesia (Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, RRC, dan Taiwan) potensi sumber daya ikan lautnya jauh lebih kecil.

Susahnya, saat ini Indonesia baru punya 25 kapal patroli perikanan di bawah pengelolaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari jumlah itu, hanya enam kapal patroli yang mampu beroperasi di ZEEI dan laut dalam.

Padahal, untuk mengawasi wilayah laut Indonesia yang sangat luas (5,8 juta kilometer persegi), dibutuhkan 90 kapal patroli.

Demikian pula halnya dari sisi nelayan. Dari sekitar 600.000 unit kapal ikan Indonesia, hanya 1 persen yang mampu beroperasi serta menangkap ikan di wilayah laut ZEEI, laut perbatasan, dan laut dalam. Sisanya, 99 persen armada kapal ikan hanya mampu beroperasi di wilayah laut dekat pantai atau laut dangkal. Akibatnya, pencurian ikan oleh kapal asing merajalela di wilayah laut yang tidak terjangkau.

Strategi Penanggulangan

Untuk mengatasinya, pemerintah harus melaksanakan dua strategi secara simultan, 
yaitu ke dalam dan ke luar.

Strategi ke dalam ada empat. Pertama, penyempurnaan sistem dan mekanisme perizinan perikanan tangkap. Jumlah kapal penangkapan ikan yang diizinkan beroperasi di suatu daerah penangkapan ikan tidak melebihi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (80 persen MSY) agar usaha perikanan tangkap berlangsung lestari.

Secara bertahap paling lambat tahun 2012 (saat kemampuan armada kapal ikan Indonesia dapat menangkap seluruh sumber daya di ZEEI), tidak ada lagi izin penangkapan bagi kapal ikan asing di perairan ZEEI. Dan, yang paling penting adalah prosedur pengurusan perizinan secara transparan dan cepat.

Kedua, pengembangan dan penguatan kemampuan pengawasan (penegakan hukum) di laut. Untuk itu, dapat dilakukan pemberlakuan sistem monitoring, control, and surveillance yang salah satunya menggunakan vessel monitoring systems (VMS). Dengan demikian, keberadaan kapal asing dapat segera diidentifikasi.

Australia merupakan salah satu negara yang sukses menggunakan sistem itu sehingga kejadian pencurian ikan di wilayah Australian Fishing Zone berkurang drastis dalam dekade terakhir (Davis, 2000). Di Indonesia, kegiatan ini dimulai tanggal 1 Juli 2003 dengan target pemasangan fasilitas VMS di 500 kapal perikanan asing dan lokal. Tahun 2004, diharapkan sekitar 1.000 unit kapal dengan bobot 50 GT, baik asing maupun lokal, dapat dilengkapi VMS ini.

Selanjutnya perlu memberdayakan serta meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi pengawasan di masyarakat (community-based monitoring). Sistem pengawasan berbasis masyarakat ini pun dilakukan di negara-negara maju. Jepang, misalnya, telah lama menerapkan sistem ini, khususnya terkait gyogyou ken (hak menangkap ikan) bagi komunitas perikanan tertentu. Dengan ujung tombak gyogyou kumiai (fisheries cooperative), komunitas perikanan lokal mengawasi daerah penangkapannya.

Sarana dan prasarana pengawasan perlu dipenuhi secara bertahap sesuai dengan prioritas dan kebutuhan, terutama menambah jumlah kapal patroli perikanan.
Pemerintah juga perlu meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan instansi lintas sektor terkait dalam bidang pengawasan. Selanjutnya memperbaiki mentalitas dan etos kerja aparat pengawas perikanan di laut agar lebih memiliki rasa nasionalisme, tidak mudah disogok oleh pihak asing atau pengusaha nasional yang menjadi broker.

Untuk itu, kita harus meningkatkan pendapatan aparat pengawasan di laut supaya mereka hidup sejahtera dan terhormat bersama keluarganya. Selain itu, kita harus memberikan penghargaan kepada mereka yang berhasil menangkap pencuri ikan di wilayah laut Indonesia, misalnya dengan memberikan kenaikan pangkat dan/atau bonus. Sebaliknya, sanksi keras diberikan kepada aparat yang melanggar.

Sistem Hukum

Hal lain, membenahi sistem hukum dan peradilan perikanan. Dengan disahkannya UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009 diharapkan penegakan hukum di laut dapat dilakukan. Dalam UU Perikanan ini setiap kapal penangkap ikan harus memiliki surat izin penangkapan ikan. Pengelola dan pemilik kapal berbendera Indonesia yang melanggar ketentuan diancam pidana enam tahun dan denda Rp 2 miliar. Sementara pengelola dan pemilik kapal berbendera asing terancam penjara enam tahun dan denda Rp 20 miliar.

Selain itu, UU tersebut juga menegaskan bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa. Hakim juga harus sudah menjatuhkan putusan paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum. Jangka waktu yang sama berlaku pula bagi hakim pengadilan tinggi serta Mahkamah Agung dalam memutuskan permohonan banding dan kasasi.

Dengan pengadilan ad-hoc ini diharapkan nilai ikan yang dapat diselamatkan bisa meningkat sekaligus membantu mengurangi kerusakan kapal asing yang dijadikan bahan sitaan, yang bisa disumbangkan kepada nelayan nasional.

Sementara strategi ke luar terkait dengan pentingnya kerja sama regional ataupun international, khususnya dengan negara tetangga. Dengan meningkatkan peran ini, Indonesia dapat meminta negara lain untuk memberlakukan sanksi bagi kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia.

Indonesia juga sudah bekerja sama dengan negara-negara lain dalam bentuk Joint Commission Sub-Committee of Fisheries Cooperation dengan Thailand dan Filipina guna membahas isu-isu perikanan dan delimitasi batas ZEE antarnegara.

Dengan bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi perikanan internasional, secara tidak langsung Indonesia juga telah menghentikan praktik ”non-member fishing” sehingga produk perikanan Indonesia relatif dapat ”diterima” oleh pasar internasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar