Rabu, 13 Juni 2012

Kotak Pandora di Balik Hambalang


Kotak Pandora di Balik Hambalang
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
SUMBER :  KORAN TEMPO, 12 Juni 2012


Kinerja secara keseluruhan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng sejak menempati pos pada 2009 bisa dikatakan tidak memuaskan, karena adanya dua kasus korupsi terkait dengan pekerjaannya, yakni pembangunan perkampungan atlet untuk SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, tahun lalu serta dugaan praktek penipuan dalam pembangunan kompleks Olahraga Hambalang di Bogor, Jawa Barat. Menanggapi kisruhnya proyek ini, Andi Mallarangeng meyakinkan publik bahwa dia tidak tersangkut kasus tersebut, yang kini tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia berdalih siapa pun harus bertanggung jawab jika ada penyimpangan dalam proyek itu, baik selama perencanaan maupun pelaksanaan.

Membongkar kasus Hambalang ini sebetulnya membuka kotak Pandora yang sejatinya menyibakkan berlapis-lapis masalah tidak terduga yang bakal menjadi bom waktu bila pengusutannya terlalu lambat dan tidak tuntas. Kasus ini menjadi simalakama dan salto mortal terhadap harapan publik yang menghendaki era transisi menuju demokrasi yang berorientasi kesejahteraan masyarakat serta kedewasaan berpolitik. Lagi-lagi kasus Hambalang ini hanya mengukuhkan bahwa reformasi yang tengah berjalan terseok-seok oleh tiga sandungan besar yang masih berjalan di tempat.

Pertama, kegagalan reformasi birokrasi. Sistem remunerasi yang selama ini digadang-gadang akan meningkatkan kinerja aparat pemerintah--reformasi gaji, penghasilan berbasiskan kinerja, reformasi sistem pensiun, atau penyesuaian asuransi kesehatan bagi layanan publik--nyata-nyata tidak memangkas hasrat orang untuk semakin rakus dan menyimpang. Paradoks yang muncul dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah bahwa figur muda dan reformis ternyata tidak memiliki imunitas berhadapan dengan tarikan finansial serta penyalahgunaan kekuasaan.

Tersandungnya tokoh-tokoh muda Demokrat, semisal Angelina Sondakh, Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, atau Andi Mallarangeng, yang diharapkan publik sebagai lokomotif pemberangusan praktek suap era Orde Baru meneguhkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia tidak selalu berkelindan dengan berkurangnya korupsi di birokrasi. Ada kecenderungan apa yang kini tengah terjadi tak lain reformasi setengah hati, yang masih saja memproduksi korupsi gaya baru yang dilakukan oleh kaum muda. Tokoh-tokoh tersebut jelas-jelas mewakili politikus berusia muda, di bawah 50 tahun.

Ada kekhawatiran reformasi birokrasi mulai terdengar sloganistik, karena hanya merupakan wacana yang kembali dimunculkan setiap kali korupsi menyerang lembaga-lembaga atau apa pun yang dibiayai oleh uang pajak rakyat. Lebih lanjut, wacana reformasi birokrasi, terutama di kalangan politikus muda, telah menjadi kartu truf untuk menghantam politikus senior yang juga korup di satu sisi dan sekadar bahan kampanye untuk melicinkan jalan mendapatkan kursi di Senayan di sisi lain. Gegap-gempita skandal korupsi para politikus muda, seperti proyek Hambalang, memperlihatkan bahwa reformasi birokrasi demi memerangi semua penyimpangan tersebut tak ubahnya iklan TV yang dibayar rakyat, yang uangnya mengalir ke pundi-pundi politikus itu, alih-alih melayani kepentingan publik.

Kedua, kegagalan kepemimpinan politik. Kementerian Pemuda dan Olahraga mengkonfirmasi bahwa hingga Desember tahun lalu, 47,33 persen dari total anggaran, atau Rp 536 miliar, telah dihabiskan untuk pembangunan proyek kompleks Olahraga Hambalang di Bogor. Persoalan ini menunjukkan dahsyatnya persoalan pengelolaan anggaran, sesuatu yang juga terjadi selama persiapan SEA Games tahun lalu. Tak pelak gagalnya kepemimpinan seorang menteri menyumbang terjadinya eskalasi inefisiensi anggaran negara. Efektivitas pengawasan internal digugat karena ketidakseimbangan antara aspek kontrol dan penguatan kinerja. Banyak yang berdecak kagum atas peningkatan kinerja para birokrat, terutama yang terjadi di Kementerian Keuangan, sebagai hasil reformasi birokrasi. Sayangnya, imbas di Kementerian Keuangan tidak terjadi di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Hal ini terjadi bukan hanya karena kuatnya politisasi lembaga tersebut, tapi juga ketiadaan kemampuan manajerial seorang menteri yang juga politikus.

Persoalan lemahnya kepemimpinan ini terlihat dari tersumbatnya reservoir komunikasi antara Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, serta masyarakat. Andi Mallarangeng sendiri terhitung beberapa kali membatalkan rapat dengan Komisi X. Tak kalah mencengangkan, seperti pernah diungkapkan oleh Dedy Gumelar, anggota Komisi X DPR, bahwa pencairan dana tambahan proyek Hambalang itu belum mendapatkan persetujuan DPR. Lebih lanjut ia menyatakan DPR tidak mengetahui bahwa Kementerian Pemuda dan Olahraga meminta uang tambahan untuk proyek tersebut selama pembahasan anggaran 2012.

Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah Hambalang kerap enggan atau bahkan banyak yang tidak tahu apa-apa terkait dengan pembangunan kompleks olahraga Hambalang ini. Padahal keterlibatan warga sekitar sangat urgen, karena Hambalang bukan lagi sekadar desa dan akan menjadi daerah yang lebih ramai di Citeureup, Bogor, setidaknya jika pembangunan kompleks tersebut sukses.

Ketiga, kegagalan intelektual birokrat. Melihat lanskap politik Indonesia hari ini seolah-olah menjustifikasi adagium bahwa ranah intelektualisme dan politik bukanlah wilayah yang bisa disatukan, sungguhpun beririsan. Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, sebagai misal, adalah figur intelektual muda yang berperan besar mengawal jalannya reformasi negeri ini lewat karya-karya tulis mereka ataupun lembaga demokrasi setelah jatuhnya Soeharto, semisal Komisi Pemilihan Umum. Sungguh disayangkan, reputasi intelektual mereka ternyata tidak berjodoh dengan arena politik tempat mereka kini bergerak.

Agaknya kegagalan figur intelektual mentransfer diri sebagai politikus dan birokrat terkait erat dengan minimnya imunitas mereka terhadap perangkap kekuasaan. Begitu bermetamorfosis sebagai politikus dan birokrat di kursi yang empuk, mereka kehilangan daya tahan terhadap tekanan lingkungan yang korup, daya tangkal terhadap jebakan penyalahgunaan wewenang, atau daya seleksi terhadap kekuatan serta kemandirian mengambil tindakan yang visioner.

Kekuasaan yang berada di pundak mereka bukan membersihkan, tapi malah menodai kaum intelektual ini. Jauh-jauh hari, ini amat kentara di mata publik. Sebagai misal, banyak pihak mulai mengendus bau yang tidak sedap sejak Anas Urbaningrum keluar dari KPU dan meninggalkan kawan-kawannya dalam kasus korupsi di KPU.

Memang masih ada cermin bening dari para intelektual yang sukses sebagai birokrat. Azyumardi Azra dan Malik Fadjar bisa menjadi contoh. Sementara Azra berhasil mentransformasikan Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sehingga menjadi pusat kajian Islam paling bergengsi di Asia Tenggara tapi tetap produktif dalam berkarya, Malik Fadjar dikenal sebagai rektor bertangan dingin tatkala memimpin Universitas Muhammadiyah Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mereka seyogianya menjadi model bagi intelektual birokrat agar tidak terkotori oleh lahan politik yang terkenal becek, seperti tarikan mentalitas shortcut untuk memenangi kursi dan mempertahankan kekuasaan lewat korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar