Oligarki
Politik dan Kerangkeng Demokrasi
Max Regus ; Alumnus Pascasarjana Departemen Sosiologi FISIP UI
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 6 Juni 2012
LIMA
jari, bahkan 10 jari, tangan sudah tidak cukup untuk menunjuk siapa yang
bertanggung jawab atas sederetan kebijakan-kebijakan politik kontroversial
hingga saat ini. Simbolisme `tangan'-Persetujuan Anggaran Hambalang Ajaib--yang
judul menjadi berita utama Media Indonesia (31/5) menunjukkan ketidakjelasan
keseluruhan akuntabilitas proyek pembangunan yang sudah menguras uang negara.
Pertama, kita bisa lihat bagaimana tiap tokoh politik dan pemerintahan memiliki
jawaban masing-masing untuk satu titik masalah rawan yang menyimpan banyak
kejanggalan.
Kedua,
ada soal lain yang lebih serius. Apa yang dikemukakan Media Indonesia dalam
simbolisme tangan yang terbuka itu mirip sebuah ucapan selamat tinggal.
Sesungguhnya, ada indikasi bagaimana kekuasaan dengan beragam persoalan korupsi
sedang mengucapkan salam perpisahan dengan publik. Proyek pembangunan yang menelan
uang negara dengan kualifikasi yang masih dalam tanda tanya sebentar lagi akan
melenyap dari pandangan kritis publik.
Itu akan menambah daftar panjang kisah kejahatan politik yang sirna dari
jangkauan keadilan publik.
Ketiga,
demokrasi, yang dipenuhi begitu banyak janji politik masa lalu, kecurangan pada
level-level utama kekuasaan, dan prospek keadilan sosial yang semakin suram,
mengerut di tangan rakus para penguasa. Itu makna lain simbolisme tangan Media
Indonesia.
Kerangkeng
Ruang
kosong akuntabilitas politik mencirikan praktik pembangunan. Fenomena itu
mengerucut pada banyak sikap para penguasa melemparkan tanggung jawab politik
dan hukum kepada pihak lain. Seolaholah, mereka hendak menyampaikan kepada
publik bahwa tangan mereka mereka masih bersih dari percikan-percikan kotoran
kejahatan politik yang sampai pada perbincangan publik. Itu menandakan
bagaimana kekuasaan kehilangan autokritik sekaligus menga lami penebalan
imunitas terhadap kritik sosial (publik). Bila bergerak di dalam suasana
semacam itu, bisa dipastikan, demokrasi akan segera terpenjara dalam kerangkeng
keajaiban destruktif.
Demokrasi
yang menjadi pesan tunggal era reformasi satu dekade lebih terakhir memang
sudah sejak awal memasuki wilayah berbahaya. Monosentrisme kekuasaan dengan
cepat sejak semula mencapai bentuk dalam cara dan penampilan yang lain.
Demokrasi
yang mewujud dalam figur kekuasaan sepertinya berada langsung di bawah
pengendalian sekawanan penggarong politik. Mereka membeli politik (kekuasaan)
dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Baik untuk diulang di sini ketika
dua ahli ekonomi-politik Indonesia Richard Robison dan Vedi R Hadiz menulis
analisis yang bagus tentang prospek politik Indonesia dalam tulisan dengan
judul Reorganizing Power in Indonesia: the
Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004).
Oligarki
memang menjadi sumber bahaya untuk demokrasi sekaligus bencana untuk publik.
Oligarki merefleksikan habitus kekuasaan yang suka menghimpun keuntungan
ekonomi-politik ke dalam lingkaran perkoncoan kekuasaan. Kekuatan ekonomi dan
keunggulan politik yang diamankan di satu tangan kekuasaan menjelaskan oligarki
politik. Membaca Indonesia dalam sudut pandang itu dapat dikatakan bahwa figur
baru politik kekuasaan Indonesia dikuasai kekuatan yang memiliki akar yang
sama. Mereka menguasai sumber-sumber ekonomipolitik di Indonesia.
Skenario
demokrasi yang harus dipentaskan di atas panggung kekuasaan Indonesia memang
sedang ditangani sutradara yang bernama kaum oligarki politik. Mereka yang
menentukan bagaimana demokratisasi harus mengalir. Mereka yang memastikan ke
arah mana keuntungan keuntungan ekonomi-politik merembes dengan rapi. Tidak
terbantahkan konsolidasi dua sisi sentrum kekuatan itu membawa implikasi yang
rumit dan penuh risiko untuk masa depan demokrasi dan peradaban politik. Kaum
oligarki mengorganisasikan kekuasaan dalam cara pandang ‘antidemokrasi’, sikap
perlawanan terhadap keadilan sosial.
Itu
menyebabkan juga bagaimana infl asi legitimasi politik semakin menguat sekarang
ini. Kesimpulan sederhana itu dapat ditarik dari satu faktum tunggal bagaimana
demokrasi elektoral yang dibangun dengan investasi partisipasi politik publik
yang besar pada akhirnya hanya bermuara pada sekelompok elite politik yang
tersandera oleh berbagai macam label dugaan kejahatan politik.
Tragedi
Anggapan
yang pernah begitu menghibur kita dan menyihir dunia internasional, bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara dengan prospek demokrasi menjanjikan,
mendapatkan sanggahan dari Nicholas Newman, World
Policy Institute, yang menulis sebuah analisis dengan judul Indonesia: Telling Lies (2012). Anggapan
dan sanggahan itu membentur satu kenyataan tunggal ketika korupsi menemukan
bentuk paling sempurna. Bentuk sempurna dalam suasana politik sempurna. Suasana
politik yang terbangun dalam jaringan yang begitu luas, melibatkan para
petinggi partai politik, wakil rakyat, dan birokrasi.
Belum
lagi tangkisan-tangkisan yang dilancarkan para terduga/tersangka pelaku korupsi
seolah tanpa rasa salah, paling tidak rasa sesal karena melukai rasa keadilan
publik dengan ucapan dan pernyataan politik tidak terdidik. Kita seolah sedang
menikmati ketersesatan politik manakala ucapan dan sikap kekuasaan sering
mewartakan kebohongan. Janji di podium propaganda politik menjauh dari
kenyataan. Tidak terbantahkan bahwa demokrasi terbebani oleh sejumlah sikap
politik dan perilaku kekuasaan yang sarat kerakusan.
Perlawanan
Tesis-tesis
utama demokrasi sedang memasuki masa suram dan nihil harapan. Apatisme dan
ketidakpercayaan publik terhadap negara akibat pengabaian persoalan-persoalan
vital seperti kemerdekaan religius dan hak-hak minoritas menempatkan demokrasi
di wilayah paling sunyi selama satu dekade lebih pascareformasi. Rentenir
politik mewadahi segala akhlak antipublik yang secara tiba-tiba begitu liar
menistakan ruang sosial.
Satu
dekade lebih sesudah reformasi, saat kita menengok sejumlah besar kecenderungan
di ruang politik kekuasaan, segera terungkap bagaimana demokrasi memasuki
beragam ranah, dengan dua sisi paradoksal, meninggalkan duka, sekaligus
menyisakan harapan tersisa. Perlu langkah-langkah konkret untuk meluputkan
demokrasi terhadap romantisme belaka yang menyilaukan kesadaran politik publik.
Pertama,
usaha yang terus berjalan sejak lama agar praktik-praktik demokrasi di
Indonesia bergerak di atas panduan hukum yang adil dan mendukung pemerkayaan
demokrasi.
Kedua,
kebutuhan akan kepemimpinan politik demokratis yang cocok dengan
perubahan-perubahan keindonesiaan dalam beragam aspek merupakan keniscayaan.
Ketiga, intensifikasi dan ekstensifikasi
perlawanan terhadap kejahatan korupsi.
Pendalaman beragam kasus korupsi sekaligus pelacakan kemungkinan kejahatan yang
belum teungkap ke permukaan sedang menyemangati kesadaran publik belakangan
ini. Publik menunggu keseriusan penegak hukum, terutama KPK, untuk menegakkan
keadilan. Kesungguhan itu sedikit banyaknya akan menentukan bagaimana akhir
manis demokratisasi di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar