Pemahaman
Era Kebebasan Media
Gunawan Witjaksana ; Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom)
Semarang
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 4 Juni 2012
"Sebagai
intelektual, bila merasa pernyataannya dipelintir maka ia seharusnya
mendahulukan mekanisme hak jawab"
LAGI-LAGI kebebasan media menghadapi
rintangan. Ketua DPR Marzuki Alie akan menuntut secara perdata media tertentu
yang dianggap memelintir pernyataannya terkait koruptor. Meski gaung ancaman
itu hampir tenggelam oleh heboh pro dan kontra rencana konser Lady Gaga yang
akhirnya batal, sebagai intelektual, terlebih pimpinan utama parlemen, dia
seharusnya lebih memahami UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Terkait dengan hal itu, Pieter L Berger,
pencetus paham konstruktivisme berpendapat bahwa pemahaman seseorang terhadap
sebuah pesan (termasuk penyajian media terkait dengan ucapan Marzuki) sangat
dipengaruhi oleh cara pandang. Hal itu tidak lepas dari kepentingan, latar
belakang, dan lingkungannya.
Sebagai intelektual sekaligus pimpinan utama
parlemen, bila merasa pernyataannya dipelintir maka dia seharusnya mendahulukan
mekanisme hak jawab atau hak koreksi. Melalui cara itu, simpati dan dukungan
akan mengalir.
Sebaliknya, bila mengedepankan ancaman, pasti
menuai kritik. Adalah anggota DPR Ahmad Basarah yang mengingatkan bila Marzuki
mewujudkan ancamannya bisa berujung blunder, bahkan mempermalukannya.
Pakar jurnalistik Westersthall berpendapat
pemberitaan dianggap objektif manakala setidak-tidaknya memperhatikan faktor
faktualitas, relevansi, netralitas, dan keberimbangan. Mengacu hal itu,
pernyataan Marzuki terkait koruptor dengan menyebut beberapa perguruan tinggi
terkemuka bisa dianggap sebagai fakta karena diucapkan oleh orang yang dianggap
kompeten di bidangnya, sekaligus layak jadi narasumber.
Apakah ucapannya yang dikutip media sesuai
dengan yang dia sampaikan atau tidak? Pada alam modern dengan kepesatan
kemajuan teknologi komunikasi, sangat mudah menelusurinya karena pasti ada
pihak yang merekam. Demikian pula apakah pernyataan Marzuki relevan dengan
kondisi masyarakat, media netral atau tidak, pemberitaannya berimbang atau
tidak?
Hak
Jawab
Mengingat pekerja media dinaungi oleh UU Pers
dan UU Penyiaran maka bila merasa dirugikan, terlebih bila ia orang yang paham
hal itu, sebaiknya gunakan mekanisme sesuai dengan UU itu. Selain menghargai
pekerja media tersebut beserta pengelolanya sebagai profesional, tindakan itu
sekaligus memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Harapannya, bila ada anggota masyarakat
merasa mengalami hal yang sama, ia pun akan menggunakan mekanisme yang diatur
UU Pers dan UU Penyiaran. Kita perlu keteladanan dari elite karena secara
psikologis biasanya orang cenderung menirunya.
Memang, banyak orang beranggapan hak jawab
dan hak koreksi itu tidak efektif. Selain kenyataannya media tertentu kadang
tidak fair, artinya menempatkan hak jawab pada tempat yang tidak semestinya,
pakar komunikasi Towne dan Alder pun sudah mengatakan bahwa communication is irreversible and
unrepeatable.
Bila kita cepat mengirim hak jawab dan media
menempatkannya di tempat semestinya, niscaya hak jawab kita akan efektif. Baru
bila hak jawab atau koreksi tidak memperoleh tempat atau porsi selayaknya,
bolehlah kita membawanya ke proses peradilan. Masyarakat pun bisa menilai bahwa
tindakan yang dilakukan sesuai dengan mekanisme yang benar.
Ke depan, harapannya semua pihak mendudukkan
diri pada posisi masing-masing. Media melakukan fungsi mediasi dan advokasi
secara jujur dan objektif, sementara mereka yang diberitakan pun menempuh
mekanisme cerdas ketika merasa dirugikan. Dengan demikian fungsi media sebagai
salah satu pilar demokrasi tidak akan terusik oleh tindakan yang tergesa-gesa,
bahkan demi mengejar pencitraan semu yang kurang tepat penerapannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar