Merajut
Manusia Pancasilais
Masduri ; Peneliti
di Jurusan Teologi dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber : SUARA
KARYA, 14 Juni 2012
Di tengah silang-sengkarut persoalan bangsa yang tak berujung,
kiranya sangat penting mempertanyakan kembali komitmen ke-Indonesian kita.
Betapa nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan falsafah hidup bangsa
Indonesia kini semakin jauh dari realitas kehidupan berbangsa di Indonesia.
Sekarang anak-anak negeri senang berburu untuk kepentingan diri dan
kelompoknya. Mereka abai pada kesejahteraan bangsa secara umum.
Buktinya, korupsi seperti jamur di musim hujan, elite politik
terus berseteru, kekerasan dari beragam modusnya terus bergejolak, hukum
seperti komoditas yang diperjualbelikan, kemiskinan dan pengangguran terus
mengawang tanpa penyelesaian yang jelas. Sementara negara ini dibentuk untuk
menciptakan kehidupan berbangsa yang berdaulat adil dan makmur.
Anak-anak bangsa telah terasing dari nilai-nilai Pancasila yang
mestinya mengkarakter dalam diri mereka. Kelima butir Pancasila bukan hanya
pajangan dan bacaan seremonial yang sering dilakukan di berbagai tempat, namun
yang terpenting adalah implementasi dari nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Sehingga, tercipta kehidupan berbangsa yang damai dan
menyejahterakan. Pancasila dengan kelima butir kandungannya telah cukup untuk
mengantarkan bangsa Indonesia berjaya. Hanya saja, seberapa besar komitmen
bangsa Indonesia merealisasikan nilai-nilai Pancasia dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab, seideal apa pun konsep kehidupan berbangsa kita, kalau tidak ada
realisasinya, mustahil bangsa Indonesia dapat berjaya. Filsuf Freidrich
Nietzcha (1844-1990 M) pun menjelaskan, kunci keberhasilan bangsa ditentukan
oleh komitmen menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja
(tindakan nyata).
Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa Indonesia bergerak maju,
tidak saja sibuk dengan beragam wacana kebangsaan yang tak menentu, karena
sekali lagi, yang terpenting adalah implementasi dari setiap wacana yang
diperbincangkan. Dalam hal ini, bagaimana komitmen kita mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa', menegaskan kebebasan beragama di
Inonesia. Tujuannya agar anak-anak negeri tidak ego dan memaksakan kehendak
dirinya kepada orang lain untuk berkeyakinan sama. Sebab, keyakinan beragama
merupakan hak asasi setiap manusia, yang tidak dapat dipaksakan. Apabila
pemahaman ini direalisasikan dalam tindakan nyata, tidak mungkin akan terjadi terorisme,
dan segala bentuk kekerasan berbau agama yang kerap kali menghantui kehidupan
kebangsaan kita.
Sila 'Kemanusian yang adil dan beradab', merupakan landasan
kehidupan yang akan membentuk bangsa Indonesia menjadi bangsa yang beradab,
saling mencintai sesama dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan
keadilan. Nilai dari sila kedua ini merupakan landasan etika kemanusian yang
harus mengkarakter dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, apabila sila ini
tidak bisa diimplementasikan, bangsa Indonesia akan terus terpuruk, dan
cita-cita awal kemerdekaan sebagaimana amanat UUD 1945 untuk mewujudkan negara
yang berdaulat adil dan makmur hanya ilusi belaka.
Sila selajutnya, 'Persatuan Indonesia', menjadi langkah ampuh yang
akan menggerakkan bangsa Indonesia berjaya dengan kerja sama yang baik
antaranak bangsa. Tanpa sila ini, kehidupan kebangsaan kita akan senantiasa
bergejolak dengan beragam konflik kepentingan yang tidak dapat dipertemukan.
Buktinya, akhir-akhir ini konflik sering terjadi, seperti konflik antarelite
politik di parlemen, tawuran antarmahasiswa, konflik antarpemeluk agama,
konflik lahan di Mesuji Lampung dan Tambang Emas di Bima NTT. Hal ini hanya
sekelumit contoh bahwa persatuan bangsa saat ini semakin terkoyak. Sebenarnya
masih sangat banyak konflik yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia, termasuk
konflik etnis yang kadang masih mengemuka.
Sila keempat, 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyarwaratan/perwaklian'. Sila ini merupakan landasan moral pemimpin
Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Meraka dalam setiap mengambil
kebijakan harus mengedepankan musyawarah mufakat agar tidak terjadi kebijakan
yang tidak prorakyat. Karena, pemerintah, menurut Aristotelles (384-322 SM),
harus mengedepankan kepentingan umum dan keadilan, sehingga tercipta kehidupan
bermasyarakat yang sejahtera.
Dalam implementasi sila keempat ini, yang terpenting adalah sikap
kebijakasanaan dalam berbicara, bersikap dan bertindak. Selama ini para
pemimpin seringkali tidak menunjukkan sikap tanggung jawabnya secara
signifikan. Sehingga, beragam persoalan bangsa, banyak yang tidak bisa
diselesaikan. Belum lagi, para elite pemerintah banyak yang terlibat kasus
korupsi, semua ini menunjukkan bahwa elite pemerintah masih jauh dari nilai-nilai
luhur Pancasila.
Terakhir sila kelima, 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia'. Keadilan sosial merupakan cita-cita besar bangsa Indonesia dalam
menciptakan kehidupan rakyat yang sejahtera, atau keadilan sosial merupakan
bahasa lain dari impian mewujudkan Indonesia yang berdaulat adil dan makmur.
Jika digeneralisasi, sila ini merupakan pusat dari sila-sila sebelumnya.
Keempat sila di atas semuanya bermuara untuk menciptakan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sebab itu, realisasi semua butir Pancasila merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam mewujudkan Indonesia yang jaya.
Akhirnya, yang sangat berperan mengimplementasikan Pancasila
adalah para orangtua, guru dan elite pemerintah. Sebab, mereka merupakan figur
sentral yang senantiasa menjadi panutan anak-anak bangsa. Melalui mereka akan
menyebar internalisasi karakter nilai-nilai Pancasila pada setiap pribadi
seseorang, sehingga terjadilah perubahan besar untuk membawa bangsa Indonesia
dapat hidup damai, sejahtera dan berkeadilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar