Dampak
Eurogeddon
Sri Adiningsih ; Ekonom UGM
SUMBER : SUARA
KARYA, 13 Juni 2012
Krisis ekonomi di negara-negara Eropa yang berlangsung sejak 2010
hingga kini belum berlalu. Bahkan penyelesaiannya makin tidak jelas meski
Yunani, Portugal, dan Irlandia sudah di-bailout. Menurut Survey Magazine (IMF),
pada 30 Mei 2012, lima tahun setelah krisis finansial global, ekonomi dunia
masih distress dan penuh
ketidakpastian. Fitch juga memperkirakan buruknya kondisi Eropa yang menyandera
ekonomi dunia masih akan berlanjut.
Saat ini makin banyak yang mengkhawatirkan bubarnya Euro, Eurogeddon. Bahkan beberapa lembaga
mulai menyiapkan berbagai skenarionya. ACT dan Deloitte, misalnya, sudah
menyiapkan contingency plan jika Eurogeddon terjadi. Berbagai lembaga
keuangan lainnya juga mulai menyiapkan contingency
plan jika hal terburuk terjadi.
Ketidakpastian masa depan Eropa telah menimbulkan volatilitas
pasar keuangan. Rontoknya saham di Asia Pasifik didorong oleh penyelesaian
krisis Eropa yang masih menggantung, serta tanda-tanda melemahnya aktivitas
industri China, turunnya pertumbuhan ekonomi India, dan meningkatnya angka
pengangguran di AS.
Selain itu, order ekspor yang mulai menurun serta fenomena flight to safety (investor makin
berhati-hati) diyakini akan kian melemahkan pertumbuhan ekonomi. Semua berita
negatif itu membuat pelaku pasar nervous sehingga
membuat indeks berjatuhan. Tampaknya volatilitas pasar ataupun ekonomi belum
akan segera berlalu. Kita harus siap-siap menghadapi kondisi pasar dan ekonomi
yang tidak pasti.
Kinerja pasar modal Indonesia bahkan sempat menjadi salah satu
yang terburuk di Asia Pasifik. Volatilitas rupiah akibat besarnya permintaan
dolar menyebabkan investor asing mulai mencatatkan penjualan bersih. Awal Juni,
misalnya, net sell mereka Rp 231,4 miliar di pasar reguler. Dengan demikian,
meski cadangan devisa 116 miliar pada April 2012, namun karena besarnya dana jangka
pendek membuat volatilitas rupiah juga besar.
Ketidakpastian ekonomi global saat ini, menurut IMF, akan lebih
berat bagi emerging economy dan
negara miskin dibandingkan dengan 2008. Banyak negara sudah menghabiskan banyak
sumber dayanya untuk mengatasi krisis finansial global 2008, misalnya China.
Akibatnya, sekarang mereka kurang memiliki amunisi untuk mengantisipasi ancaman
krisis yang terjadi.
Indonesia pun tidak memiliki amunisi yang cukup untuk menghadapi
ancaman krisis Eropa yang ternyata berlarut-larut. Meski saat ini inflasi masih
terjaga 4,45 persen, namun dengan berbagai kebijakan pembatasan subsidi BBM,
akan meningkatkan inflasi. Demikian pula ketidakmampuan Indonesia menyediakan
amunisi untuk menghadapi krisis Eropa karena besarnya beban subsidi energi yang
bisa mencapai Rp 300 triliun, membuat kemampuan Indonesia untuk menjaga
stabilitas ekonomi makro lewat pemberian stimulus fiskal makin terbatas.
Padahal, neraca perdagangan barang yang biasanya surplus juga
sudah mulai defisit, sementara Indonesia dianggap makin proteksionis. Karena
itu, volatilitas pasar, melemahnya ekspor dan rupiah, persepsi negatif, serta
keterbatasan stimulus fiskal membuat Indonesia tidak akan dapat menghadapi
ancaman pemburukan ekonomi secara lebih baik saat ini.
Standby loan dari Bank Dunia sebesar
2 miliar dolar AS, ataupun Chiang Mai
Initiative, meski dapat memperkuat cadangan devisa, namun tidak akan mampu
menjaga stabilitas pasar keuangan kita. Untuk itu, otoritas ekonomi mesti
menggunakan dana yang terbatas dengan prioritas lebih tinggi, serta mencari
solusi yang lebih cerdas dan antisipatif dengan cepat agar dampak krisis Eropa
dapat diminimalisasi di Indonesia. Dengan demikian, stabilitas makroekonomi
terjaga dan pertumbuhan ekonomi tidak turun tajam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar