Kamis, 14 Juni 2012

Penyatuan Zona Waktu


Penyatuan Zona Waktu
Teguh Dartanto ; Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SUMBER :  KORAN TEMPO, 13 Juni 2012


Pemerintah melalui Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) kembali gencar melakukan sosialisasi mengenai penyatuan zona waktu di Indonesia menjadi satu waktu (GMT+8). Sosialisasi penyatuan zona waktu akan dilaksanakan pada 28 Oktober 2012 dengan semboyan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, dan Satu Waktu (Detik, 25 Mei 2012). Kita semua patut mengapresiasi langkah inovatif pemerintah melalui KP3EI untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. 

Tapi kita sebagai warga negara tidak boleh kehilangan daya kritis untuk menilai dan memahami setiap kebijakan publik pemerintah. Bagi banyak kalangan, kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah kebijakan penyatuan zona waktu merupakan kebutuhan mendasar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia? Untuk apa dan siapa kebijakan penyatuan zona waktu ini?

Marilah kita secara jernih memandang permasalahan perekonomian Indonesia berdasarkan prioritas yang harus diselesaikan. Permasalahan perekonomian yang dihadapi oleh bangsa ini bukanlah permasalahan baru, tapi merupakan persoalan klasik yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas.

Pertama, pemerintah selalu terbelenggu oleh isu usang yang tidak pernah kunjung padam, yaitu subsidi bahan bakar minyak. Minyak bukanlah emas hitam, tapi lubang hitam bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karena produksi minyak terus menurun 4 persen per tahun, sedangkan konsumsi BBM meningkat 2,3 persen per tahun (Dartanto, 2012). Penerimaan minyak setelah dikurangi subsidi BBM, listrik, dan dana bagi hasil menyisakan hasil negatif di APBN. Alokasi besar-besaran subsidi BBM mengakibatkan keterbatasan ruang fiskal pemerintah untuk alokasi sektor-sektor produktif, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Padahal sektor produktif inilah yang akan menjadi syarat dan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mengalihkan 25 persen subsidi BBM dan listrik ke sektor infrastruktur, dalam empat tahun akan terbangun jalan tol Trans-Sumatera-Bandar Lampung-Aceh.

Kedua, permasalahan konektivitas antar-sentra perekonomian, sehingga dapat menghambat pergerakan arus barang, jasa, dan manusia. Kasus antrean panjang di Pelabuhan Merak dan pelabuhan lainnya di Indonesia menjadi sebuah rutinitas yang tidak kunjung terselesaikan. Antrean panjang di jalan tol Merak sampai berhari-hari memberi tiga dampak buruk: tersendatnya pasokan logistik di wilayah Sumatera, biaya pengiriman barang menjadi lebih mahal, dan awak angkutan lebih emosional sehingga gampang terlibat anarkisme. Anarkisme yang terjadi di Pelabuhan Merak pada Minggu (27 Mei 2012) bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan, tapi pemangku kepentingan harus berempati dan juga aktif mencari solusi. Kekurangan pasokan barang dan mahalnya biaya transportasi mendorong melonjaknya harga barang kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong inflasi yang merupakan momok bagi perekonomian nasional.

Ketiga, permasalahan kemiskinan di Indonesia. Meskipun angka kemiskinan absolut menurun secara tajam dari 16,59 persen pada 2004 menjadi 12,49 persen pada 2011 (Badan Pusat Statistik, 2012), indeks ketimpangan pendapatan mengalami kenaikan dari 0,33 pada 2005 menjadi 0,37 pada 2009 (World Bank, 2010). Di sisi lain, ukuran kemiskinan subyektif (subjective poverty), dengan angka kemiskinan 43,75 persen pada 2005 (Dartanto, 2012).

Kenaikan indeks ketimpangan pendapatan menimbulkan kerentanan dan kerawanan sosial, sedangkan tingginya angka kemiskinan subyektif menandakan ketidakpuasan masyarakat terhadap kehidupannya. Kedua hal ini akan mendorong masyarakat gampang terprovokasi melakukan tindakan anarkistis. Pemerintah seharusnya segera mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Implementasi SJSN akan memberi ketenangan serta ketenteraman hidup melalui jaminan kesehatan dan hari tua bagi seluruh warga, khususnya kelompok miskin. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dengan tenang meningkatkan taraf hidup untuk keluar dari kemiskinan.

Keempat, permasalahan keamanan dan meningkatnya ketidaktoleranan terhadap perbedaan. Negara seakan-akan tidak memberikan perlindungan keamanan dan ketenteraman bagi warga negaranya. Kasus Lady Gaga; Gereja Yasmin, Bogor; Gereja Huria Kristen Batak Protestan Bekasi; dan kekerasan di antara sesama pemeluk agama menandakan lemahnya aparat pemerintah serta penegakan hukum di Indonesia. Investor asing akan semakin takut dengan meningkatnya radikalisme di Indonesia. Sebab, mereka akan berpikir, melindungi warga negaranya saja tidak mampu, apalagi melindungi warga asing yang berinvestasi di Indonesia.

Untuk Apa dan Siapa?

Keempat permasalahan tersebut merupakan biang dari segala persoalan yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah sebaiknya berfokus menyelesaikan permasalahan itu ketimbang membuat wacana baru penyatuan zona waktu di Indonesia. Penyatuan zona waktu tidak akan mampu berkontribusi terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia jika keempat permasalahan mendasar tersebut tidak diselesaikan. Penyelesaian satu masalah utama, subsidi BBM, akan menyelesaikan permasalahan lainnya. Dana subsidi BBM dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan pembiayaan universal coverage sistem jaminan sosial nasional.

Penyatuan zona waktu memang akan mendorong peningkatan transaksi di pasar keuangan, karena pasar keuangan Indonesia lebih terintegrasi dengan pasar keuangan global (Singapura). Tapi perkembangan pasar keuangan tanpa diiringi dengan perkembangan di sektor riil hanya akan menimbulkan gelembung panas dalam perekonomian dan tidak akan banyak meneteskan manfaat ekonomi bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia lebih membutuhkan konektivitas pasar barang daripada konektivitas pasar keuangan. Sebab, di pasar barang inilah sebagian rakyat, khususnya kelompok ekonomi bawah, beraktivitas mencari penghidupan. 

Pemerintah memang harus mengakomodasi kepentingan para pelaku sektor keuangan dengan penyatuan zona waktu, tapi kebijakan tersebut tidak boleh mengakibatkan guncangan sosial, budaya, dan jam biologis warga masyarakat. Kebijakan penyatuan zona waktu untuk pasar keuangan hendaknya merupakan kebijakan akomodatif yang tak menimbulkan gejolak di masyarakat.

Sayup-sayup lagu anak-anak: “Yang wajib janganlah ditinggalkan, yang sunah lakukan saja, yang mubah diperbolehkan asal jangan berlebihan” membuyarkan lamunan saya untuk memahami kebijakan publik di negeri ini. Berbagai sosialisasi telah dilakukan oleh KP3EI mengenai pentingnya penyatuan zona waktu, tapi saya pribadi masih belum bisa menangkap, mengerti, dan memahami manfaat dan urgensi kebijakan ini. Kebijakan penyatuan zona waktu bukanlah kebijakan wajib atau sunah, tapi kebijakan yang bersifat mubah. Kebijakan kreatif dan inovatif sangat diperlukan bagi negeri ini, tapi kebijakan yang berfokus pada permasalahan mendasar dan bermanfaat bagi sebagian besar rakyat Indonesia harus segera diimplementasikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar