Kamis, 14 Juni 2012

Dampak Eurogeddon

Dampak Eurogeddon
Sri Adiningsih ; Ekonom UGM
SUMBER :  SUARA KARYA, 13 Juni 2012


Krisis ekonomi di negara-negara Eropa yang berlangsung sejak 2010 hingga kini belum berlalu. Bahkan penyelesaiannya makin tidak jelas meski Yunani, Portugal, dan Irlandia sudah di-bailout. Menurut Survey Magazine (IMF), pada 30 Mei 2012, lima tahun setelah krisis finansial global, ekonomi dunia masih distress dan penuh ketidakpastian. Fitch juga memperkirakan buruknya kondisi Eropa yang menyandera ekonomi dunia masih akan berlanjut.

Saat ini makin banyak yang mengkhawatirkan bubarnya Euro, Eurogeddon. Bahkan beberapa lembaga mulai menyiapkan berbagai skenarionya. ACT dan Deloitte, misalnya, sudah menyiapkan contingency plan jika Eurogeddon terjadi. Berbagai lembaga keuangan lainnya juga mulai menyiapkan contingency plan jika hal terburuk terjadi.

Ketidakpastian masa depan Eropa telah menimbulkan volatilitas pasar keuangan. Rontoknya saham di Asia Pasifik didorong oleh penyelesaian krisis Eropa yang masih menggantung, serta tanda-tanda melemahnya aktivitas industri China, turunnya pertumbuhan ekonomi India, dan meningkatnya angka pengangguran di AS.

Selain itu, order ekspor yang mulai menurun serta fenomena flight to safety (investor makin berhati-hati) diyakini akan kian melemahkan pertumbuhan ekonomi. Semua berita negatif itu membuat pelaku pasar nervous sehingga membuat indeks berjatuhan. Tampaknya volatilitas pasar ataupun ekonomi belum akan segera berlalu. Kita harus siap-siap menghadapi kondisi pasar dan ekonomi yang tidak pasti.

Kinerja pasar modal Indonesia bahkan sempat menjadi salah satu yang terburuk di Asia Pasifik. Volatilitas rupiah akibat besarnya permintaan dolar menyebabkan investor asing mulai mencatatkan penjualan bersih. Awal Juni, misalnya, net sell mereka Rp 231,4 miliar di pasar reguler. Dengan demikian, meski cadangan devisa 116 miliar pada April 2012, namun karena besarnya dana jangka pendek membuat volatilitas rupiah juga besar.

Ketidakpastian ekonomi global saat ini, menurut IMF, akan lebih berat bagi emerging economy dan negara miskin dibandingkan dengan 2008. Banyak negara sudah menghabiskan banyak sumber dayanya untuk mengatasi krisis finansial global 2008, misalnya China. Akibatnya, sekarang mereka kurang memiliki amunisi untuk mengantisipasi ancaman krisis yang terjadi.

Indonesia pun tidak memiliki amunisi yang cukup untuk menghadapi ancaman krisis Eropa yang ternyata berlarut-larut. Meski saat ini inflasi masih terjaga 4,45 persen, namun dengan berbagai kebijakan pembatasan subsidi BBM, akan meningkatkan inflasi. Demikian pula ketidakmampuan Indonesia menyediakan amunisi untuk menghadapi krisis Eropa karena besarnya beban subsidi energi yang bisa mencapai Rp 300 triliun, membuat kemampuan Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi makro lewat pemberian stimulus fiskal makin terbatas.

Padahal, neraca perdagangan barang yang biasanya surplus juga sudah mulai defisit, sementara Indonesia dianggap makin proteksionis. Karena itu, volatilitas pasar, melemahnya ekspor dan rupiah, persepsi negatif, serta keterbatasan stimulus fiskal membuat Indonesia tidak akan dapat menghadapi ancaman pemburukan ekonomi secara lebih baik saat ini.

Standby loan dari Bank Dunia sebesar 2 miliar dolar AS, ataupun Chiang Mai Initiative, meski dapat memperkuat cadangan devisa, namun tidak akan mampu menjaga stabilitas pasar keuangan kita. Untuk itu, otoritas ekonomi mesti menggunakan dana yang terbatas dengan prioritas lebih tinggi, serta mencari solusi yang lebih cerdas dan antisipatif dengan cepat agar dampak krisis Eropa dapat diminimalisasi di Indonesia. Dengan demikian, stabilitas makroekonomi terjaga dan pertumbuhan ekonomi tidak turun tajam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar