Rabu, 13 Juni 2012

Pilkada, Kapan Bisa Bersih?


Pilkada, Kapan Bisa Bersih?
Tjipta Lesmana ; Mantan Anggota Komisi Konstitusi
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 12 Juni 2012


Demokrasi di Indonesia masih dalam tahap in the making, kata seorang akademikus. Itu berarti demokrasi kita masih mencari-cari bentuknya yang pas, belum solid seperti demokrasi di negara-negara Barat.

Maklum, kita baru 10 tahun lebih melaksanakan sistem demokrasi liberal, walaupun pendapat ini tidak benar. Pada 1950-an, bangsa Indonesia juga melaksanakan demokrasi liberal dengan Pemilihan Umum 1955 yang tidak mengalami banyak permasalahan.
Jangan lupa, ketika itu bangsa kita baru sekitar 10 tahun merdeka. Ibarat anak, masih berstatus “balita”. Tapi, kenapa “balita” sudah mampu melaksanakan pemilu dengan cukup tertib dan hasilnya relatif bisa diterima semua pihak?

Demokrasi kita dewasa ini sungguh sudah tercemar oleh politikus-politikus yang bertabiat rakus kekuasaan. Mereka oleh Plato dijuluki politicians full of corruption. Ya, mereka hanya politikus yang punya kepentingan kekuasaan semata, tetapi untuk memperkaya diri dan keluarganya.

Fulus, dengan demikian, menjadi sasarahn utama politikus untuk berkuasa. Atau, kekuasaan semata-mata alat untuk dikonversikan menjadi materi (baca: uang).
Ini terkait dengan sistem ekonomi Indonesia yang neo-liberalistis. Dalam sistem kapitalisme murni, materi menjadi segala tolok ukur kehidupan. Manusia pun tidak lebih dari sederetan angka yang status dan martabatnya diukur materi.

Situasi ini kontras sekali dengan situasi pada dekade 1950-an. Ketika itu, nasionalisme dan perjuangan untuk memajukan bangsa dan negara amat tinggi. Pemilu 1955 menjadi ajang untuk melaksanakan cita-cita kemerdekaan kita.

Partai-partai peserta Pemilu 1955 memang mengincar kekuasaan, dalam arti bekerja keras untuk memenangi sebanyak kursi. Namun, para pemimpin partai menyadari bahwa kekuasaan yang diperoleh, jika menang, dipakai untuk memajukan bangsa dan negara.

Demokrasi sekarang yang, katanya, masih dalam tahap in the making, mendorong para kontestan—khususnya kelompok petahana—untuk “bermain kayu”. Dengan segala tipu-daya, lawan harus dihancurkan, dan kekuasaan harus tetap “di tangan saya”. Upaya “to maintain power” dilakukan dengan segala cara. Untuk itu, moto Machiavelli—tujuan menghalalkan cara—dikibarkan tinggi-tinggi.

Alhasil, pilkada mana selama ini yang berlangsung bersih mulus? Tujuh puluh persen lebih pilkada bermasalah hukum, kata Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, MK pun menjadi “korban”; berkas peninjauan kembali hasil pilkada menumpuk di  kantor MK. Sisanya, yang 30 persen juga tidak berarti tidak bermasalah.

Anda masih ingat Pilkada Bupati di Tuban 2006 ketika pasangan petahana HeLi berhadapan dengan pasangan NonStop?

Berdasarkan pengumuman hasil rekapitulasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tuban, Rabu 3 Mei 2006, HeLi memperoleh 327.805 suara dan NonStop memperoleh 305.560 suara dari total 846.514 daftar pemilih tetap (DPT) yang tersebar di 1.708 TPS di 328 desa dan 20 kecamatan di Tuban. Sedianya penetapan bupati terpilih dilakukan Jumat, 5 Mei di kantor KPUD.

Namun, sehari setelah pencoblosan, 28 April, massa pendukung NonStop mulai gelisah. Kabar beredar bahwa pasangan HeLi bakal menang.

Kecuali hasil perhitungan sementara menunjukkan HeLi unggul dari lawannya, massa pendukung NonStop juga gelisah karena ditemukan sejumlah pelanggaran di beberapa TPS dan dugaan konspirasi bupati petahana dengan KPUD. Misalnya, KPUD Tuban tidak pernah memberikan fotokopi DPT yang jumlahnya 846.514, yang sudah diminta resmi pasangan NonsTop.

Tanggal 29 April ketika kabar kemenangan pasangan HeLi semakin santer, emosi massa pendukung NonsTop pun meledak. Tiba-tiba saja mereka menyerbu, merusak, dan membakar pendopo dan Gedung KPU Tuban.

Rumah pribadi Bupati Haeny Relawati juga dirusak, termasuk perabotan yang ada di dalamnya. Tidak hanya itu, tiga unit mobil di dalam garasi juga dirusak setelah dikeluarkan ke jalan. Massa sebenarnya berniat membakar rumah tersebut. Namun, niat itu dibatalkan karena khawatir api akan merembet ke bangunan milik warga lain di sekitarnya.

Menjelang Pemilu 2009, dugaan penyimpangan DPT juga merebak di Jawa Timur. Hebatnya, yang pertama mengungkap permainan DPT adalah Kapolda Jawa Timur. Namun, kasus ini dengan cepat ditutup, dan sang Kapolda pun dipecat.

Di tingkat nasional, kekacauan DPT sangat merebak. Ditemukan jutaan nama yang ganda; bahkan orang yang sudah mati pun terdaftar sebagai pemilih; belum lagi anak-anak di bawah umur.

Masalah DPT kembali mengguncang Pilkada Gubernur DKI. Sejak awal tim sukses lima kontestan sudah berteriak, mencium aroma penyimpangan DPT. Tim sukses Jokowi-Basuki menemukan sekitar 175.000 pemilih ”bermasalah”; sedangkan tim sukses Hidayat Nur Wahid-Rachbini menemukan 44.696 nama yang mencurigakan. Namun, temuan-temuan itu tampaknya tidak digubris KPUD Jakarta.

Tanggal 2 Juni 2012 lalu, angka dalam daftar pemilih sementara (DPS) yang sudah terkoreksi dan segera disahkan KPUD berjumlah 6.982.179 orang. Namun, 6,5 jam sebelum diumumkan, jumlah itu bertambah menjadi 6.983.692, yang kemudian disahkan menjadi DPT. Jadi, dalam tempo 6,5 jam, data DPT bertambah 1.513 orang.

Pertanyaannya, setiap kali ditemukan kecurigaan mengenai daftar pemilih, kenapa KPUD dan tim sukses semua kontestan tidak duduk bersama untuk melakukan klarifikasi secara cermat? Waktu selalu menjadi alasan utama.

Betul, pentahapan pilkada sudah jauh-jauh hari ditetapkan KPUD, sehingga kelihatannya tidak bisa digeser. Jika digeser, hari H bisa molor. Akibatnya, bakal terjadi kevakuman kepemimpinan jika pada hari yang sudah ditetapkan belum ada pemenang yang diumumkan.

Alasan sama juga dikumandangkan pada Pemilihan Presiden 2009. Tanggal 20 Oktober 2009, presiden definitif sudah harus diambil sumpahnya oleh MPR. Untuk itu, tanggal sekian pemenang pilpres sudah harus disahkan KPU.

Kalau tidak, Indonesia tidak punya presiden pasca-20 Oktober 2009. Apa boleh buat, demi mengejar target jadwal, rintangan apa pun harus dilabrak, termasuk rintangan kemungkinan permainan curang oleh pihak-pihak tertentu.

Hal ini berarti, bagi demokrasi Indonesia sekarang, hasil lebih penting dari proses. Padahal, demokrasi sustansial mengajarkan proses jauh lebih penting daripada hasil. Jika proses demokrasinya cacat—entah cacat hukum atau cacat manipulatif—hasilnya harus dibatalkan. Pemilu harus diulang, apa pun ongkos yang harus dikeluarkan!

Pilkada Gubernur DKI semakin dekat. Minggu depan sudah dimulai masa kampanye; pencoblosan 13 Juli 2012. Sejak awal, berbagai dugaan kecurangan sudah kelihatan sekali. Jadi, jangan harap Pilkada DKI kali ini pun bisa berlangsung ”jurdil”.

Bersiaplah para kontestan kelas ”kecil” untuk kalah atau tersingkir, sebab pilkada hampir dipastikan berlangsung kotor dan penuh intrik serta akal bulus.

Itulah ongkos politik yang mungkin harus dibayar bangsa ini karena demokrasi yang masih berstatus ”in the making”. Kita masih butuh puluhan tahun untuk membalik status ”in the making” menjadi ”solid democracy”! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar