Rabu, 13 Juni 2012

Bung Karno dalam Ingatan


Bung Karno dalam Ingatan
Puti Guntur Soekarno ; Anggota DPR
SUMBER :  KOMPAS, 13 Juni 2012


Perlu rasanya sekali waktu kita melakukan perjalanan menyusuri wilayah ujung paling barat Indonesia di Pulau Weh sampai ujung paling timur Papua di Merauke. Kita dapat bercakap-cakap dengan penduduk di sana tentang siapa pemimpin Indonesia yang pernah ada dan dekat di hati mereka. Dan, betapa nama Soekarno masih sering kita dengar dari mulut mereka.

Tak dapat disangkal, hingga kini ia terus hidup dalam benak dan imajinasi kebanyakan orang, dari ujung barat sampai ujung timur wilayah Indonesia. Sebuah rentang waktu membentang sejak ia meninggal pada 21 Juni 1970—15 hari dari ulang tahun ke-69 (lahir 6 Juni 1901)—hingga saat ini.

Dalam peringatan bulan Bung Karno—begitu panggilan populernya di bangsa ini—saat ini, saya kira inilah momen yang tepat untuk memberi makna baru dalam mengenang sosok pemimpin besar itu. Kita mengenang sosoknya bukan dengan perasaan romantis bahwa kita tak pernah lagi punya pemimpin yang mampu membawa imajinasi dan harapan jutaan rakyatnya tentang sebuah kehidupan baru yang mereka inginkan; sebuah masyarakat yang adil dan makmur, yang telah menjadi mandat konstitusi Republik Indonesia.

Kedekatan Emosional

Saya ingin mengenang kembali Bung Karno dalam kaitannya dengan kehidupan politik Indonesia kontemporer. Mengenangnya dalam kegelisahan umum di Indonesia saat ini, tentang kelangkaan sosok pemimpin yang dapat menyuarakan hati dan perasaan jutaan rakyat Indonesia.

Tak dapat disangkal, dalam psikologi politik populer di Indonesia—sekali lagi saya ingin menegaskan: saya tengah berbicara tentang pikiran dan perasaan orang banyak, bukan terbatas kalangan elite negeri ini—nama Soekarno senantiasa muncul ketika orang berbicara tentang harapan dan imajinasi mereka tentang sosok pemimpin yang selayaknya membawa negeri ini menuju kemakmuran dan sekaligus penuh rasa percaya diri di panggung dunia.

Namun, lebih dari sekadar harapan itu, persoalan penting terkait sosok Bung Karno adalah perasaan kedekatan emosional antara seorang pemimpin, yang telah tiada, dengan jutaan orang Indonesia di berbagai tempat. Di sinilah sesungguhnya persoalan penting yang perlu kita bahas.

Soekarno adalah seorang pemimpin yang mampu membuat setiap orang merasa memiliki kedekatan emosional dengan sosoknya, seberapa miskin ataupun terbelakang wilayah tempat mereka tinggal. Bahkan, sifat kedekatan emosional itu melebihi tempat kelahirannya. Di Maroko bahkan ada sebuah jalan yang menggunakan nama Soekarno. Ini sebagai penghargaan atas jasa dan perannya dalam membawa rakyat Dunia Ketiga menentukan arah dan orientasi politik mereka di era Perang Dingin.

Kemacetan Sistem

Pertanyaannya kemudian: mengapa sekarang kita di Indonesia kesulitan mendapatkan sosok pemimpin yang mampu menggelorakan pikiran dan perasaan banyak orang tentang negeri yang mereka cintai? Mengapa setelah 40 tahun berselang, Soekarno tetap jadi sosok pemimpin alternatif yang seruannya tetap menggetarkan hati kebanyakan orang Indonesia?

Keprihatinan terhadap kondisi politik Indonesia mutakhir membawa kita pada kesimpulan: kita tengah berada dalam situasi kemacetan besar dalam dunia politik. Sistem ini telah gagal menciptakan sosok pemimpin yang menumbuhkan semangat dan harapan bagi rakyat. Dalam kegagalan ini, tidak mengherankan kerinduan terhadap sosok Soekarno senantiasa muncul ketika orang berpikir dan berbicara tentang sosok pemimpin yang ideal bagi Indonesia sekarang dan pada masa depan.

Sumber kegagalan ini adalah sistem politik yang kita warisi sejak Orde Baru. Lembaga-lembaga politik yang ada di Indonesia—partai politik, parlemen, dan lembaga pemerintahan—kesulitan menampilkan seorang pemimpin yang dapat mewakili harapan banyak orang.

Soeharto sebagai penguasa ketika itu sudah barang tentu tak menginginkan tampilnya sosok tandingan yang dapat membahayakan kedudukan politiknya. Ia mengunci semua lembaga politik yang ada untuk mengerdilkan potensi setiap orang menjadi seorang pemimpin besar.

Sayangnya, situasi ini terus berlanjut dalam era reformasi sekarang. Meski media massa telah memberi ruang yang lebih besar bagi seseorang untuk dikenal dan berkomunikasi dengan orang banyak, sumbatan yang menghalangi kelahiran seorang pemimpin ideal tetap menghantui kehidupan politik Indonesia.

Memang dunia iklan dan industri media massa mampu menciptakan citra tentang seseorang. Para politisi memiliki kesempatan berbicara di berbagai media, memoles dirinya untuk lebih dikenal, dan berharap menarik perhatian publik. Namun, citra diri positif saja belum cukup. Masih ada jarak antara popularitas dan harapan banyak orang yang tinggal di berbagai pelosok Indonesia tentang keadilan dan kesejahteraan (bukan kekayaan) dalam kehidupan mereka.

Dalam era reformasi, sumber kemacetan kelahiran seorang pemimpin terus bertahan dan cukup benderang. Semua terletak pada bagaimana parpol gagal membangun kader-kader pemimpin yang mewakili citra ideal tentang kepemimpinan dalam benak rakyat Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat modern yang demokratis, parpol menjadi satu-satunya instrumen, jalur kelahiran seorang pemimpin dengan karakter dan visi yang kuat. Partai dan dinamika di dalamnya merupakan kawah candradimuka yang mempersiapkan seorang pemimpin tangguh.

Sejauh ini, kita hanya mendapatkan pemimpin yang populer, belum seorang pemimpin yang menyebabkan beragam orang rela menyerahkan jiwa mereka untuk satu tujuan mulia yang menjadi seruan penuh semangat seorang pemimpin.

Harapan

Di sinilah akhirnya kita memahami rasa rindu yang hadir setiap kita berbicara tentang Soekarno. Namun, di balik itu semua, ketika kita sedang mengenang Soekarno dan membicarakan kiprahnya sebagai pemimpin, jauh di lubuk hati kita sesungguhnya kita tengah berbicara mengapa kita tidak lagi memiliki sosok pemimpin seperti dirinya.

Soekarno memang sosok yang istimewa, tetapi keistimewaan itu bukan berasal dari dan atau berkat kekuatan adikodrati. Semua itu lebih karena keberhasilannya membangun kepercayaan rakyat, sekaligus menempatkan diri—termasuk cita-cita politiknya—menjadi bagian dari cita-cita dan harapan semua orang.

Dengan menyadari kelemahan yang ada dalam sistem politik, khususnya dalam lembaga-lembaga partai politik di Indonesia, mudah-mudahan di masa depan akan lahir pemimpin-pemimpin yang tangguh dengan karakter dan visi yang kuat dalam membawa harapan banyak orang untuk keadilan dan kemakmuran sebagai mimpi bersama kita. Dan, dalam kehidupan masyarakat modern yang demokratis di Indonesia sekarang, tugas itu ada pada lembaga partai politik dalam membangun para pemimpin masa depan Indonesia yang mampu membangun komunikasi langsung dengan jutaan rakyat dan menjadi ”penyambung lidah rakyat” dengan segala keterbatasannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar