Penyatuan
Zona Waktu
Teguh Dartanto ; Peneliti
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
SUMBER : KORAN
TEMPO, 13 Juni 2012
Pemerintah melalui Komite Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) kembali gencar melakukan
sosialisasi mengenai penyatuan zona waktu di Indonesia menjadi satu waktu
(GMT+8). Sosialisasi penyatuan zona waktu akan dilaksanakan pada 28 Oktober
2012 dengan semboyan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, dan Satu Waktu (Detik,
25 Mei 2012). Kita semua patut mengapresiasi langkah inovatif pemerintah
melalui KP3EI untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Tapi kita sebagai
warga negara tidak boleh kehilangan daya kritis untuk menilai dan memahami
setiap kebijakan publik pemerintah. Bagi banyak kalangan, kebijakan ini
menimbulkan tanda tanya besar. Apakah kebijakan penyatuan zona waktu merupakan
kebutuhan mendasar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia? Untuk apa
dan siapa kebijakan penyatuan zona waktu ini?
Marilah kita secara jernih memandang
permasalahan perekonomian Indonesia berdasarkan prioritas yang harus
diselesaikan. Permasalahan perekonomian yang dihadapi oleh bangsa ini bukanlah
permasalahan baru, tapi merupakan persoalan klasik yang tidak pernah terselesaikan
secara tuntas.
Pertama, pemerintah selalu terbelenggu oleh
isu usang yang tidak pernah kunjung padam, yaitu subsidi bahan bakar minyak.
Minyak bukanlah emas hitam, tapi lubang hitam bagi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, karena produksi minyak terus menurun 4 persen per tahun,
sedangkan konsumsi BBM meningkat 2,3 persen per tahun (Dartanto, 2012).
Penerimaan minyak setelah dikurangi subsidi BBM, listrik, dan dana bagi hasil
menyisakan hasil negatif di APBN. Alokasi besar-besaran subsidi BBM
mengakibatkan keterbatasan ruang fiskal pemerintah untuk alokasi sektor-sektor
produktif, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Padahal sektor
produktif inilah yang akan menjadi syarat dan penopang pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Dengan mengalihkan 25 persen subsidi BBM dan listrik ke sektor
infrastruktur, dalam empat tahun akan terbangun jalan tol Trans-Sumatera-Bandar
Lampung-Aceh.
Kedua, permasalahan konektivitas antar-sentra
perekonomian, sehingga dapat menghambat pergerakan arus barang, jasa, dan
manusia. Kasus antrean panjang di Pelabuhan Merak dan pelabuhan lainnya di
Indonesia menjadi sebuah rutinitas yang tidak kunjung terselesaikan. Antrean
panjang di jalan tol Merak sampai berhari-hari memberi tiga dampak buruk:
tersendatnya pasokan logistik di wilayah Sumatera, biaya pengiriman barang
menjadi lebih mahal, dan awak angkutan lebih emosional sehingga gampang
terlibat anarkisme. Anarkisme yang terjadi di Pelabuhan Merak pada Minggu (27
Mei 2012) bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan, tapi pemangku kepentingan
harus berempati dan juga aktif mencari solusi. Kekurangan pasokan barang dan
mahalnya biaya transportasi mendorong melonjaknya harga barang kebutuhan
masyarakat, sehingga mendorong inflasi yang merupakan momok bagi perekonomian
nasional.
Ketiga, permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Meskipun angka kemiskinan absolut menurun secara tajam dari 16,59 persen pada
2004 menjadi 12,49 persen pada 2011 (Badan Pusat Statistik, 2012), indeks
ketimpangan pendapatan mengalami kenaikan dari 0,33 pada 2005 menjadi 0,37 pada
2009 (World Bank, 2010). Di sisi lain, ukuran kemiskinan subyektif (subjective
poverty), dengan angka kemiskinan 43,75 persen pada 2005 (Dartanto, 2012).
Kenaikan indeks ketimpangan pendapatan
menimbulkan kerentanan dan kerawanan sosial, sedangkan tingginya angka
kemiskinan subyektif menandakan ketidakpuasan masyarakat terhadap kehidupannya.
Kedua hal ini akan mendorong masyarakat gampang terprovokasi melakukan tindakan
anarkistis. Pemerintah seharusnya segera mengimplementasikan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Implementasi SJSN akan memberi ketenangan
serta ketenteraman hidup melalui jaminan kesehatan dan hari tua bagi seluruh
warga, khususnya kelompok miskin. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dengan
tenang meningkatkan taraf hidup untuk keluar dari kemiskinan.
Keempat, permasalahan keamanan dan
meningkatnya ketidaktoleranan terhadap perbedaan. Negara seakan-akan tidak
memberikan perlindungan keamanan dan ketenteraman bagi warga negaranya. Kasus
Lady Gaga; Gereja Yasmin, Bogor; Gereja Huria Kristen Batak Protestan Bekasi;
dan kekerasan di antara sesama pemeluk agama menandakan lemahnya aparat
pemerintah serta penegakan hukum di Indonesia. Investor asing akan semakin
takut dengan meningkatnya radikalisme di Indonesia. Sebab, mereka akan berpikir,
melindungi warga negaranya saja tidak mampu, apalagi melindungi warga asing
yang berinvestasi di Indonesia.
Untuk Apa dan Siapa?
Keempat permasalahan tersebut merupakan
biang dari segala persoalan yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pemerintah sebaiknya berfokus menyelesaikan permasalahan itu ketimbang membuat
wacana baru penyatuan zona waktu di Indonesia. Penyatuan zona waktu tidak akan
mampu berkontribusi terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia jika
keempat permasalahan mendasar tersebut tidak diselesaikan. Penyelesaian satu
masalah utama, subsidi BBM, akan menyelesaikan permasalahan lainnya. Dana
subsidi BBM dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan pembiayaan universal
coverage sistem jaminan sosial nasional.
Penyatuan zona waktu memang akan mendorong
peningkatan transaksi di pasar keuangan, karena pasar keuangan Indonesia lebih
terintegrasi dengan pasar keuangan global (Singapura). Tapi perkembangan pasar
keuangan tanpa diiringi dengan perkembangan di sektor riil hanya akan
menimbulkan gelembung panas dalam perekonomian dan tidak akan banyak meneteskan
manfaat ekonomi bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat
Indonesia lebih membutuhkan konektivitas pasar barang daripada konektivitas
pasar keuangan. Sebab, di pasar barang inilah sebagian rakyat, khususnya
kelompok ekonomi bawah, beraktivitas mencari penghidupan.
Pemerintah memang
harus mengakomodasi kepentingan para pelaku sektor keuangan dengan penyatuan
zona waktu, tapi kebijakan tersebut tidak boleh mengakibatkan guncangan sosial,
budaya, dan jam biologis warga masyarakat. Kebijakan penyatuan zona waktu untuk
pasar keuangan hendaknya merupakan kebijakan akomodatif yang tak menimbulkan
gejolak di masyarakat.
Sayup-sayup lagu anak-anak: “Yang wajib janganlah ditinggalkan, yang
sunah lakukan saja, yang mubah diperbolehkan asal jangan berlebihan”
membuyarkan lamunan saya untuk memahami kebijakan publik di negeri ini.
Berbagai sosialisasi telah dilakukan oleh KP3EI mengenai pentingnya penyatuan
zona waktu, tapi saya pribadi masih belum bisa menangkap, mengerti, dan
memahami manfaat dan urgensi kebijakan ini. Kebijakan penyatuan zona waktu
bukanlah kebijakan wajib atau sunah, tapi kebijakan yang bersifat mubah.
Kebijakan kreatif dan inovatif sangat diperlukan bagi negeri ini, tapi
kebijakan yang berfokus pada permasalahan mendasar dan bermanfaat bagi sebagian
besar rakyat Indonesia harus segera diimplementasikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar