Permen
Larangan BBM Bersubsidi
Bahrul Ilmi Yakup ; Advokat; Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi;
Dosen
SUMBER : KOMPAS, 13
Juni 2012
Tanggal 29 Mei 2012, Menteri ESDM
menandatangani Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2012 yang melarang
kendaraan dinas, kendaraan angkutan, penyedia tenaga listrik, serta pelaksana
perkebunan dan pertambangan di Jabodetabek dan sekitarnya untuk menggunakan BBM
bersubsidi per 1 Juni 2012. Mulai 1 Agustus 2012, larangan serupa akan mencakup
Jawa dan Bali.
Dalam perspektif (ilmu) hukum, Permen ESDM No
12/2012 (Permen 12) mengandung banyak masalah. Pertama, dari aspek waktu,
ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menandatangani Permen 12,
harga minyak dunia yang jadi rujukan ternyata sudah turun ke angka 90 dollar AS
per barrel. Dengan harga tersebut, sebetulnya tidak ada lagi subsidi harga BBM
karena harga patokan BBM di UU APBN sebesar 105 dollar AS per barrel.
Dengan penurunan harga minyak dunia tersebut
pemerintah justru ”untung” atau surplus. Dengan demikian, Permen 12 telah
kehilangan landasan faktual yang menjadi rujukan pengaturannya.
Kedua, aspek subyek yang diatur (personengebieds). Ternyata Permen 12
mengatur benda (kendaraan) yang tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi, tidak
mengatur orang/pemiliknya.
Benar bahwa kendaraan yang menggunakan BBM,
tetapi kendaraan tersebut hanya alat yang tidak mengemban hak dan kewajiban
hukum. Karena itu, menurut ilmu hukum, dalam hal ini yang harus diatur adalah
orang/pemilik kendaraan. Sebab, hanya pemilik kendaraan yang dapat dikenai
kewajiban menaati norma, berikut kewajiban menanggung sanksi jika terjadi
pelanggaran norma. Pertanyaan hukumnya: ”Kalau kendaraan tersebut tetap
menggunakan BBM bersubsidi, apakah kendaraan itu harus didenda atau dimasukkan
penjara?”
Kekeliruan pengaturan tersebut sebetulnya
sudah ditemui Menteri ESDM ketika merumuskan Pasal 6 Ayat (2), yang merumuskan
”Pelaksana kegiatan perkebunan”. Yang dimaksud rumusan frase tersebut adalah
orang, bukan benda.
Ketiga, aspek diskriminasi. Permen 12 memuat
norma diskriminatif yang membedakan perlakuan berdasarkan wilayah dan golongan
penduduk. Norma diskriminatif kontra konstitusional karena bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Memang ilmu
perundang-undangan membolehkan adanya norma diskriminatif, yaitu norma
diskriminatif positif yang bertujuan memberikan proteksi, bukan merugikan
seperti norma Permen 12.
Keempat, dari aspek penegakan. Norma Permen
12 nyaris tak dapat ditegakkan. Sebab, pertama, tidak ada kejelasan subyek yang
diatur norma. Kedua, tidak jelas lingkup kewenangan badan pengatur sebagai
organ pelaksana Permen 12 yang dimaksud Pasal 7 Ayat (1) dan (2). Ketiga, belum
tersedianya infrastruktur untuk melaksanakan Permen 12.
Sangat Ironis
Adanya cacat hukum elementer pada Permen 12
yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah sangat ironis. Sebab, sudah
seharusnya pemerintah sangat hati-hati dan matang dalam melakukan pengaturan,
apalagi pembatasan, terhadap hak-hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Di sisi lain, fakta tersebut membuktikan:
Permen 12 dibuat tanpa persiapan dan kajian yang matang dan menyeluruh
sebagaimana dikekehendaki UU No 12/2011. Dengan kata lain, Permen 12 hanya
menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan.
Permasalahan paling mendasar pada Permen 12
adalah munculnya konsep berpikir transaksional pada jajaran pemerintah.
Pemerintah selalu menghitung subsidi BBM kepada rakyat sebagai kebaikan (generousity) terhadap rakyat. Padahal,
konstitusi secara jelas menegaskan bahwa menyejahterahkan rakyat adalah
kewajiban pemerintah.
Tampak sekali pemerintah tak memahami
substansi Pembukaan dan norma Pasal 33 UUD 1945. Pemerintah tak memahami konsep
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang jadi platform ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah terjebak dalam mekanisme
berpikir ekonomi pasar bebas yang memang berupaya melepaskan tanggung jawab
pemerintah terhadap rakyat.
Di pihak lain, pemerintah pun tidak cerdas
mencermati bahwa ekonomi pasar bebas sebetulnya telah ditinggalkan Eropa yang
sedang mengembangkan konsep sosial demokrasi. Juga ditentang rakyat AS yang
telah menghujat corporate greed dalam
berbagai unjuk rasa dengan frase: ”Banks
got bailed out, we got sold out”.
Sudah saatnya dan seharusnya Indonesia
merumuskan dan mengoperasionalkan sistem ekonomi Indonesia yang dikehendaki
Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945 yang selama ini hanya sebatas ide. Sementara
praktik dan kebijakan ekonomi pemerintah berjalan sendiri tanpa arah dan
tuntunan konstitusi sebagai kesepakatan bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar