Benarkah
PTUN Benteng Koruptor?
Tri Cahya Indra Permana ; Hakim dan
Pejabat Hubungan Masyarakat
Pengadilan
Tata Usaha Negara Surabaya
SUMBER : KORAN
TEMPO, 13 Juni 2012
Sebagai seorang hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara, cukup mengusik hati kiranya apa yang disampaikan oleh Wakil Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Profesor Denny Indrayana, yang telah dimuat oleh
beberapa media beberapa hari lalu dengan mengutip dari akun Twitter @dennyindrayana,
bahwa beliau khawatir (tafsiran penulis) PTUN akan menjadi benteng perlindungan
para koruptor.
Mengapa kekhawatiran itu muncul, tentu kita
harus menyelami penyebab munculnya kekhawatiran Wakil Menteri Hukum dan HAM
tersebut, antara lain, beberapa putusan PTUN yang terkait dengan kasus para
koruptor. Kita masih ingat kasus kebijakan pengetatan remisi bagi para koruptor
yang dinyatakan batal oleh PTUN Jakarta, dan diterbitkannya penetapan
penundaan/ penangguhan oleh hakim PTUN Jakarta tentang pelaksanaan Keputusan
Presiden tentang Pengangkatan Gubernur Bengkulu selama pemeriksaan sampai
perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap yang digugat oleh Agusrin
Najamuddin melalui kuasa hukumnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra.
Masyarakat sudah mengetahui beberapa
perbedaan pendapat antara Profesor Denny Indrayana dan Profesor Yusril Ihza
Mahendra dalam beberapa kasus yang pada akhirnya berujung di pengadilan itu.
Maka wajar jika saya juga bertanya apakah komentar Wakil Menteri Hukum dan HAM
tersebut merupakan bagian dari perseteruan di antara keduanya. Namun, sambil
menjawab pertanyaan benarkah PTUN benteng koruptor, perlu saya luruskan,
khususnya hal yang terkait dengan produk hukum yang diterbitkan oleh PTUN
Jakarta soal Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Gubernur Bengkulu.
Beberapa media menyebutnya putusan sela, bahkan putusan, tapi sesungguhnya
produk hukum yang diterbitkan adalah penetapan sesuai dengan buku II Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, yang
diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada 2009.
Saya tidak mengetahui secara pasti di mana
letak silang informasinya, sehingga penetapan disebut putusan sela, bahkan
putusan, apakah dari narasumbernya, yaitu Profesor Yusril Ihza Mahendra,
ataukah dari wartawan yang mencampuradukkan antara penetapan dan putusan sela,
bahkan putusan.
Mengapa perlu saya luruskan, karena
setidaknya ada dua hal prinsip yang membedakan penetapan (termasuk penetapan
penundaan pelaksanaan surat keputusan) dengan putusan (termasuk putusan sela).
Pertama, dalam penetapan, hakim belum mempertimbangkan ihwal pokok sengketa,
sehingga belum ada yang ditetapkan menang atau kalah. Khusus mengenai penetapan
penundaan pelaksanaan SK, jika dikeluarkan oleh PTUN, semata-mata karena telah
ada kepentingan penggugat yang sangat mendesak, yang mengakibatkan kepentingan
penggugat sangat dirugikan dan sulit dipulihkan jika keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
Sementara itu, di sisi lain, tidak ada
kepentingan umum dalam rangka pembangunan yang mengharuskan dilaksanakannya
keputusan tersebut sesuai dengan Pasal 67 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986. Di sinilah terbuka ruang diskresi bagi hakim yang sangat mungkin
diselewengkan jika tidak digunakan secara jujur dan bijaksana. Karena itu, saya
persilakan publik melakukan eksaminasi terhadap penetapan penundaan tersebut
dengan menggunakan kriteria sebagaimana disebutkan di atas.
Namun, secara umum, menurut saya, jika dalam
suatu kasus ada kepentingan penggugat yang sangat mendesak, tapi di sisi lain
juga ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan, kepentingan umum dalam
rangka pembangunanlah yang harus diutamakan.
Karena penetapan penundaan pelaksanaan SK
belum mempertimbangkan soal pokok sengketa, tidak tepat kiranya jika Profesor
Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa penggugat mengatakan kepada Presiden bahwa
SK telah ditunda pelaksanaannya oleh PTUN lantaran bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Pertimbangan hakim yang menyatakan SK bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik hanya ada pada pertimbangan terhadap
pokok sengketa dalam putusan akhir, bukan dalam penetapan penundaan pelaksanaan
SK.
Kedua, berbeda dengan putusan (termasuk
putusan sela) yang tidak dapat dicabut kembali, penetapan penundaan dapat
dicabut kembali jika ternyata, setelah diperiksa pokok sengketanya, hakim
justru menilai penerbitan SK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dan telah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sesuai dengan asas praesumptio iustae causa, maka SK yang sudah sesuai
dengan hukum yang berlaku tidak dapat dihambat pelaksanaannya. Benar dan
wajiblah hukumnya bagi Presiden mematuhi penetapan pengadilan, karena mematuhi
perintah pengadilan sama dengan mematuhi hukum selama penetapan penundaan
tersebut belum dicabut oleh hakim.
Pelurusan ini perlu saya sampaikan agar
pelaksanaan hukum dilakukan secara proporsional sesuai dengan konsekuensi hukum
dari produk hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan. Jangan sampai penetapan
penundaan pelaksanaan SK disampaikan sebagai putusan. Terkait dengan
kekhawatiran Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut, karena penetapan penundaan
belum memutuskan siapa yang menang atau kalah, tampaknya kita masih harus
menunggu apa yang akan diputuskan oleh hakim PTUN Jakarta terhadap pokok
sengketanya. Yang jelas, PTUN hanya berwenang menguji secara kewenangan,
substansi, dan prosedur terbitnya SK, dan PTUN tidak akan mempertimbangkan
substansi tindak pidana korupsi Agusrin Najamuddin yang sudah diputuskan oleh
Mahkamah Agung. Meskipun saat ini sedang diajukan permohonan peninjauan
kembali, pengajuan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi.
Masyarakat, Komisi Yudisial, perguruan
tinggi, para praktisi hukum, serta lembaga swadaya masyarakat, termasuk
Mahkamah Agung, akan melakukan pemantauan dan eksaminasi publik terhadap
putusan PTUN Jakarta beserta ratio legis-nya kelak. Bahkan, jika perlu,
Komisi Pemberantasan Korupsi harus turun tangan memantau dan menyadap semua
pihak yang terkait dengan perkara tersebut jika dicurigai adanya mafia hukum
demi terciptanya PTUN yang bersih dan bermartabat.
Satu hal yang sudah sangat pasti adalah bahwa
putusan PTUN kelak tidak boleh mengandung disparitas putusan dengan putusan MA
atas perkara pidana Agusrin Najamuddin. Atas dasar hal tersebut, saat ini saya
kira tidak tepat jika dengan hanya mendasarkan pada penetapan penundaan
pelaksanaan SK, PTUN sudah disebut sebagai benteng pertahanan para koruptor,
terlebih satu atau beberapa hakim PTUN Jakarta tidak dapat merepresentasikan
lembaga PTUN secara keseluruhan. Saya juga meminta kepada yang terhormat
Profesor Denny Indrayana, yang saat ini sudah menjadi pejabat publik (bukan
lagi aktivis Pukat), agar lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan. Terlebih
di dunia maya, karena sudah terlalu
banyak orang yang bermasalah dengan hukum akibat pernyataannya di dunia maya, yang
belum ada dasar hukumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar