Kamis, 14 Juni 2012

The Power of Unreasonable


The Power of Unreasonable
Rhenald Kasali ; Ketua Program MM UI
Sumber :  SINDO, 14 Juni 2012


Saya sedang menyiapkan bahan-bahan untuk seminar internasional di New York saat diminta berbicara di depan para petani herbal dalam Bogor Organic Festival pada Minggu lalu. Di depan saya berjajar sekitar 100 orang yang disebut Jhon Elkington dan Pamela Hartigan sebagai “unreasonable models.

” Mereka duduk di bawah sebuah tenda besar di halaman Kampus Pascasarjana IPB. Mereka disebut unreasonable karena berbagai alasan. Investasi besar-besaran, tetapi kok bukan untuk memupuk kekayaan? Investasinya kok seperti orang yang keasyikan konsumsi. Tidak mikir ROI atau ROA. Pokoknya senang diri, sepuas hati. Tetapi mereka ingin mengubah sesuatu, memperbaiki atau entahlah kalau menghancurkan sistem yang sudah ada. Dalam bahasa di ranah inovasi, mereka disebut sebagai destructive innovator.

Lihat saja apa yang dilakukan Helianti yang membuat kampung herbal di Yogya dan diam-diam menembus Eropa dengan beras warna-warni asli Indonesia. Ia membangun jaringan perlahan-lahan. Ketika sulit mengklaim status organik karena memerlukan banyak sertifikasi, ia justru menggunakan kata natural. Di kantornya hanya ada 10 orang, tetapi di belakangnya ada ribuan petani yang menanam dengan menghitung biaya bersama-sama.

Mereknya, Javara, mulai dikenal seperti arang batok kelapa Cococha yang ramah lingkungan yang dipasarkan Bambang Warih Kusumo. Kala orang Eropa dilanda krisis, mereka memilih masak di rumah ketimbang makan di luar. Ratu herbal lainnya siapa lagi kalau bukan Ning Hermanto yang selalu tampil dengan topi mahkota berwarna serbaungu. Media massa menjuluki pelopor mahkota dewa ini sebagai Ratu Herbal.

Ia mengajarkan para petani meracik daun-daunan mulai dari sirsak sampai sukun. Tetapi, ketika ia menemukan formula untuk membuat telur asin bebas kolesterol, resepnya justru diobral ke sana kemari. Minggu itu nenek Ambar yang menjadi pemasok telur asin ke berbagai supermarket yang belajar dari Ning Hermanto juga hadir. Mereka sedang menapak agar bisa merevolusi.

Dari UMKM menjadi pengusaha besar. Mimpi mereka, lima tahun lagi Kantor Kementerian Koperasi dan UMKM berganti nama menjadi Ke-menterian Usaha Menengah dan Besar. Bukan untuk gagah-gagahan, melainkan agar pengusahapengusaha baru jangan berpikir yang kecil-kecil terus.

Social Enterprise

Orang-orang yang unreasonable itu kini ada di mana-mana. Di Semarang ada, juga di Bali, Aceh, Papua, dan sebagainya. “They seek profit in unprofitable pursuits,” ujar Erlington dan Hartigan. Tetapi, cara kerjanya 100% berbeda dengan cara yang ditempuh wirausaha konvensional. Kalau orang lain selalu melirik usaha-usaha yang sudah jelas dan jelas-jelas untung, mereka justru menciptakan keuntungan dari hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan.

Seorang anggota asosiasi yang saya pimpin (AKSI) menyebut usahanya di atas sebuah kali di Semarang sebagai MLM alias multi-level manusia. Caranya agak mirip dengan yang ditempuh oleh Orlando Rincon Banilla, pemuda yang dibesarkan di sebuah perkampungan “drug dealer” di Kolumbia. Di perkampungan kumuh itu ia memimpin gerakan kaum kiri yang berupaya mengembalikan sistem sosial dan keadilan. Karena leadership nya menonjol, ia pun ditawari beasiswa untuk kuliah di Universitas Medellin.

Di sana ia mengambil double major: antropologi dan sistem engineering. Di situlah ia mulai tertarik menjadi wirausaha dan membangun perusahaan yang diberi nama Open System. Tak pernah ia bayangkan perusahaan pembuat software ini maju pesat.Televisi, internet, ponsel, PLN, dan perusahaan-perusahaan besar lain menjadi pelanggannya. Pada 2004 kekayaan bersihnya mencapai USD14juta.

Tetapi, ia tidak puas. Ia berkelana ke India, melihat apa yang terjadi di Bangalore, lalu menelusuri surga IT di Irlandia. Tuhan membukakan matanya bahwa sistem bisnis yang ia lihat sehari-hari adalah sistem ketidakadilan yang membuat orang muda terperangkap menjadi buruh atau pegawai. Open System pun ia tinggalkan. Mereka ini memang unreasonable. Yang membuatnya untung saja tidak membuatnya tertarik. Orang seperti Orlando justru membangun Parquesoft.

Ini agak mirip dengan Putra Sampoerna yang meninggalkan bisnis rokok yang menguntungkan dan yayasannya masuk ke sektor pendidikan yang unprofitable dan aktif mengembangkan angel investor. Parquesoft, yang didirikan Orlando, adalah nonprofit innovation park yang mengumpulkan ribuan anak-anak kampung putus sekolah, menjadikan mereka pengusaha IT seperti dirinya. Anda ingin tahu bagaimana hasilnya?

Lima tahun yang lalu saja, software buatan anak-anak kampung itu telah menembus 40 negara dan menjadikan mereka sebagai wirausaha yang terus naik kelas. Bisnis Orlando adalah bisnis multi-level manusia, dan orang-orang seperti mereka disebut adalah social entrepreneurs yang kini menjadi tren dan mereka mendirikan social enterprise. Bagi saya, social enterprise adalah ya enterprise.

 Namun, berbeda dengan business enterprise tradisional. Social enterprise mempunyai social mission yang jelas. Profitnya juga tidak dipakai untuk memperbesar tabungan pendirinya di bank, tapi diputar untuk kesejahteraan dan memberantas ketimpangan sosial. Dan berbeda dengan pejuang-pejuang sosial yang berjuang melalui demo dan advokasi- advokasi politik beraliran dialektis-konfliktis, mereka menggunakan market–trading product yang diwirausahakan seperti layaknya pengusaha sejati.

Tengok saja bagaimana almarhum Paul Newman yang aktif membiayai anak-anak penderita kanker. Di hari tuanya itu Paul Newman berwirausaha di sektor makanan dalam kemasan berskala besar. Jadi, social enterprise ya samalah dengan bisnis yang Anda kenal. Ia adalah enterprise dengan social mission.

Inilah topik yang akan saya bahas pada 19 Juni siang nanti di Menara UOB. Orang-orang yang unreasonable ini adalah gabungan dari inovasinya Bill Gates dengan mangkuk sucinya Bunda Teresa. Bagi saya, inilah jalan menuju perubahan sosial yang sudah lama dirindukan para negarawan besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar