Indonesia
Surga Narkoba
Inggar Saputra ; Peneliti Institute for Sustainable Reform (Insure)
SUMBER : REPUBLIKA,
13 Juni 2012
Indonesia
tampaknya telah menjadi negeri surga bagi generasi narkotika dan obat-obatan
terlarang (narkoba). Bagaimana tidak, hampir setiap hari media massa
memberitakan kejahatan narkoba. Berbagai operasi penangkapan digelar, miliaran
uang dan barang bukti disita, serta puluhan bandarnya dijebloskan ke penjara.
Mereka dianggap bersalah karena melanggar etika, nilai kemanusiaan, dan
mempertontonkan kejahatan yang membunuh harapan generasi muda Indonesia.
Berbagai
usaha itu belum berhasil menghapus narkoba dari Indonesia. Semakin hari
peredaran narkoba semakin menjerat seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari anak
sekolah, tukang ojek, artis sampai pejabat mengonsumsi narkoba. Aturan agama
dilanggar dan konstitusi dimarginalkan demi mendapatkan kepuasaan sesaat. Saat
ini, hampir tidak ditemukan satu tempat di Indonesia yang steril dari narkoba.
Dari
segi peredaran dan lalu lintas sindikat internasional Indonesia sekarang sudah
mencapai tingkat kritis dan kronis. Serbuan narkoba bagaikan badai yang meluluhlantakkan
negeri. Pada pertengahan Mei lalu, ditemukan sabu asal Cina seberat 351 kg atau
senilai Rp 702 miliar yang disita jajaran Polda Metro Jaya. Dua pekan
berselang, giliran Badan Narkotika Nasional (BNN) menyita hampir 1,5 juta butir
ekstasi dari Cina senilai lebih dari Rp 400 miliar.
Jumlah
ini diperparah temuan dari berbagai daerah dan kalangan aktivisi peduli bahaya
narkoba. Berdasarkan hasil penelitian BNN dan Puslitkes UI pada 2011, angka
prevalensi penyalahgunaan narkoba 2,2 persen atau setara dengan 4,2 juta orang
dari total penduduk Indo nesia berusia 10-59 tahun. Angka prevalensi diprediksi
meningkat menjadi 2,8 persen (5,1 juta orang) pada 2015.
Sedangkan
menurut data Gerakan Nasional Antinarkotika (Granat), sedikitnya lima juta
orang Indonesia divonis sebagai pecandu dan dalam sehari 50 nyawa terenggut
akibat penyalahgunaan narkoba.
Data
itu merupakan jumlah narkoba yang muncul di permukaan. Dalam realitasnya,
narkoba yang lolos dari pengamatan aparat keamanan dan masyarakat diperkirakan
jauh lebih besar. Data BNN menunjukkan 49,5 ton sabu, 147 ju ta butir ekstasi,
242 ton ganja, dan hampir dua ton heroin lepas dari jerat petugas sepanjang
2011.
Semua
ini tidak terlepaskan dari sindikat narkoba internasional. Mereka beranggapan
ratusan juta penduduk Indonesia merupakan pasar empuk untuk mengeruk fulus. Tak
kurang dari satu triliun rupiah setiap hari mereka kantongi dengan tumbal 15
ribu warga Indonesia setiap tahun mati.
Repotnya,
meski kejahatan narkoba sudah mengakar dan membahayakan, Presiden SBY malah
bersikap kontraproduktif dengan memberikan grasi kepada terpidana narkotika
asal Australia, Schapelle Leigh Corby dan warga negara Jerman Peter Achim Franz
Grobmann.
Mencari Akar Persoalan
Maraknya peredaran narkoba menandakan
Indonesia mengalami kondisi darurat terhadap peredaran barang haram tersebut.
Untuk itu, keseriusan pemerintah dan berbagai kalangan sesungguhnya ditunggu
untuk menyelamatkan masa depan Indonesia. Pemerintah harus menumbuhkan
kesadaran kolektif masyarakat bahwa narkoba merupakan extraordinary crime (kejahatan
luar biasa). Sebab, selama ini ada beberapa persoal an mendasar di balik
peredaran narkoba yang belum tertuntaskan.
Pertama, lemahnya penegakan hukum. Negara
sudah mengatur hukuman atas kejahatan narkoba dalam UU No 7/1997 tentang
pengesahan konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran narkotika dan UU Narkotika,
PP No 28/2006 tentang Pengetatan Pemberian Remisi kepada Narapidana Korupsi, Terorisme,
Narkoba, dan Kejahatan Transnasional terorganisir.
Ironisnya, pelanggaran terhadap peraturan
banyak terjadi di lapangan. Penegak hukum lebih sering bersikap lembek menghadapi
keberingasan sindikat narkoba.
Masih sering ditemukan hakim memvonis ringan bandar narkoba meski undang-undang
sudah mengamanatkan memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kejahatan
narkoba.
Kedua,
minimnya pengawasan terha dap kelompok yang rentan terhadap narkoba. Seperti
diketahui, penderita dan sasaran narkoba umumnya adalah kelompok generasi muda
(remaja). Mereka dijadikan sasaran karena umumnya memiliki kelabilan emosi dan
berproses mencari jati diri.
Berdasarkan
data BNN ditemukan sedikitnya 15 ribu orang remaja setiap tahun menghembuskan
napas terakhir nya akibat penyalahgunaan narkoba dan kerugian negara mencapai
Rp50 triliun per tahun.
Ketiga,
belum mengakarnya pendidikan karakter dalam kepribadian anak bangsa. Tidak
dapat dimungkiri, makin tingginya narkoba salah satunya disebabkan kurangnya
pendidikan ka rakter dari keluarga dan lingkungan.
Melihat
kondisi tersebut, sudah waktunya seluruh komponen bangsa berjuang tanpa kenal
lelah mencegah dan memberantas narkoba dari bumi Indonesia. Presiden SBY
seharusnya menyudahi retorika dan kebijakan kontraproduktif.
Sebagai
pemimpin bangsa, Presiden SBY harus mau turun langsung ke lapangan mengawasi,
mengampanyekan, memfasilitasi, dan turun tangan langsung memimpin gerakan
nasional melawan narkoba.
Sejak
sekarang pemerintah diminta mengeluarkan peraturan tegas mencegah perkembangan
narkoba dengan hukuman maksimal. Pemerintah juga harus bersinergi dengan
kalangan swasta, masyarakat umum, LSM peduli bahaya narkoba, dan struktur
pemerintahan sampai level RT/RW. Adanya kesadaran kolektif dan kerja sama
diharapkan mempersempit ruang gerak pengedar dan bandar narkoba.
Terakhir,
dibutuhkan pendekatan pendidikan dan keluarga berbentuk keteladanan dan
pengawasan intensif orang tua kepada anak sebagai tahapan awal mencegah
peredaran narkoba. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar