Negara
Kelautan Nusantara
Soen’an Hadi P ; Dosen pada Sekolah Tinggi Perikanan (STP),
Jakarta
dan Institut Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta;
Sekretaris Dewan Pakar
Masyarakat Perikanan Nusantara
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 08 Juni 2012
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
menyepakati tanggal 8 Juni sebagai Hari Kelautan Sedunia atau World Ocean Day. Pada 2000,
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 telah diamendemen dengan
menambahi Pasal 25A, yang berbunyi “NKRI adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara”.
Menurut Yudi Latif, Direktur Reform Institute, negeri ini lebih
sesuai apabila disebut sebagai “negara kelautan”, karena archipelago mengandung “arti kekuasaan laut” (arch/archi=
kekuasaan; pelago/pelagos=lautan).
Bung Karno pernah menyebut Indonesia sebagai “negara lautan yang ditaburi
pulau-pulau”.
Di antara 13.446 pulau besar dan kecil, laut
dan selat merekat dan membentuk Nusantara yang memiliki berbagai keunikan.
Topografi yang demikian tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, untung dan
rugi, potensi dan masalah, peluang serta ancaman.
Dalam hal melihat negara yang memiliki laut
merupakan dua pertiga dari total wilayah ini, sering kali orang lupa mengenai
permasalahan, hambatan dan ancaman. Yang diimpikan dan dituntut senantiasa
hanya potensi yang dijanjikan dan peluang yang ditawarkan.
Peluang Ekonomi
Memang dari panjang pantai 95.181 km (bahkan
menurut Bakosurtanal sekitar 104.000 km) tentu menjanjikan peluang usaha budi
daya perikanan yang sangat besar. Kegiatan akuakultur ini dapat menjadi mata
pencaharian yang menjanjikan kesejahteraan bagi bangsa. Potensi budi daya laut
seluas 12.545.072 hektare, baru dimanfaatkan 117.649,30 hektare. Begitu juga
budi daya perikanan di air payau yang berpotensi 2.963.717 hektare, baru
dimanfaatkan sekitar 682.857 hektare.
Selain keunggulan area yang luas, budi daya
perikanan Indonesia juga diuntungkan oleh posisinya yang berada di wilayah
katulistiwa. Iklim tropis menyebabkannya hangat sepanjang tahun dan mempunyai
pula berbagai jenis komoditas yang tidak ada di negeri sub-tropis atau bermusim
dingin. Misalnya South Sea Pearl merupakan jenis mutiara yang terindah dan
termahal di dunia, jauh di atas harga jenis Black Pearl dari Tahiti, dan Akoya
dari Jepang.
Hasil budi daya ikan demersal atau jenis ikan
yang hidup di dasar laut, seperti kerapu (groupers), sangat mahal dalam pasar
ikan hidup di China. Rumput laut yang dibudidayakan dengan perkembangan pesat,
tahun lalu berhasil diproduksi 4.305.027 ton. Suatu pertumbuhan yang
menjanjikan, karena apabila diiringi dengan industri olahan yang tepat, di
samping sebagai bahan pangan juga dapat dimanfaatkan untuk bahan kosmetik,
obat-obatan, kertas, bahkan biofuel, atau bahan bakar nabati.
Pesisir Jawa bagian utara, Sulawesi dan Aceh,
telah berpuluh tahun menjadi penghasil bandeng sebagai hidangan sosial. Di era
industrialisasi, budi daya udang telah menjadi produk penghasil devisa utama
karena harganya tinggi. Pada 2011, udang berhasil diproduksi 414.014 ton, di
antaranya 152.053 ton diekspor dengan nilai US$ 1.211.547.000.
Keunikan negara kelautan di kawasan tropis
adalah hidupnya beraneka ragam jenis ikan, kekerangan, terumbu karang dan
berbagai jenis biota lainnya. Kondisi tersebut seharusnya memberi peluang
Indonesia untuk menjadi produsen ikan hias terbesar di dunia. Namun
kenyataannya Singapura-lah yang justru menjadi eksportir unggulan.
Potensi keanekaragaman sumber daya hayati di
laut tropis tentu memberikan peluang besar juga di sektor pariwisata, terutama
wisata bahari. Di samping keindahan aneka ragam biota di dalam laut, yang tentu
menjadi daya tarik bagi penyelam, tebaran pulau, teluk, tanjung, dan selat,
yang menyediakan tujuan wisata terindah serta hangat sepanjang tahun,
menawarkan pula ombak besarnya samudera, sampai keheningan pulau terpencil yang
biru menghijau.
Tantangan dan Permasalahan
Meski lautan kita sangat potensial, namun
pada sisi lain, laut tropis sebetulnya memberikan kondisi yang kurang
menguntungkan untuk manajemen industri penangkapan ikan. Di kawasan subtropis
yang mengalami empat musim, termasuk musim dingin, jenis biota yang tidak tahan
dingin tereliminasi musnah secara alami. Ikan yang tertangkap di subtropis
berupa gerombolan ikan sejenis dengan ukuran seragam, sehingga langsung bisa
masuk dalam sistem industri pengolahan.
Di negeri kita, ikan yang tertangkap
merupakan campuran berbagai jenis, ada kembung, manyung, petek, layang, ekor
kuning, sehingga untuk diolah memerlukan seleksi jenis, sortir ukuran, dengan
jumlah yang belum tentu memenuhi target volume pada setiap jenisnya. Hal ini
mengurangi efisiensi dan produktivitas.
Sistem penangkapan ikan juga menghadapi
masalah terkonsentrasinya nelayan tradisional pada kawasan tertentu, yakni
wilayah perairan utara Pulau Jawa dan timur Sumatera. Sulitnya pengaturan
alokasi wilayah ini menyebabkan keadaan laut menjadi melebihi daya dukung
optimumnya atau mengalami lebih tangkap (over
fishing).
Kepulauan, laut dan selatnya, menyebabkan
tata transportasi dan distribusi menjadi sulit dan mahal. Biaya operasional
kapal atau perahu tentu lebih mahal dibanding mobil dan kereta api. Apalagi
bila diperhitungkan dengan jumlah orang atau barang yang terangkut, jatuhnya
ongkos untuk hitungan setiap orang atau barang, menjadi sangat tinggi.
Pengumpul rumput laut tidak akan mau
mengambil produk dari wilayah yang jauh terpencil, bila ongkos angkutannya
mahal, tidak sesuai dengan harga jualnya yang murah. Ikan yang nun jauh
ditangkap di Morotai atau Mentawai, akan tekor apabila harus diangkut ke Jawa Timur
untuk dikalengkan. Begitu juga ikan-ikan kecil hasil tangkap sampingan pukat
udang di Laut Arafura, belum pernah ada hitungan yang menguntungkan untuk
dimanfaatkan bagi bahan mentah tepung ikan.
Keterpencilan juga menyebabkan terhalangnya
suplai logistik, terutama saat musim badai dan ombak besar. Selama beberapa
hari, bahkan bulan, ada pulau yang kehabisan beras, minyak goreng, atau bahkan
bahan bakar untuk penerangan dan memasak, karena tidak ada kapal yang singgah.
Akses pendidikan, kesehatan dan prasarana sosial atau ekonomi lainnya sering
kali minim.
Sikap Lima Dimensi
Realitas itu semua harus dipahami secara
bijak dan disikapi secara utuh baik pada dimensi politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan keamanan. Affirmatif action
atau keberpihakan politis pro-pulau kecil harus diwujudkan, tidak dihitung
untung-rugi dan ekonomis tidaknya. Memang mahal harganya, tapi itulah
konsekuensi kenyataan sebagai negara kelautan.
Kewajiban negara kelautan berdasarkan
Pancasila bertujuan untuk menyejahterakan segenap warganya, dengan penyediaan
prasarana pendidikan, kesehatan, logistik, bisnis dan pemasaran. Dengan
demikian, kita melihat negara kelautan tidak pada manisnya saja, atau impian
dan harapan saja. Akan tetapi, melihat pula permasalahan yang disandangnya.
Dalam dimensi ekonomi, tidak boleh terlupakan
potensi ekonomi yang belum tergali. Mungkin juga diperlukan modal atau langkah
awal yang tidak sederhana, namun realitas negara bahari harus dimanfaatkan
dengan cerdas dan berkelanjutan. Sebagai negara yang berbentuk kepulauan dan
vulkanis, tentu berimplikasi terbentuknya berbagai ragam suku bangsa, agama,
dan kepercayaan.
Dalam dimensi sosial dan budaya ini, para
pendiri negara telah mengambil langkah yang sangat tepat; yakni menyadari
permasalahan yang utama dan solusi prioritas bangsa ini adalah kebhinnekaan
yang harus di-tunggal ika-kan. Sikap hati nurani harus sarat dengan kebersamaan
sebagai keluarga sebangsa.
Pengamanan negara kelautan harus dicermati
secara unik. Dimensi keamanan ini bisa saja menganggap sistem pertahanan
keamanan rakyat semesta sudah tidak memadai lagi. Mungkin yang tepat adalah
penguatan keamanan di wilayah perbatasan, dengan penguatan armada laut dan
dirgantara.
Semua ini tentu tidak sederhana dan perlu
kesadaran serta komitmen. If the going
gets easy, you maybe going down hill. If you want your dream to come true,
don’t oversleep. Negara kelautan, ada manisnya, tapi juga banyak pahitnya,
yang harus kita hadapi bersama.
Amendemen Undang-Undang Dasar RI tahun 1945
Pasal 25A yang berbunyi: NKRI adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara, harus secara nyata diimplementasikan, tidak hanya didiamkan, atau
berhenti dalam olah wacana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar