Senin, 04 Juni 2012

Pemahaman Era Kebebasan Media

Pemahaman Era Kebebasan Media
Gunawan Witjaksana ; Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 4 Juni 2012


"Sebagai intelektual, bila merasa pernyataannya dipelintir maka ia seharusnya mendahulukan mekanisme hak jawab"

LAGI-LAGI kebebasan media menghadapi rintangan. Ketua DPR Marzuki Alie akan menuntut secara perdata media tertentu yang dianggap memelintir pernyataannya terkait koruptor. Meski gaung ancaman itu hampir tenggelam oleh heboh pro dan kontra rencana konser Lady Gaga yang akhirnya batal, sebagai intelektual, terlebih pimpinan utama parlemen, dia seharusnya lebih memahami UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Terkait dengan hal itu, Pieter L Berger, pencetus paham konstruktivisme berpendapat bahwa pemahaman seseorang terhadap sebuah pesan (termasuk penyajian media terkait dengan ucapan Marzuki) sangat dipengaruhi oleh cara pandang. Hal itu tidak lepas dari kepentingan, latar belakang, dan lingkungannya.

Sebagai intelektual sekaligus pimpinan utama parlemen, bila merasa pernyataannya dipelintir maka dia seharusnya mendahulukan mekanisme hak jawab atau hak koreksi. Melalui cara itu, simpati dan dukungan akan mengalir.

Sebaliknya, bila mengedepankan ancaman, pasti menuai kritik. Adalah anggota DPR Ahmad Basarah yang mengingatkan bila Marzuki mewujudkan ancamannya bisa berujung blunder, bahkan mempermalukannya.

Pakar jurnalistik Westersthall berpendapat pemberitaan dianggap objektif manakala setidak-tidaknya memperhatikan faktor faktualitas, relevansi, netralitas, dan keberimbangan. Mengacu hal itu, pernyataan Marzuki terkait koruptor dengan menyebut beberapa perguruan tinggi terkemuka bisa dianggap sebagai fakta karena diucapkan oleh orang yang dianggap kompeten di bidangnya, sekaligus layak jadi narasumber.

Apakah ucapannya yang dikutip media sesuai dengan yang dia sampaikan atau tidak? Pada alam modern dengan kepesatan kemajuan teknologi komunikasi, sangat mudah menelusurinya karena pasti ada pihak yang merekam. Demikian pula apakah pernyataan Marzuki relevan dengan kondisi masyarakat, media netral atau tidak, pemberitaannya berimbang atau tidak?

Hak Jawab

Mengingat pekerja media dinaungi oleh UU Pers dan UU Penyiaran maka bila merasa dirugikan, terlebih bila ia orang yang paham hal itu, sebaiknya gunakan mekanisme sesuai dengan UU itu. Selain menghargai pekerja media tersebut beserta pengelolanya sebagai profesional, tindakan itu sekaligus memberikan pendidikan kepada masyarakat.

Harapannya, bila ada anggota masyarakat merasa mengalami hal yang sama, ia pun akan menggunakan mekanisme yang diatur UU Pers dan UU Penyiaran. Kita perlu keteladanan dari elite karena secara psikologis biasanya orang cenderung menirunya.

Memang, banyak orang beranggapan hak jawab dan hak koreksi itu tidak efektif. Selain kenyataannya media tertentu kadang tidak fair, artinya menempatkan hak jawab pada tempat yang tidak semestinya, pakar komunikasi Towne dan Alder pun sudah mengatakan bahwa communication is irreversible and unrepeatable.

Bila kita cepat mengirim hak jawab dan media menempatkannya di tempat semestinya, niscaya hak jawab kita akan efektif. Baru bila hak jawab atau koreksi tidak memperoleh tempat atau porsi selayaknya, bolehlah kita membawanya ke proses peradilan. Masyarakat pun bisa menilai bahwa tindakan yang dilakukan sesuai dengan mekanisme yang benar.

Ke depan, harapannya semua pihak mendudukkan diri pada posisi masing-masing. Media melakukan fungsi mediasi dan advokasi secara jujur dan objektif, sementara mereka yang diberitakan pun menempuh mekanisme cerdas ketika merasa dirugikan. Dengan demikian fungsi media sebagai salah satu pilar demokrasi tidak akan terusik oleh tindakan yang tergesa-gesa, bahkan demi mengejar pencitraan semu yang kurang tepat penerapannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar