Jumat, 15 Juni 2012

Pembiasaan Penyatuan Zona Waktu


Pembiasaan Penyatuan Zona Waktu
Ahmad Izzuddin ; Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia,
Dosen IAIN Walisongo Semarang
Sumber :  SUARA MERDEKA, 14 Juni 2012


"Penyatuan zona waktu bisa mendatangkan masalah bila pemerintah menyamakan jam kerja, termasuk jam masuk sekolah"

Penerapan penyatuan zona waktu Indonesia (Waktu Kesatuan Indonesia/ WKI) yang rencananya melalui perpres per 28 Oktober mendatang (SM, 28/05/12) masih menuai pro dan kontra. Mantan wapres Jusuf Kalla (JK) menyatakan tak setuju karena tidak melihat dasar yang kuat. Dia merasa kasihan seandainya zona waktu disatukan, mengikuti Waktu Indonesia Tengah (Wita), anak-anak sekolah di Indonesia Barat dan Timur bakal menjadi ‘’korban’’.

Apa plus dan minus pemberlakuan WKI: lebih memberikan maslahat atau justru mudarat? Pembagian zona waktu di negara kita beberapa kali mengalami perubahan. Pada masa penjajahan, tahun 1932 wilayah Indonesia terbagi dalam 6 zona waktu. Tahun 1947 pemerintah membaginya dalam 3 zona tapi tahun 1950 mengembalikan menjadi 6, dengan membagi Sumatera dalam dua zona. Tahun 1963 kembali meringkasnya menjadi 3, dengan memasukkan Kalimantan secara utuh dalam zona Waktu Indonesia Tengah (Wita).

Pembagian zona waktu yang saat ini berlaku mendasarkan pada Keppres 41 Tahun 1987 yang berlaku per 1 Januari 1988. Perubahan yang terakhir itu mengubah zona waktu di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah menjadi Waktu Indonesia Barat (WIB), dan Bali menjadi Waktu Indonesia Tengah (Wita).

Pemilihan zona waktu harus berdasarkan banyak pertimbangan karena berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Terkait dampak sosial politik misalnya, ada negara menyatukan/ menyederhanakan zona waktu untuk mempermudah koordinasi, seperti China (menyatukan 4 zona), India dan Malaysia (menyatukan 1,5 zona), dan Rusia (menyederhanakan dari 11 jadi 9 zona waktu).

Adapun dampak ekonomis terkait penghematan energi dan efisiensi jam kerja misalnya, Amerika Serikat mempertahankan 4 zona waktu agar daylight saving time lebih efektif. Termasuk mempertimbangkan dampak psikologis dan biologis masyarakat, misalnya terkait aktivitas kerja yang dimulai sesudah matahari terbit dan lunch time (plus shalat zuhur bagi muslim) pada tengah hari.

Satu Zona Waktu


Berkaca pada pengalaman sebelumnya, perubahan zona waktu di Indonesia tidak mendatangkan masalah. Untuk shalat, umat Islam tinggal menyesuaikan walaupun terasa janggal. Seandainya nanti kita benar-benar menggunakan acuan Wita maka pada 21 April 2013 saudara kita di Banda Aceh shalat subuh pukul 06.12, zuhur 13.39, asar 16.52, magrib 19.48, dan isya pukul 20.58. Adapun umat Islam di Merauke shalat subuh pukul 03.24, zuhur 10.39, asar 14.00, magrib 16.36, dan isya pukul 17.46.

Penyatuan zona waktu Indonesia akan mendatangkan masalah bila pemerintah menyamakan jam kerja, termasuk jam masuk sekolah se-Indonesia. Kita bisa membayangkan anak sekolah masuk pukul 07.00 dan biasanya langit sudah terang, nantinya mereka masuk kelas tapi di luar langit masih gelap.

Pegawai negeri/ swasta pukul 12.00-13.00 istirahat makan siang (plus shalat zuhur bagi yang beragama Islam), nantinya terkait penyatuan zona waktu harus mengubah jamnya. Pasalnya bila tetap berpatokan pukul 12.00-13.00, untuk pegawai di Indonesia timur waktu zuhurnya sudah lewat jauh, sedangkan bagi pegawai di Indonesia Barat masih jauh dari waktu zuhur.

Karena itu, perlu standardisasi waktu istirahat dengan berpatokan pada WKI agar tidak terjadi inefisiensi produktivitas. Pemerintah dan masyarakat juga perlu menyinkronkan waktu istirahat kerja sebagai waktu biologis, dan waktu ibadah bagi umat Islam yang selama ini sudah at home dengan tiga zona waktu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar