Pendidik
dan Pembohong
Saifur Rohman ; Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan
SUMBER : KOMPAS, 13
Juni 2012
Kejaksaan Agung kembali memeriksa dua
tersangka kasus korupsi pengadaan peralatan dan penunjang laboratorium
pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Kamis (7/6/2012).
Hal itu merupakan tindak lanjut dari
penetapan tersangka sejak 29 November 2011. Diduga kerugian negara mencapai Rp
5 miliar. Sebelumnya tersiar kabar Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
tersandung kasus pengadaan laboratorium senilai Rp 54 miliar. Pada saat yang
tak berjauhan, dalam pembangunan perpustakaan di Universitas Indonesia ada
dugaan korupsi pengadaan teknologi informasi dan pencairan sejumlah uang
melalui pemalsuan tanda tangan. Tindak pidana itu merugikan negara senilai Rp
21 miliar.
Sebetulnya sejumlah kasus itu merupakan wujud
program maraton yang sedang dikerjakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat
ini sekurangnya ada 18 universitas negeri di Indonesia yang berindikasi tindak
pidana korupsi dengan rata-rata kerugian skala miliaran rupiah, terutama dalam
hal pengadaan sarana-prasarana tahun anggaran 2008-2011 (Kompas, 7/6/2012).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap,
kerugian negara ditaksir sekitar Rp 68,12 miliar dan 108.810,41 dollar AS.
Hasil pemeriksaan menjelaskan minimal ada 191 temuan tindak pidana, mulai dari
rekayasa lelang atau tender, pengadaan barang yang tak sesuai spesifikasi,
hingga terlambat dalam kontrak.
Respons pemerintah diwujudkan melalui
pemanggilan para rektor untuk menerangkan duduk perkara. Sebab, menurut
pemerintah, mekanisme pemeriksaan secara kelembagaan sudah diterapkan secara
periodik.
Persoalannya, mengapa badan pengawas itu
melempem? Apakah ada indikasi korupsi bersama-sama di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan? Apa yang sesungguhnya terjadi dalam mekanisme
pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia sekarang? Pendeknya kira-kira bisa
dirumuskan begini: bagaimana seorang pendidik bisa berperan sebagai pembohong
dan pencuri di saat yang sama?
Jawaban tersebut memberikan sumbangan dalam
pengembangan etika pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya, kita akan tahu,
seorang pendidik tak hanya memiliki dimensi etis dalam transformasi ilmu
pengetahuan secara individual, tetapi juga visi etis pengembangan
institusional.
Dari Dosen ke Manajer
Adalah ironis manakala korupsi terjadi di
unit kerja universitas. Ada anggapan universitas inkubasi pemikiran-pemikiran
paling mutakhir sehingga menghasilkan nilai baru untuk mengembangkan kebudayaan
kita. Dalam teorinya, tenaga kependidikan di perguruan tinggi memiliki tugas
pokok sebagai pengajar, peneliti, dan pengabdi masyarakat. Adapun ketika tenaga
kependidikan ini menduduki jabatan struktural, tugas mereka diperkecil karena
beralih rupa menjadi bagian manajemen kerja pendidikan. Porsi tugas Tridharma
Perguruan Tinggi mengecil, porsi manajer membesar.
Sebagaimana diketahui dalam ilmu manajemen,
tugas utama manajer pendidikan adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja
dalam sistem kependidikan yang sudah terbangun. Jadi, sering kali dosen yang
terbiasa mengajar harus mengurusi pembangunan gedung, pengadaan peralatan
laboratorium, sampai yang terkecil adalah penerbitan jurnal ilmiah berkala.
Kesalahan pemikiran itu bisa ditelusuri
secara historis. Pada awalnya, perbedaan tugas dan wewenang ini ditengarai
menimbulkan masalah. Sebab, setiap pekerjaan memiliki skala prioritas yang
berbeda.
Dasar berpikirnya, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menjelaskan tentang
dasar-dasar etika profesi. Dalam menjalankan pekerjaan, setiap profesi memiliki
arete (keutamaan) yang harus dijunjung tinggi. Sebagai contoh, dosen punya
keutamaan dalam hal pengungkapan kebenaran tentang hukum-hukum ilmu
pengetahuan. Pemimpin harus memiliki keutamaan menjalankan keadilan. Pemuka
agama memiliki keutamaan pada keimanan.
Itulah mengapa Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan memunculkan spekulasi bahwa pendidik tidak tahu mekanisme lelang
atau pengadaan barang dan jasa (Kompas, 7/6/2012). Bidang ilmu pengetahuan
sangat berbeda dengan bidang hukum dan administrasi negara. Spekulasi ini
mengalami kesulitan argumentasi sebab tugas pokok yang berbeda tidak harus
meninggalkan semangat dasar yang sama dalam pembangunan nilai-nilai kebangsaan.
Maksudnya, dalam peralihan tugas itu ada ruang kosong yang menjembatani.
Dalam pemahaman filsafat pendidikan disebut
dengan kediantaraan (betweenness). Betweenness adalah ruang-ruang kosong
yang terisi oleh pola hubungan tak kasatmata antara dua modus eksistensi yang
berbeda.
Dalam pemikiran Jacques Derrida, praktik
koruptor sebagai pencuri dan dosen sebagai pendidik menghasilkan perbedaan,
tetapi juga penundaan makna. Perbedaan itu tidak hanya menghasilkan sisi hitam
dan sisi putih, tetapi juga menghasilkan ruang penundaan warna yang jelas.
Artinya, seorang pendidik beralih rupa jadi
pembohong dan pencuri karena ada pemahaman yang relevan di antara keduanya.
Pemahaman itu berwujud sikap terhadap pengelolaan aset-aset dan keuangan
negara. Ruang-ruang ”antara” tersebut menjembatani perbedaan peran sebagaimana
diasumsikan pada awal mulanya.
Berdasarkan argumentasi itu, tidak bisa
dimaklumi manakala seorang rektor, pembantu rektor, dekan, kepala laboratorium,
dan seterusnya terbukti menggelapkan uang negara. Terlebih hanya karena
pekerjaan utamanya adalah dosen. Kita memang tidak sedang berbicara tentang
transformasi ilmu pengetahuan, tetapi lebih tepatnya dimensi sikap para
pengembang ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan adalah bagian dari
perwujudan kepentingan luhur kemanusiaan, dimensi nilai-nilai kebangsaan
bukanlah bagian yang terpisahkan dari setiap aparat negara.
Kejadian ini kian membuktikan, pemerintah tak
memiliki program implementasi nilai-nilai kebangsaan yang bisa diandalkan pada
setiap aparat pendidik di Indonesia. Itulah mengapa kemajuan pendidikan
berjalan lambat, mekanisme pengawasan internal dijalankan apa adanya, dan
mekanisme pendidikan program pencerdasan dibaca sebagai proyek menggiurkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar