Pancasila
dan Kerukunan Berbangsa
Syahrul Kirom ; Alumnus
Program Master Filsafat,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
Sumber : SUARA
KARYA, 14 Juni 2012
Pancasila merupakan pilar kehidupan bangsa Indonesia. Keberadaan
Pancasila sudah seharusnya mampu kita refleksikan secara kritis akan arti
penting Pancasila sebagai pedoman hidup dan falsafah kehidupan bangsa Indonesia
dalam upaya proses merajut kerukunan berbangsa dan bernegara.
Merebaknya tawuran antarpemuda, antarsiswa, perampokan, geng motor
dan kekerasan antarumat beragama, harus dijadikan sebagai sebuah pelajaran
berharga, untuk menarik segala tindakan dan perbuatan ke dalam nilai-nilai
Pancasila. Pancasila lahir sebagai upaya membimbing umat manusia Indonesia ke
arah kebajikan dan kebenaran dalam bertindak.
Pancasila merupakan pandangan dunia (way of life), pandangan hidup (weltanschauung),
petunjuk hidup (wereld en levens
beschouwing). Sebagai petunjuk hidup sehari-hari, Pancasila harus diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai
petunjuk arah semua kegiatan dan aktivitas hidup dan kehidupan di dalam segala
bidang, politik, pendidikan, agama, budaya, sosial dan ekonomi. Ini berarti
semua tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai
dan merupakan pancaran dari Pancasila.
Dalam sila ke tiga, yang berbunyi 'Persatuan Indonesia', hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia harus menciptakan dan melahirkan rasa
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di atas perbedaan agama, ras, suku dan
golongan. Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan adat,
bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Bangsa adalah kumpulan
manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di
muka bumi. Oleh karena itu, di dalam sila ketiga Pancasila sesungguhnya
tersirat arti pentingnya menjaga kerukunan berbangsa antar-sesama umat manusia
Indonesia.
Dengan demikian, sebagai upaya untuk merajut kerukunan berbangsa
dalam semangat nilai-nilai Pancasila.
Menurut Kaelan, negara harus dapat mengatasi segala paham
golongan, etnis, suku, ras, individu maupun agama. 'Mengatasi' dalam arti
memberikan wahana tercapainya harkat dan martabat seluruh warganya. Negara
memberikan kebebasan invidividu, golongan, suku, ras maupun golongan agamanya
dalam merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat
integral sehingga terlahir rasa toleransi dan kerukunan antar-warga masyarakat
di Indonesia.
Pada dasarnya, rukun juga bisa berarti berusaha untuk menghindari
pecahnya konflik-konflik dan kekerasan antar-suku, ras, dan agama. Hildred
Geertz menyebut keadaan rukun sebagai upaya harmonious
social appearance. Harmonisasi sosial itu adalah perwujudan dan watak yang
dimiliki budaya Nusantara.
Sikap rukun, sejatinya juga telah tertera dalam Pancasila,
khususnya pada sila ketiga, yakni 'Persatuan Indonesia'. Pancasila juga
memberikan petunjuk kepada bangsa Indoesia untuk selalu mengedepankan sikap
rukun dan damai. Sikap rukun itu selalu mengutamakan sikap-sikap etika yang
baik dalam berkomunikasi terhadap sesamaya. Mereka tidak ingin membuat konflik
dan perpecahan di antara sesamanya.
Prinsip kerukunan merupakan cerminan dan kultur bangsa Indonesia
yang semakin menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang beretika
dan mengedepankan nilai-nilai moral dan kerukunan antarumat manusia. Karena
itu, dengan selalu mengedepankan prinsip kerukunan antarsesama manusia ini,
masyarakat Indonesia diajak menggunakan rasio dan logikanya, yang memiliki
kehalusan dan hati nurani baik dalam menjalin hubungan dengan umat manusia,
yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Driyarkara menjelaskan, untuk mencapai prinsip kerukunan
berbangsa, maka paradigma yang digunakan adalah selalu mengedepankan cinta
kasih dalam pemersatu sila-sila. Karena, titik tolaknya adalah manusia. Aku
manusia mengakui bahwa keberadaanku itu merupakan
'ada-bersama-dengan-cinta-kasih. Jadi, keberadaanku harus dijalankan sebagai
perwujudan cinta kasih pula. Cinta kasih dalam kesatuanku dan kerukunan dengan
sesama manusia. Jika hal itu dipandang dari sisi perikemanusiaan.
Gerardius Hadian Panamokta, dengan mengutip Driyarkara,
mengatakan, perikemanusiaan harus dilaksanakan dalam hubunganya dengan
kesatuan, kebudayaan, dan peradaban bersama. Kesatuan itu ikut serta menentukan
dan membentuk diri kita sebagai manusia yang konkret dengan perasaan semangat
dan pikirannya. Ada bersama pada konkretnya berupa hidup dalam kesatuan itu.
Jadi, hidup kita sebagai manusia Indonesia itu harus merupakan bagian dari
pelaksanaan nilai-nilai perikemanusiaan dan kerukunan. Kesatuan yang besar itu,
tempat manusia pertama harus melaksanakan perikemanusiaan yang disebut
kebangsaan.
Kerukunan pada dasarnya mempunyai dua dimensi. Pertama, kerukunan yang berdimensi sosial, kerukunan harus
dipaksakan dalam masyarakat sebagai wujud menjaga rasa persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Kedua, kerukunan yang berdimensi personal. Kerukunan ini menekankan
pada sikap seseorang dalam upaya menyesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Kerukunan berbangsa merupakan sikap yang harus dilestarikan dalam batin diri
manusia.
Oleh karena itu, prinsip
kerukunan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat di Indonesia.
Dengan begitu, keselarasan sosial dan kedamaiaan akan selalu terjaga di dalam
bangsa Indonesia. Karena itu, masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki
ajaran-ajaran moral dan etika yang baik, yang bersumber pada nilai-nilai luhur
Pancasila dan UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Nilai-nilai etika filosofis tampaknya melekat pada empat pilar
bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi keselarasan dan keharmonisaian
sosial dan kerukunan berbangsa. Semoga.
●
salam kenal & sukses selalu
BalasHapus