Paradigma
Kerukunan
M Ridwan Lubis ; Dosen Jurusan Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
SUMBER
: REPUBLIKA,
4 Juni 2012
Paradigma
adalah cara melihat, memahami, menafsirkan, dan memandang sesuatu yang
menjadikan diri melakukan tindakan yang disebut perilaku. Apabila dikaitkan
dengan perilaku, kerukunan adalah berangkat dari cara seorang umat beragama
dalam melihat hubungannya dengan orang yang beragama lain.
Kerukunan
adalah kondisi masyarakat yang memiliki titik temu sebagai suatu kesepakatan di
samping adanya faktor-faktor yang membedakan antara satu kelompok dan kelompok
yang lain. Sekalipun di antara umat terdapat perbedaan yang tidak terjembatani,
akan tetapi pada kasus lain mereka dapat sa ling kerja sama. Secara filosofis,
dinya takan bahwa Indonesia memiliki titik temu bersama, yaitu Pancasila.
Setiap
sila dari Pancasila sesungguhnya merujuk pada tradisi yang hidup dalam bangsa
Indonesia yang memiliki akar yang dalam pada landas an teologi agama-agama.
Landasan Ke tu hanan Yang Maha Esa, sekalipun secara lebih konkret bersumber
dari ajaran Islam, yaitu tauhid, akan tetapi kemudian dipahami menjadi lebih
universal. Yaitu, bahwa setiap wargabang sa hendaklah mereka yang percaya
kepada Tuhannya sesuai dengan ajaran yang dianutnya.
Adapun
landasan historis yang menjadi alasan terbentuknya kerukunan adalah nusantara
yang kemudian membentuk identitas sendiri dengan nama Indonesia, memiliki
struktur sosial dan budaya yang demikian majemuk. Sejarah perjalanan panjang
bangsa ini tidak tercatat adanya peristiwa terjadi konflik yang bersifat masif
yang melibatkan jaringan sosial yang luas. Hal ini disebabkan adanya figur yang
di jadikan warga sebagai panduan dalam melakukan berbagai tindakan.
Selanjutnya
dalam hal yang berkenaan dengan susbtansi ajaran agama-agama sekalipun dalam
versi dan formulasi yang berbeda, akan tetapi semuanya mendorong setiap umatnya
untuk memiliki cita-cita untuk meraih moralitas kebajikan. Sehingga, tidak bisa
terelakkan adanya proses saling pinjam budaya antara satu kelompok agama dan
kelompok yang lain. Sebutan salam yang sudah menjadi populer di masyarakat
kemudian berkembang melintasi batas-batas teologis.
Faktor Pemecah
Persoalan
yang kemudian muncul, mengapa begitu sulitnya sekarang ini membangun paradigma
kerukunan. Dalam menelusuri hal tersebut maka perlu didalami hal-hal sebagai
berikut. Pertama, motivasi untuk melakukan penyiaran agama tetap menjadi hal
yang intrinsik pada semua agama. Bagi agama yang mayoritas dapat dipahami
manakala terus berusaha dengan melakukan sikap defensif untuk mempertahankan
kamayoritasannya agar tidak mengalami pengurangan.
Sementara
itu, terhadap kelompok minoritas, tentulah juga dapat dipahami apabila berusaha
dengan berbagai cara untuk menambah jumlah anggota jemaatnya untuk menaikkan
posisi tawar dalam berbagai proses pengambilan kebijakan. Atas dasar itu,
adanya kemungkinan upaya perubahan konfigurasi jumlah penganut hendaknya tidak
menjadi agenda dari masing-masing kelompok agama. Apalagi, dilakukan dengan
pendekatan yang sifatnya konversif karena hal itu akan mengundang reaksi dari
berbagai pihak.
Kedua,
gagasan tentang kebebasan beragama dan berkepercayaan selayaknya dirumuskan
dalam kegiatan dialog di kalangan pemuka antaragama. Pengertian kebebasan
beragama adalah hak setiap orang untuk memilih agama serta beribadat menurut
agama yang dianutnya. Setiap agama memiliki sumber otoritas yang dijadikan
sebagai rujukan bagi kelompok agama itu.
Dalam
kaitan inilah pesan dalam kebebasan beragama dipahami secara proporsional. Pada
satu sisi, kebebasan merupakan hak kemanusiaan sebagai khalifah. Akan tetapi,
pada sisi lain kebebasan juga bisa berdampak sebagai perlakuan anarki terhadap
ajaran agama. Namun, sekalipun terjadi perbedaan pendapat bahkan menyangkut
terhadap substansi suatu agama hal itu tidak mengurangi hubungan semangat
persaudaraan sebagai sesama warga bangsa.
Ketiga,
pendirian rumah ibadat adalah termasuk persoalan krusial yang dihadapi umat
beragama dalam membangun paradigma kerukunan terutama dengan tingginya
pertumbuhan permukiman yang semakin menjauh dari inti kota. Wakil-wakil majelis
agama pada 2006 menyepakati bahwa beribadah tidak sama dengan mendirikan rumah
ibadat. Hak beribadah adalah hak yang melekat pada setiap individu tanpa bisa
dikurangi oleh apa pun dan siapa pun.
Sementara
itu, pendirian rumah ibadat sekalipun juga memiliki prinsip kebebasan, akan
tetapi memerlukan aturan agar kebebasan itu tak bersinggungan dengan kebebasan
yang juga dimiliki umat lain. Oleh karena itu, di tempuh cara yang elegan
sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 yang lebih populer dengan sebutan PBM.
PBM
adalah satu-satunya peraturan yang mengatur semua agama yang berhasil
disepakati oleh semua wakil majelis-majelis agama sejak Indonesia merdeka. Oleh
karena itu, sekalipun sebagian masyarakat memandang adanya berbagai kelemahan
di dalamnya. Na mun, karena belum ada peraturan yang lebih komprehensif,
sebaiknya PBM ini dapat dipertahankan. Sekalipun juga diperlukan penyesuaian
sesuai dengan kondisi geografis yang terdapat di ber bagai daerah di nusantara.
Sebenarnya,
apabila semua pihak konsisten, baik umat beragama, pemerintah daerah, aparat
Kemenag, mau pun FKUB dalam melaksanakan peraturan ini, sedikit demi sedikit
dapat dibakukan rumusan bangunan paradigma kerukunan. Namun, hasil pengamatan
yang sering ditemui di lapangan, implementasi PBM ini masih jauh dari harapan.
Membangun paradigma kerukunan dan
menyosialisasikannya kepada semua umat beragama adalah hal yang sangat mendesak
di tengah kemajemukan bangsa serta sorotan yang semakin kritis, baik oleh
berbagai pihak di dalam maupun di luar negeri. Lebih dari itu, kerukunan umat
beragama adalah bagian penting dari kerukunan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar