Ikan
Tertangkap, Air Tak Keruh
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia,
untuk Advokasi,
Mediasi, dan Promosi
SUMBER : SINDO, 4
Juni 2012
Boleh
jadi warga kampungku sama dengan banyak warga kampung lain di mana pun di
seluruh Tanah Air dalam hal kemampuan kami menangkap ikan dengan teknologi
paling sederhana di desa.
Teknologi itu bukan mesin dan tak
harus berupa mesin. Semua hal yang menggambarkan sistem kemampuan masyarakat
untuk menguasai alam dalam bahasa sosiologi namanya memang teknologi. Di sini
teknologi itu wujudnya pengetahuan dan sekaligus keterampilan menangkap ikan
dengan jenu, yaitu racun untuk membuat ikan kelenger, teler, tak berdaya, yang
dibuat dari getah pohon pati urip, sejenis pohon hijau yang nyaris tak berdaun,
tetapi mengeluarkan getah putih yang jika ditaruh di dalam suatu bendungan yang
berisi ikan, maka ikan-ikan di dalamnya terkena radiasi. Lalu, seperti disebut di
atas, ikanikan itu akan kelengeratau teler tak berdaya.
Dan alangkah mudahnya menangkapi ikan-ikan dalam posisi yang sudah “berserah” diri macam itu. Bagaimana tidak, ikan-ikan itu mengapung seperti cendol di dalam toples. Mana ada cendol bisa bergerak menghindar dari kita? Begitu jugalah ikan-ikan yang sudah kelenger tadi. Cara ini baik dan efisien. Tapi baik dan efisien menurut siapa? Menurut warga setempat yang merasa memiliki kemampuan menangkap lebih banyak ikan dengan teknologi dibandingkan sekadar dengan pancing atau alat lain? Tapi agak baik dicatat di sini bahwa apa yang baik dan etis bagi ukuran masyarakat setempat belum tentu baik dan etis bagi ukuran masyarakat lain.
Apa yang benar dan etis pada suatu waktu belum tentu tetap benar dan etis di waktu yang lain. Maka, ketika manusia mulai menjadi lebih bijaksana, adil, dan manusiawi sehingga ramah terhadap lingkungan dan bersahabat dengan semua ciptaan Tuhan, maka kita menilai membikin ikan-ikan menjadi kelenger tidak baik, tidak efisien, tidak adil, dan tidak manusiawi lagi.
Tuhan menggelar alam semesta dan seluruh isinya buat manusia.Tapi manusia tak berhak membuat kerusakan di muka bumi. Ini dimensi etis yang membingkai bangunan moral dalam hidup kita. Dengan sendirinya, membikin ikan-ikan kelenger menjadi tak manusiawi karena tindakan antroposentris itu jelas egois. Racun itu bukan hanya membuat kelenger ikan-ikan besar, melainkan juga membunuh ikan-ikan kecil yang tak dimaksudkan untuk ditangkap. Nafsu manusia yang tak ramah lingkungan,tak menimbang potensi kehidupan di masa depan dan terfokus semata pada nafsu kekinian,apa lagi namanya bila bukan kezaliman?
Ikan-ikan kecil itu sedang mempertautkan diri mereka dengan sejarah dan dengan masa depan yang menawarkan prospek untuk berkembang. Tapi potensi hidup yang dengan kun fa ya kun disabdakan Tuhan, karena mereka juga berhak hidup, kenapa dibunuh, mendahului kehendak Tuhan, Sang Maha Pencipta? Kebijakan pemerintah yang dirumuskan sambil dalam suasana “kelenger” dan didukung semangat partisan dari para tokoh yang merasa sedang menata kesehatan lingkungan membuat mereka mewajibkan industri-industri keretek membayar cukai melebihi kekejaman penjajah Belanda.
Tujuannya untuk membikin mereka mati. Betul bahwa industri besar mampu bertahan meskipun kelenger. Tapi tujuannya tetap tercapai karena hampir semua industri rumah tangga (industri kecil) tewas seketika. Darma hidup itu pelik.Tapi mereka tak melihatnya.Dalam kegelapan, mereka hanya melihat satu hal: mencapai target, dengan mata tertutup, dengan hati lebih tertutup. Target itu bahasa teknis yang mengerikan dan tidak manusiawi. Apakah dengan begitu membunuhi kemampuan bisnis bangsa kita sendiri macam ini juga ditargetkan?
Apakah tindakan macam ini juga bisa disebut perjuangan? Bagaimana kemuliaan citacita–– mengatur lingkungan hidup yang sehat bagi kemanusiaan–– bisa menyimpang menjadi tindak kekerasan yang bertentangan dengan semangat kemanusiaan itu sendiri? Dalam konteks membangun kelas menengah pengusaha di negeri kita sendiri, yang memberi mereka kesempatan tumbuh menjadi kekuatan bisnis yang bisa diandalkan, di mana ujung pangkalnya?
Apakah orang-orang yang berada di bawah apa yang disebut “rezim kesehatan” yang kaku dan melihat dunia dengan satu mata juga memahami peliknya perkara membangun kelas menengah dunia usaha di negeri kita? Bangsa kita harus diatur dari banyak segi. Para perumus aturan kesehatan yang mematikan macam itu tak usah bermimpi menjadi “panglima” bagi aturan-aturan lainnya. Ini tak akan efisien dan jelas tak manusiawi. Produk hukum ini akan dilabrak oleh kemarahan rakyat yang berhimpun dalam gerakan sosial melawan ketidakadilan.
Dan dalam situasi macam itu, biasanya pejabat hanya akan ngacir, lari dari tanggung jawab. Bicara perlindungan anak, konsumen, dan kebersihan, tanpa keretek tanpa asap tembakau, tetapi––sekali lagi–– dari mana suatu bangsa bertahan hidup bila industri rakyat dibunuh? Bagaimana akibatnya bila sesudah tembakau punah dan raja-diraja dari luar negeri menerapkan sistem tanam paksa baru lewat pemerintah yang takut,tak punya nyali, dan minder menghadapi bangsa asing seperti ini?
Orang-orang kesehatan punya jawaban? Agaknya mereka meniru Amerika yang durhaka: membikin hancur luluh negara-negara Teluk dengan kedengkian modern, didukung senjata modern,demi mencari beberapa gelintir teroris,yang mereka sembunyikan sendiri di tempat lain. Betapa mengerikannya makna perjuangan macam itu. Mengapa mengatur kehidupan petani tembakau dan industri rumah tangga di bidang keretek tak mengajak mereka agar ada sumbangan yang agak lebih baik dari cara berpikir orang kesehatan? Apakah di mata pemerintah dan orang kesehatan kita kearifan tentang “ikan tertangkap tak membuat air keruh” dianggap kurang Amerika, kurang modern?
Apa darma pejabat kalau bukan memberi perlindungan dan merumuskan kebijakan yang adil dan manusiawi? Bisnis dan membangun imperium yang tak tersentuh? Demokrasi tak memberi lagi hak istimewa macam itu. Kalau kekuasaan tak bijaksana, tak menimbang perlunya “menangkap ikan tanpa membikin air keruh”, maka rakyat yang hatinya dibikin keruh akan lebih terampil membikin kekeruhan macam itu. ●
Dan alangkah mudahnya menangkapi ikan-ikan dalam posisi yang sudah “berserah” diri macam itu. Bagaimana tidak, ikan-ikan itu mengapung seperti cendol di dalam toples. Mana ada cendol bisa bergerak menghindar dari kita? Begitu jugalah ikan-ikan yang sudah kelenger tadi. Cara ini baik dan efisien. Tapi baik dan efisien menurut siapa? Menurut warga setempat yang merasa memiliki kemampuan menangkap lebih banyak ikan dengan teknologi dibandingkan sekadar dengan pancing atau alat lain? Tapi agak baik dicatat di sini bahwa apa yang baik dan etis bagi ukuran masyarakat setempat belum tentu baik dan etis bagi ukuran masyarakat lain.
Apa yang benar dan etis pada suatu waktu belum tentu tetap benar dan etis di waktu yang lain. Maka, ketika manusia mulai menjadi lebih bijaksana, adil, dan manusiawi sehingga ramah terhadap lingkungan dan bersahabat dengan semua ciptaan Tuhan, maka kita menilai membikin ikan-ikan menjadi kelenger tidak baik, tidak efisien, tidak adil, dan tidak manusiawi lagi.
Tuhan menggelar alam semesta dan seluruh isinya buat manusia.Tapi manusia tak berhak membuat kerusakan di muka bumi. Ini dimensi etis yang membingkai bangunan moral dalam hidup kita. Dengan sendirinya, membikin ikan-ikan kelenger menjadi tak manusiawi karena tindakan antroposentris itu jelas egois. Racun itu bukan hanya membuat kelenger ikan-ikan besar, melainkan juga membunuh ikan-ikan kecil yang tak dimaksudkan untuk ditangkap. Nafsu manusia yang tak ramah lingkungan,tak menimbang potensi kehidupan di masa depan dan terfokus semata pada nafsu kekinian,apa lagi namanya bila bukan kezaliman?
Ikan-ikan kecil itu sedang mempertautkan diri mereka dengan sejarah dan dengan masa depan yang menawarkan prospek untuk berkembang. Tapi potensi hidup yang dengan kun fa ya kun disabdakan Tuhan, karena mereka juga berhak hidup, kenapa dibunuh, mendahului kehendak Tuhan, Sang Maha Pencipta? Kebijakan pemerintah yang dirumuskan sambil dalam suasana “kelenger” dan didukung semangat partisan dari para tokoh yang merasa sedang menata kesehatan lingkungan membuat mereka mewajibkan industri-industri keretek membayar cukai melebihi kekejaman penjajah Belanda.
Tujuannya untuk membikin mereka mati. Betul bahwa industri besar mampu bertahan meskipun kelenger. Tapi tujuannya tetap tercapai karena hampir semua industri rumah tangga (industri kecil) tewas seketika. Darma hidup itu pelik.Tapi mereka tak melihatnya.Dalam kegelapan, mereka hanya melihat satu hal: mencapai target, dengan mata tertutup, dengan hati lebih tertutup. Target itu bahasa teknis yang mengerikan dan tidak manusiawi. Apakah dengan begitu membunuhi kemampuan bisnis bangsa kita sendiri macam ini juga ditargetkan?
Apakah tindakan macam ini juga bisa disebut perjuangan? Bagaimana kemuliaan citacita–– mengatur lingkungan hidup yang sehat bagi kemanusiaan–– bisa menyimpang menjadi tindak kekerasan yang bertentangan dengan semangat kemanusiaan itu sendiri? Dalam konteks membangun kelas menengah pengusaha di negeri kita sendiri, yang memberi mereka kesempatan tumbuh menjadi kekuatan bisnis yang bisa diandalkan, di mana ujung pangkalnya?
Apakah orang-orang yang berada di bawah apa yang disebut “rezim kesehatan” yang kaku dan melihat dunia dengan satu mata juga memahami peliknya perkara membangun kelas menengah dunia usaha di negeri kita? Bangsa kita harus diatur dari banyak segi. Para perumus aturan kesehatan yang mematikan macam itu tak usah bermimpi menjadi “panglima” bagi aturan-aturan lainnya. Ini tak akan efisien dan jelas tak manusiawi. Produk hukum ini akan dilabrak oleh kemarahan rakyat yang berhimpun dalam gerakan sosial melawan ketidakadilan.
Dan dalam situasi macam itu, biasanya pejabat hanya akan ngacir, lari dari tanggung jawab. Bicara perlindungan anak, konsumen, dan kebersihan, tanpa keretek tanpa asap tembakau, tetapi––sekali lagi–– dari mana suatu bangsa bertahan hidup bila industri rakyat dibunuh? Bagaimana akibatnya bila sesudah tembakau punah dan raja-diraja dari luar negeri menerapkan sistem tanam paksa baru lewat pemerintah yang takut,tak punya nyali, dan minder menghadapi bangsa asing seperti ini?
Orang-orang kesehatan punya jawaban? Agaknya mereka meniru Amerika yang durhaka: membikin hancur luluh negara-negara Teluk dengan kedengkian modern, didukung senjata modern,demi mencari beberapa gelintir teroris,yang mereka sembunyikan sendiri di tempat lain. Betapa mengerikannya makna perjuangan macam itu. Mengapa mengatur kehidupan petani tembakau dan industri rumah tangga di bidang keretek tak mengajak mereka agar ada sumbangan yang agak lebih baik dari cara berpikir orang kesehatan? Apakah di mata pemerintah dan orang kesehatan kita kearifan tentang “ikan tertangkap tak membuat air keruh” dianggap kurang Amerika, kurang modern?
Apa darma pejabat kalau bukan memberi perlindungan dan merumuskan kebijakan yang adil dan manusiawi? Bisnis dan membangun imperium yang tak tersentuh? Demokrasi tak memberi lagi hak istimewa macam itu. Kalau kekuasaan tak bijaksana, tak menimbang perlunya “menangkap ikan tanpa membikin air keruh”, maka rakyat yang hatinya dibikin keruh akan lebih terampil membikin kekeruhan macam itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar