Kabinet
Acakadut
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Sumber : KORAN
TEMPO, 14 Juni 2012
Perdebatan panjang tentang konstitusionalitas
jabatan wakil menteri pasca-perombakan kabinet 18 Oktober 2011 yang lalu
akhirnya diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, mahkamah
menilai bahwa jabatan wakil menteri dipandang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 (6 Juni). Mahkamah berpandangan bahwa menghadirkan
jabatan wakil menteri merupakan kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945).
Putusan ini hendaknya tidak dipandang sebagai
kemenangan kelompok tertentu atau kekalahan bagi kelompok lain. Apalagi sampai
pada personifikasi di antara pihak-pihak tertentu atas pengujian undang-undang
ini. Karena, pada prinsipnya, esensi pengujian konstitusional dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang lebih besar ketimbang
pemenuhan hasrat politik sesaat.
Kepastian Hukum
Pada satu sisi, putusan ini harus diapresiasi
karena memberi jaminan konstitusional
adanya wakil menteri. Tetapi, pada sisi
yang lain, hal ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan
hukum mahkamah dinyatakan bahwa penjelasan pasal 10 Undang-Undang Kementerian
Negara tidak mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Penjelasan tersebut
memuat batasan mengenai status wakil menteri sebagai pejabat karier dan bukan
anggota kabinet.
Dari sisi formal, penjelasan ini bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan yang menyatakan bahwa penjelasan tidak boleh memuat rumusan
yang berisi norma. Secara substansial, posisi wakil menteri setidaknya memiliki
lima problem hukum, yaitu, pertama, posisinya secara struktural dan fungsional
tidak jelas. Padahal dalam undang-undang ada norma yang mengatur soal susunan
organisasi (struktur) kementerian negara.
Kedua, tidak ada norma yang mengatur dan
mewajibkan Presiden membuat analisis beban kerja kementerian yang akan
digunakan sebagai alasan untuk mengangkat wakil menteri. Akibatnya, tidak ada
indikator yang riil untuk bisa digunakan sebagai basis argumentasi. Ini juga
menyebabkan jumlah wakil menteri tidak bisa dibatasi secara pasti (fixed)
sebagaimana halnya pembatasan terhadap jumlah kementerian yang diatur dalam
undang-undang.
Ketiga, adanya politisasi atas perubahan
aturan pelaksana setingkat peraturan presiden (perpres) yang dianggap
masyarakat sebagai justifikasi wakil menteri tertentu. Keempat, proses seleksi wakil
menteri yang tidak jelas. Dan kelima, ketidakjelasan masa jabatan seorang wakil
menteri.
Problem hukum ini kemudian dipandang oleh
mahkamah sebagai bentuk ketidakpastian hukum. Maka, diputuslah bahwa penjelasan
pasal 10 tersebut bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945 Pasal 28D ayat 1).
Menurut penulis, putusan mahkamah ini ternyata juga berimplikasi pada
ketidakpastian hukum jabatan wakil menteri. Hilangnya acuan dalam penjelasan
tersebut menambah ketidakjelasan posisi wakil menteri dalam kabinet.
Dengan kondisi yang demikian, Presiden justru
berpeluang mengangkat wakil menteri atas kehendak politiknya semata, baik dari
sisi jumlah maupun kapasitas dan kapabilitasnya. Secara sederhana, wakil
menteri bisa diisi oleh siapa pun asalkan ditunjuk oleh Presiden. Maka, bisa
dibayangkan, jika ini tidak dibatasi, struktur kabinet akan semakin “tambun”
dan tak terkendali. Inflasi wakil menteri menjadi sesuatu yang tak
terhindarkan.
Revisi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu saja
berimplikasi terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan, terutama yang
terkait dengan jabatan wakil menteri. Dalam putusannya jelas hanya dimuat dua
substansi, yaitu jabatan wakil menteri konstitusional dan penjelasan pasal 10
UU Kementerian Negara dianggap bertentangan dengan konstitusi. Presiden
menafsirkan putusan ini dengan segala pertimbangan hukumnya akan terselesaikan
dengan surat keputusan (SK) pengangkatan baru bagi wakil menteri. Namun, jika
ditelisik secara lebih dalam, ternyata ini sama sekali tidak menyelesaikan
problem legalitas atas jabatan wakil menteri.
Pertanyaan sederhananya adalah, apakah SK
yang diterbitkan Presiden tersebut akan memberi kepastian hukum bagi problem
legalitas yang tercantum dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi?
Ternyata tidak sama sekali, karena problem yang sesungguhnya adalah terdapat
kekosongan hukum (vacuum of law) di tingkat undang-undang yang
menyebabkan ketidakpastian terhadap jabatan wakil menteri. Maka penyelesaiannya
adalah dengan cara melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kementerian Negara,
karena problemnya ada di tingkat undang-undang.
Kekosongan rumusan norma yang menyebabkan
ketidakpastian hukum terhadap kehadiran jabatan wakil menteri menjadi sebab
utama problem legalitas yang dimaksudkan mahkamah dalam pertimbangannya.
Mahkamah tentu saja tidak bisa memeriksa dan memutuskan sesuatu yang tidak ada
rumusan normanya. Walaupun ketiadaan rumusan tersebut yang menyebabkan sesuatu
hal itu dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Maka, pilihan untuk menyelesaikan problem
legalitas ini adalah dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kementerian
Negara. SK sama sekali tidak menjadi “obat mujarab” yang bisa menjelaskan dan
memberi kepastian hukum terhadap jabatan wakil menteri. Jika revisi
undang-undang tidak dilakukan, pada titik inilah dimulainya era di mana
pemerintah menyelenggarakan pemerintahan dengan desain yang “acakadut”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar