Kamis, 14 Juni 2012

Benarkah PTUN Benteng Koruptor?


Benarkah PTUN Benteng Koruptor?
Tri Cahya Indra Permana ; Hakim dan Pejabat Hubungan Masyarakat
Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya
SUMBER :  KORAN TEMPO, 13 Juni 2012


Sebagai seorang hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, cukup mengusik hati kiranya apa yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Profesor Denny Indrayana, yang telah dimuat oleh beberapa media beberapa hari lalu dengan mengutip dari akun Twitter @dennyindrayana, bahwa beliau khawatir (tafsiran penulis) PTUN akan menjadi benteng perlindungan para koruptor.

Mengapa kekhawatiran itu muncul, tentu kita harus menyelami penyebab munculnya kekhawatiran Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut, antara lain, beberapa putusan PTUN yang terkait dengan kasus para koruptor. Kita masih ingat kasus kebijakan pengetatan remisi bagi para koruptor yang dinyatakan batal oleh PTUN Jakarta, dan diterbitkannya penetapan penundaan/ penangguhan oleh hakim PTUN Jakarta tentang pelaksanaan Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Gubernur Bengkulu selama pemeriksaan sampai perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap yang digugat oleh Agusrin Najamuddin melalui kuasa hukumnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra.

Masyarakat sudah mengetahui beberapa perbedaan pendapat antara Profesor Denny Indrayana dan Profesor Yusril Ihza Mahendra dalam beberapa kasus yang pada akhirnya berujung di pengadilan itu. Maka wajar jika saya juga bertanya apakah komentar Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut merupakan bagian dari perseteruan di antara keduanya. Namun, sambil menjawab pertanyaan benarkah PTUN benteng koruptor, perlu saya luruskan, khususnya hal yang terkait dengan produk hukum yang diterbitkan oleh PTUN Jakarta soal Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Gubernur Bengkulu. Beberapa media menyebutnya putusan sela, bahkan putusan, tapi sesungguhnya produk hukum yang diterbitkan adalah penetapan sesuai dengan buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada 2009.

Saya tidak mengetahui secara pasti di mana letak silang informasinya, sehingga penetapan disebut putusan sela, bahkan putusan, apakah dari narasumbernya, yaitu Profesor Yusril Ihza Mahendra, ataukah dari wartawan yang mencampuradukkan antara penetapan dan putusan sela, bahkan putusan.

Mengapa perlu saya luruskan, karena setidaknya ada dua hal prinsip yang membedakan penetapan (termasuk penetapan penundaan pelaksanaan surat keputusan) dengan putusan (termasuk putusan sela). Pertama, dalam penetapan, hakim belum mempertimbangkan ihwal pokok sengketa, sehingga belum ada yang ditetapkan menang atau kalah. Khusus mengenai penetapan penundaan pelaksanaan SK, jika dikeluarkan oleh PTUN, semata-mata karena telah ada kepentingan penggugat yang sangat mendesak, yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan dan sulit dipulihkan jika keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.

Sementara itu, di sisi lain, tidak ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan yang mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut sesuai dengan Pasal 67 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Di sinilah terbuka ruang diskresi bagi hakim yang sangat mungkin diselewengkan jika tidak digunakan secara jujur dan bijaksana. Karena itu, saya persilakan publik melakukan eksaminasi terhadap penetapan penundaan tersebut dengan menggunakan kriteria sebagaimana disebutkan di atas.

Namun, secara umum, menurut saya, jika dalam suatu kasus ada kepentingan penggugat yang sangat mendesak, tapi di sisi lain juga ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan, kepentingan umum dalam rangka pembangunanlah yang harus diutamakan.

Karena penetapan penundaan pelaksanaan SK belum mempertimbangkan soal pokok sengketa, tidak tepat kiranya jika Profesor Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa penggugat mengatakan kepada Presiden bahwa SK telah ditunda pelaksanaannya oleh PTUN lantaran bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pertimbangan hakim yang menyatakan SK bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik hanya ada pada pertimbangan terhadap pokok sengketa dalam putusan akhir, bukan dalam penetapan penundaan pelaksanaan SK.

Kedua, berbeda dengan putusan (termasuk putusan sela) yang tidak dapat dicabut kembali, penetapan penundaan dapat dicabut kembali jika ternyata, setelah diperiksa pokok sengketanya, hakim justru menilai penerbitan SK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan telah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sesuai dengan asas praesumptio iustae causa, maka SK yang sudah sesuai dengan hukum yang berlaku tidak dapat dihambat pelaksanaannya. Benar dan wajiblah hukumnya bagi Presiden mematuhi penetapan pengadilan, karena mematuhi perintah pengadilan sama dengan mematuhi hukum selama penetapan penundaan tersebut belum dicabut oleh hakim.

Pelurusan ini perlu saya sampaikan agar pelaksanaan hukum dilakukan secara proporsional sesuai dengan konsekuensi hukum dari produk hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan. Jangan sampai penetapan penundaan pelaksanaan SK disampaikan sebagai putusan. Terkait dengan kekhawatiran Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut, karena penetapan penundaan belum memutuskan siapa yang menang atau kalah, tampaknya kita masih harus menunggu apa yang akan diputuskan oleh hakim PTUN Jakarta terhadap pokok sengketanya. Yang jelas, PTUN hanya berwenang menguji secara kewenangan, substansi, dan prosedur terbitnya SK, dan PTUN tidak akan mempertimbangkan substansi tindak pidana korupsi Agusrin Najamuddin yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Meskipun saat ini sedang diajukan permohonan peninjauan kembali, pengajuan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi.

Masyarakat, Komisi Yudisial, perguruan tinggi, para praktisi hukum, serta lembaga swadaya masyarakat, termasuk Mahkamah Agung, akan melakukan pemantauan dan eksaminasi publik terhadap putusan PTUN Jakarta beserta ratio legis-nya kelak. Bahkan, jika perlu, Komisi Pemberantasan Korupsi harus turun tangan memantau dan menyadap semua pihak yang terkait dengan perkara tersebut jika dicurigai adanya mafia hukum demi terciptanya PTUN yang bersih dan bermartabat.

Satu hal yang sudah sangat pasti adalah bahwa putusan PTUN kelak tidak boleh mengandung disparitas putusan dengan putusan MA atas perkara pidana Agusrin Najamuddin. Atas dasar hal tersebut, saat ini saya kira tidak tepat jika dengan hanya mendasarkan pada penetapan penundaan pelaksanaan SK, PTUN sudah disebut sebagai benteng pertahanan para koruptor, terlebih satu atau beberapa hakim PTUN Jakarta tidak dapat merepresentasikan lembaga PTUN secara keseluruhan. Saya juga meminta kepada yang terhormat Profesor Denny Indrayana, yang saat ini sudah menjadi pejabat publik (bukan lagi aktivis Pukat), agar lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan. Terlebih di dunia maya, karena sudah terlalu banyak orang yang bermasalah dengan hukum akibat pernyataannya di dunia maya, yang belum ada dasar hukumnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar