Rabu, 13 Juni 2012

Menyongsong Kepemimpinan Kontekstual

Menyongsong Kepemimpinan Kontekstual
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 12 Juni 2012


ANEKA macam persoalan bangsa yang terus menumpuk menunjukkan lumpuhnya kepemimpinan yang ada, baik pada tingkat daerah maupun tingkat nasional. Kepemimpinan lumpuh bukan karena ia tidak bisa bergerak, melainkan karena gerak bodinya yang acap tidak mengarah pada penyelesaian masalah-masalah bangsa yang sangat akut, seperti korupsi, penegakan hukum, kerukunan umat beragama, dan segudang masalah lainnya.

Dalam kondisi demikian, kepemimpinan acap seperti dalam pepatah Arab, wujuduhu kal'adam (keberadaannya laksana tiada). Faktanya kepemimpinan tersusun lengkap dari daerah hingga pusat dengan anggaran operasional yang melimpah.

Lompatan Kepemimpinan

Secara akademis, term `lompatan' cenderung bermakna negatif. Sebab, lompatan meniscayakan adanya proses, tahapan, atau bagian yang terlewatkan. Sebagai contoh, seseorang belum menguasai bagian tertentu dari pelajaran yang ada. Namun karena satu dan lain hal, yang bersangkutan `melompat' ke bagian lain yang ada di atasnya sehingga bagian yang sejatinya dikuasai terlebih dahulu (sebelum pindah ke bagian lain) terlewatkan.

Pada tahap tertentu, kepemimpinan di Republik ini mengidap penyakit `lompatan' dalam makna sebagaimana disebutkan. Seseorang terpilih sebagai pemimpin bukan karena diketahui publik mampu menyelesaikan tugas-tugas kepemimpinan yang ada sebelumnya, melainkan lebih karena adanya faktor eksternal yang membuat orang tersebut tercitrakan layak dan mampu menjadi pemimpin pada level yang lebih tinggi.

Relasi dan modal tentu menjadi salah satu faktor utama bagi terciptanya faktor eksternal dalam sebuah kepemimpinan yang dicitrakan layak dan mampu tersebut. Khususnya relasi kuasa dan modal keuangan yang membuat seseorang laiknya `insan kamil' (manusia sempurna) melalui iklan di media yang terus diulang-ulang.

Setiap manusia adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Demikian kurang lebih bunyi salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang sejatinya dijadikan tangga kepemimpinan sebelum seseorang berambisi dan mendudu ki kursi kepemimpinan pada level yang lebih tinggi.

Kepemimpinan harus dimulai dari level terkecil (diri sendiri) sebelum menaiki tangga yang lebih tinggi (keluarga, komunitas, perusahaan, dst) hingga mencapai puncak kepemimpinan (seperti pada level nasional).

Bagaimana mungkin seseorang mampu memimpin komunitas atau perusahaan dengan baik, sedangkan yang bersangkutan tidak mampu memimpin diri atau keluarganya secara baik? Padahal orang yang mampu memimpin diri atau keluarganya secara baik masih belum tentu mampu menjadi pemimpin pada level di atasnya.

Di sinilah pentingnya mengakhiri fenomena lompatan kepemimpinan sebagaimana telah disebutkan. Sebaliknya, kepe mimpin an sejatinya ditertibkan sesuai dengan anak tangga kepemimpinan yang ada. Dengan begitu, keberadaan kepemimpinan terasa hadir dan nyata dalam upaya menyelesaikan sejumlah persoalan yang ada, tidak sekadar ada yang laksana tiada.

Kepemimpinan Kontekstual

Inilah yang penulis sebut sebagai kepemimpinan kontekstual. Di satu sisi, kepemimpinan kontekstual berjalan sesuai dengan anak tangga kepemimpinan yang ada. Di sisi yang lain kepemimpinan kontekstual terbentuk dari kesadaran akan pentingnya menyelesaikan sejumlah persoalan yang ada dan bersifat mendesak.

Harus jujur disampaikan, kesadaran akan kepemimpinan kontekstual selama ini masih cukup lemah di kalangan masyarakat luas. Pembahasan tentang kepemimpinan masih kerap mengacu kepada nilai-nilai primordial yang dijadikan pedoman oleh masyarakat, seperti kesantunan, kelembutan, dan sebagainya. Padahal, masalah-masalah yang ada tidak berhubungan secara langsung dengan nilai-nilai primordial tersebut.

Meski demikian, pilihan terhadap seorang pemimpin sejatinya memperhatikan kemampuan dan kecakapannya dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Dengan kata lain, kecakapan seorang pemimpin dalam menghadapi aneka persoalan yang ada harus menjadi pertimbangan prioritas dalam memilih pemimpin (di samping nilai-nilai primordial).

Apa yang disampaikan ulama ternama, Ibnu Taimiyah, cukup memadai untuk memahami kepemimpinan kontekstual. Dalam bukunya berjudul As-Siyasah As-Syar'iyyah, Ibnu Taimiyah membahas fondasi kepemimpinan maupun pemerintahan. Menurut beliau, kepemimpinan maupun pemerintahan mempunyai dua fondasi utama yang berlaku secara kontekstual, yaitu kekuatan dan amanah (secara moral dan prilaku). Hal itu merujuk kepada beberapa ayat Alquran seperti QS Qashash: 26, QS Yusuf: 54, dan QS At-Takwir: 19-21.

Dikatakan dua fondasi tersebut berlaku secara kontekstual, karena kekuasaan ataupun pemerintahan pada saat perang tidaklah sama dengan kekuasaan ataupun pemerintahan ketika dalam keadaan damai dan tenteram. Dalam keadaan perang, kemampuan mengalahkan lawan adalah kekuatan yang sangat dibutuhkan seorang pemimpin. Sebaliknya, dalam keadaan damai dan tenteram, kejujuran seorang pemimpin jauh lebih dibutuhkan daripada kecakapan dan kekuatan dalam berperang.

Persoalannya ialah sangatlah jarang adanya so ok mumpuni dengan dua keistimewaan tersebut. Ada seseorang yang mempunyai keistimewaan sosok amanah secara mumpuni, tetapi yang bersangkutan cukup lemah dalam bidang pemerintahan dan perpolitikan. Sebaliknya, ada seseorang yang cukup piawai dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi yang bersangkutan mempunyai jiwa amanah yang cukup lemah.

Dalam kondisi demikian, menurut Ibnu Taimiyah, kekuatan dan amanah sebagai fondasi utama kekuasaan harus diberlakukan secara kontekstual, sesuai dengan ruang kekuasaan yang ada. Bila ruang kekuasaan yang ada lebih membutuhkan kepiawaian dalam hal pemerintahan dan perpolitikan, sosok yang mempunyai kekuatan ini lebih dikedepankan, walaupun kurang berjiwa amanah. Sebaliknya, apabila ruang kekuasaannya membutuhkan amanah, yang dikedepankan ialah sosok yang berjiwa amanah, meski tidak piawai dalam perpolitikan.

Imam Ahmad bin Hanbal (salah satu imam empat mazhab fikih dalam Islam) pernah mendapat pertanyaan tentang kepemimpinan dalam peperangan antara orang yang toleh (sedikit jahat), tapi kuat, dan orang saleh, tapi lemah. Untuk menjawab pertanyaan itu Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan ke-toleh-an orang tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kekuatannya akan kembali dan berdampak baik untuk umat. Sebaliknya, kesalehan orang tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kelemahannya akan kembali dan berdampak buruk kepada umat. Dari sini Imam Ahmad bin Hanbal mengutamakan kepemimpinan orang toleh (dalam peperangan) asalkan kuat, ketimbang orang saleh yang lemah.

Dari apa yang telah disampaikan dapat ditegaskan, bangsa ini ke depan lebih membutuhkan pemimpin kontekstual yang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang ada dalam waktu secepat mungkin. Walaupun, pemimpin tersebut mungkin tidak terlalu sesuai dengan nilai-nilai kepemimpinan primordial seperti kesantunan, kelembutan, dan hal-hal lain yang bersifat kebaikan secara fisik. Mari kita songsong kepemimpinan kontekstual pada momen-momen pemilu/pemilu kada ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar