Rabu, 06 Juni 2012

Oligarki Politik dan Kerangkeng Demokrasi


Oligarki Politik dan Kerangkeng Demokrasi
Max Regus ; Alumnus Pascasarjana Departemen Sosiologi FISIP UI
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 6 Juni 2012


LIMA jari, bahkan 10 jari, tangan sudah tidak cukup untuk menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas sederetan kebijakan-kebijakan politik kontroversial hingga saat ini. Simbolisme `tangan'-Persetujuan Anggaran Hambalang Ajaib--yang judul menjadi berita utama Media Indonesia (31/5) menunjukkan ketidakjelasan keseluruhan akuntabilitas proyek pembangunan yang sudah menguras uang negara. Pertama, kita bisa lihat bagaimana tiap tokoh politik dan pemerintahan memiliki jawaban masing-masing untuk satu titik masalah rawan yang menyimpan banyak kejanggalan.

Kedua, ada soal lain yang lebih serius. Apa yang dikemukakan Media Indonesia dalam simbolisme tangan yang terbuka itu mirip sebuah ucapan selamat tinggal. Sesungguhnya, ada indikasi bagaimana kekuasaan dengan beragam persoalan korupsi sedang mengucapkan salam perpisahan dengan publik. Proyek pembangunan yang menelan uang negara dengan kualifikasi yang masih dalam tanda tanya sebentar lagi akan melenyap dari pandangan kritis publik.
 
Itu akan menambah daftar panjang kisah kejahatan politik yang sirna dari jangkauan keadilan publik.

Ketiga, demokrasi, yang dipenuhi begitu banyak janji politik masa lalu, kecurangan pada level-level utama kekuasaan, dan prospek keadilan sosial yang semakin suram, mengerut di tangan rakus para penguasa. Itu makna lain simbolisme tangan Media Indonesia.

Kerangkeng

Ruang kosong akuntabilitas politik mencirikan praktik pembangunan. Fenomena itu mengerucut pada banyak sikap para penguasa melemparkan tanggung jawab politik dan hukum kepada pihak lain. Seolaholah, mereka hendak menyampaikan kepada publik bahwa tangan mereka mereka masih bersih dari percikan-percikan kotoran kejahatan politik yang sampai pada perbincangan publik. Itu menandakan bagaimana kekuasaan kehilangan autokritik sekaligus menga lami penebalan imunitas terhadap kritik sosial (publik). Bila bergerak di dalam suasana semacam itu, bisa dipastikan, demokrasi akan segera terpenjara dalam kerangkeng keajaiban destruktif.

Demokrasi yang menjadi pesan tunggal era reformasi satu dekade lebih terakhir memang sudah sejak awal memasuki wilayah berbahaya. Monosentrisme kekuasaan dengan cepat sejak semula mencapai bentuk dalam cara dan penampilan yang lain.

Demokrasi yang mewujud dalam figur kekuasaan sepertinya berada langsung di bawah pengendalian sekawanan penggarong politik. Mereka membeli politik (kekuasaan) dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Baik untuk diulang di sini ketika dua ahli ekonomi-politik Indonesia Richard Robison dan Vedi R Hadiz menulis analisis yang bagus tentang prospek politik Indonesia dalam tulisan dengan judul Reorganizing Power in Indonesia: the Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004).

Oligarki memang menjadi sumber bahaya untuk demokrasi sekaligus bencana untuk publik. Oligarki merefleksikan habitus kekuasaan yang suka menghimpun keuntungan ekonomi-politik ke dalam lingkaran perkoncoan kekuasaan. Kekuatan ekonomi dan keunggulan politik yang diamankan di satu tangan kekuasaan menjelaskan oligarki politik. Membaca Indonesia dalam sudut pandang itu dapat dikatakan bahwa figur baru politik kekuasaan Indonesia dikuasai kekuatan yang memiliki akar yang sama. Mereka menguasai sumber-sumber ekonomipolitik di Indonesia.

Skenario demokrasi yang harus dipentaskan di atas panggung kekuasaan Indonesia memang sedang ditangani sutradara yang bernama kaum oligarki politik. Mereka yang menentukan bagaimana demokratisasi harus mengalir. Mereka yang memastikan ke arah mana keuntungan keuntungan ekonomi-politik merembes dengan rapi. Tidak terbantahkan konsolidasi dua sisi sentrum kekuatan itu membawa implikasi yang rumit dan penuh risiko untuk masa depan demokrasi dan peradaban politik. Kaum oligarki mengorganisasikan kekuasaan dalam cara pandang ‘antidemokrasi’, sikap perlawanan terhadap keadilan sosial.

Itu menyebabkan juga bagaimana infl asi legitimasi politik semakin menguat sekarang ini. Kesimpulan sederhana itu dapat ditarik dari satu faktum tunggal bagaimana demokrasi elektoral yang dibangun dengan investasi partisipasi politik publik yang besar pada akhirnya hanya bermuara pada sekelompok elite politik yang tersandera oleh berbagai macam label dugaan kejahatan politik.

Tragedi

Anggapan yang pernah begitu menghibur kita dan menyihir dunia internasional, bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan prospek demokrasi menjanjikan, mendapatkan sanggahan dari Nicholas Newman, World Policy Institute, yang menulis sebuah analisis dengan judul Indonesia: Telling Lies (2012). Anggapan dan sanggahan itu membentur satu kenyataan tunggal ketika korupsi menemukan bentuk paling sempurna. Bentuk sempurna dalam suasana politik sempurna. Suasana politik yang terbangun dalam jaringan yang begitu luas, melibatkan para petinggi partai politik, wakil rakyat, dan birokrasi.

Belum lagi tangkisan-tangkisan yang dilancarkan para terduga/tersangka pelaku korupsi seolah tanpa rasa salah, paling tidak rasa sesal karena melukai rasa keadilan publik dengan ucapan dan pernyataan politik tidak terdidik. Kita seolah sedang menikmati ketersesatan politik manakala ucapan dan sikap kekuasaan sering mewartakan kebohongan. Janji di podium propaganda politik menjauh dari kenyataan. Tidak terbantahkan bahwa demokrasi terbebani oleh sejumlah sikap politik dan perilaku kekuasaan yang sarat kerakusan.

Perlawanan

Tesis-tesis utama demokrasi sedang memasuki masa suram dan nihil harapan. Apatisme dan ketidakpercayaan publik terhadap negara akibat pengabaian persoalan-persoalan vital seperti kemerdekaan religius dan hak-hak minoritas menempatkan demokrasi di wilayah paling sunyi selama satu dekade lebih pascareformasi. Rentenir politik mewadahi segala akhlak antipublik yang secara tiba-tiba begitu liar menistakan ruang sosial.

Satu dekade lebih sesudah reformasi, saat kita menengok sejumlah besar kecenderungan di ruang politik kekuasaan, segera terungkap bagaimana demokrasi memasuki beragam ranah, dengan dua sisi paradoksal, meninggalkan duka, sekaligus menyisakan harapan tersisa. Perlu langkah-langkah konkret untuk meluputkan demokrasi terhadap romantisme belaka yang menyilaukan kesadaran politik publik.

Pertama, usaha yang terus berjalan sejak lama agar praktik-praktik demokrasi di Indonesia bergerak di atas panduan hukum yang adil dan mendukung pemerkayaan demokrasi.

Kedua, kebutuhan akan kepemimpinan politik demokratis yang cocok dengan perubahan-perubahan keindonesiaan dalam beragam aspek merupakan keniscayaan.
Ketiga, intensifikasi dan ekstensifikasi perlawanan terhadap kejahatan korupsi.
 
Pendalaman beragam kasus korupsi sekaligus pelacakan kemungkinan kejahatan yang belum teungkap ke permukaan sedang menyemangati kesadaran publik belakangan ini. Publik menunggu keseriusan penegak hukum, terutama KPK, untuk menegakkan keadilan. Kesungguhan itu sedikit banyaknya akan menentukan bagaimana akhir manis demokratisasi di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar